★★★★
Judul Buku: The Fault In Our Stars (Salahkan Bintang-Bintang)
Pengarang: John Green
Penerbit: Qanita (Mizan Group)
Jumlah Halaman: 423
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Segmen: Remaja, Dewasa-Muda
Genre: Drama, Realistic Fiction, Romance
Harga: 49.000 (diskon 30%, jadi Rp 34.300)
The Fault In Our Stars salah satu buku yang gaungnya banyak saya dengan sejak 2012 kemarin. Bukan hanya secara lokal tapi juga international. Sebut saja tumblr, yang banyak sekali mereblog gif set dari sang pengarang, John Green. Selain itu John Green juga banyak dipuja-puji karena menulis buku young-adult yang diluar standar kebanyakan young-adult, yang akhir-akhir ini banyak mendapat kritikan karena isinya yang “kurang bergizi”.
Nah berbicara soal bukunya sendiri, The Fault In Our Stars, selanjutnya saya singkat saja TFIOS juga punya rating yang termasuk top atau elit di goodreads, ratingnya yaitu 4.5 dari 390.000 users lebih. So, I’m curious to read it.
Setelah saya searching sekilas, ternyata TFIOS itu berkisar tentang kanker. Hmmmm, sejujurnya buku yang membahas tentang penyakit, apalagi kanker, bukanlah buku favorit saya. Karena: 1. Saya memang tidak suka tema serius yang bisa bikin sedih atau depresi. Karena bagi saya, baca buku itu untuk escapism alias senang-senang dari dunia yang terkadang tidak menyenangkan, jadi mengapa memilih tema yang justru bikin sedih. 2. Beberapa orang yang saya kenal, banyak yang kalah dan meninggal saat berjuang melawan penyakit itu. Jadi saya tidak mau mengingat-ingat apa saja yang telah dilakukan oleh penyakit tersebut. Tapi, karena rating dan puja-puji itu plus banyak remaja yang suka dengan buku yang bertema serius ini, saya penasaran juga. Apa sih yang membuatnya begitu spesial dan istimewa dibanding buku-buku bertema sejenis lainnya.
The Story
Hazel Grace, seorang remaja berusia 16 tahun yang divonis menderita kanker tiroid. Penyakit tersebut juga telah menyebar ke paru-parunya yang membuat Hazel sulit bernafas dan terpaksa mengenakan alat bantu pernafasan berupa selang dan tabung oksigen yang harus dibawa kemana pun Hazel pergi.
Saat menghadiri pertemuan anak-anak penderita kanker, Hazel bertemu dengan Augustus Waters, sesama penderita kanker juga, yaitu osteosarkoma yang telah membuat Augustus kehilangan satu kakinya. Augustus yang tampan dan selalu bersikap positif membuat Hazel jatuh cinta padanya.
Augustus meyakinkan Hazel, bahwa ia bisa pergi ke Amsterdam untuk bertemu dengan penulis favorit Hazel, yaitu Peter Van Houten. Bersama-sama Hazel dan Augustus mencari jalan untuk bisa mewujudkan keinginan tersebut.
jadi bagaimana caranya Hazel dan Augustus bertemu dengan Peter Van Houten?
My Thought
So, is it true? Is it true, this is tearjerker book as they said? Well, maybe the answer is depend on your mood when you read it. I’m not cry but almost cry and I feel so sad while I close the book. I always say that I love the book about star crossed-lovers, but I correct it. No, I don’t like if the star crossed-lovers such as illness played in the book. Because I know the ending usually sad and tragic and it just remind me that’s how real life could be. But we must face it.
Tapi juga sulit bagi saya untuk tidak berkata bahwa ini buku yang indah. Bagaimana John Green dengan gaya bahasanya yang penuh kata-kata lucu dan juga witty berhasil membuat tema serius menjadi menghibur dan penuh filosofi.
Kekuatan novel ini, terutama ada pada karakter-karakternya, Hazel dan Augustus. Mungkin untuk sebagian pembaca, gambaran Hazel dan Augustus terlalu sempurna sebagai 2 remaja penderita kanker yang sedang sekarat. Mengapa terlalu sempurna? Karena mereka, terutama Augustus sangat memandang positif kehidupan. Meski dunia sangat tidak adil terhadap mereka. Padahal kenyataannya jarang yang bisa seperti itu. Tapi ini adalah buku fiksi dengan karakter fiktif jadi cukup pakai dan gunakan imajinasi kita.
Gambaran sempurna itu sangat terasa pada sosok Augustus Waters. Tidak heran, kalau tahun 2012 kemarin, banyak anak BBI yang memilih Augustus sebagai kriteria pacar ideal. Saya pun menganggap begitu. Augustus yang selalu bersemangat, riang, jenaka dan gemar bermerafora, terutama dengan perumpamaan rokok yang dianggap tidak berbahaya selama apinya tidak dinyalakan. Ah, andaikan di luar sana ada seorang Augsutus Waters (yang dalam keadaan sehat tentunya) yang menunggu saya, betapa bahagianya hati saya #lebaysebentar. Augustus tahu bagaimana caranya membuat suasana hati seseorang menjadi lebih baik. Berikut ini kalimat-kalimat dari Augustus yang saya suka:
“Aku selalu berpikir dunia adalah pabrik pewujud-keinginan.” ~hal. 150
“Sadarlah bahwa berupaya menjaga jarak dariku tidak akan mengurangi kasih sayangku terhadapmu.” ~hal. 167
“Kepedihan menuntut untuk dirasakan.” ~hal.89
“Oh, aku tidak akan keberatan, Hazel Grace. Akan merupakan keistimewaan jika kau mematahkan hatiku.” ~hal.298
“Kisah-kisah kepahlawanan kita akan terus bertahan selama masih ada suara manusia.” ~hal.273
“Aku akan memeranginya. Aku akan memeranginya untukmu. Jangan mengkhawatirkanku, Hazel Grace. Aku baik-baik saja. Aku akan mencari cara untuk terus bertahan dan menjengkelkanmu untuk waktu yang lama.” ~hal.288
“Kau tidak bisa memilih apakah kau akan terluka di dunia ini, Sobat Lama, tapi kau bisa ikut menentukan siapa yang melukaimu. Aku menyukai pilihan-pilihanku. Kuharap Hazel menyukai pilihan-pilihannya.” ~hal.418
Seperti yang saya bilang, kelebihan novel ini ada di gaya bahasanya yang witty dan penuh humor. John Green mengajak pembaca untuk memandang penderita kanker sebagai manusia normal yang juga punya impian, cita-cita (diluar kesembuhan mereka), hasrat, dan keinginan duniawi lainnya alih-alih orang cacat yang patut dikasihani karena penyakit mereka. Dan mereka ingin dikenang bukan hanya karena perjuangan mereka melawan kanker, tapi hal-hal lain yang mereka lakukan semasa hidup mereka.
Ngomong-ngomong, soal John Green, seperti apa sih dia?
OK, sepertinya John Green sama eksentriknya seperti Peter Van Houten. Saya lanjutkan pembahasannya. Saya rasa pesan moral buku ini seperti yang dikatakan Hazel Grace di halaman 281:
“Aku percaya kau punya pilihan di dunia ini mengenai cara menceritakan kisah sedih, dan kami memilih cara yang lucu.”
Dan memang begitulah cara John Green menuliskan kisah dalam buku ini, dia meramu cerita sedih secara riang dan penuh canda yang sukses membuat pembaca merasakan berbagai emosi seperti tawa dan sedih. Selain itu yang saya suka, John Green tidak melupakan unsur drama keluarga. Saya suka deh sama keluarganya Hazel maupun Gus yang sangat supportif. Selebihnya saya akan kembali menulis quote-quote memorable dari buku ini yang saya suka:
“Hanya ada satu hal di dunia ini yang lebih menyebalkan daripada mati gara-gara kanker di usia enam belas, yaitu punya anak yang mati gara-gara kanker.” ~Hazel Grace, hal. 15
“Jika kau khawatir dilupakan untuk selamanya oleh manusia, aku mendorongmu untuk mengabaikannya saja. Tuhan tahu, itulah yang dilakukan semua orang lainnya.” ~Hazel Grace, hal. 23
“Semua orang begitu baik. Juga kuat. Di hari-hari terkelam, Tuhan meletakkan orang-orang terbaik dalam hidupmu.” ~hal. 42
“Tanpa penderitaan, bagaimana kita bisa mengenal kebahagiaan?” ~hal.52 (entah mengapa saya teringat salah satu quote dalam Delirium yang juga mirip)
“Cinta sejati lahir dari masa-masa yang berat.” ~hal. 40
“Terkadang itulah hal terburuk dari menderita kanker, penyakit itu memisahkanmu dari semua orang lainnya.” ~hal. 195
“Beberapa turis menganggap Amsterdam sebagai kota kebebasan, dan sebagian orang menemukan dosa di dalam kebebasan.” ~hal. 211
“Pasti kau tahu kalau hanya ada dua emosi, yaitu cinta dan ketakutan.” ~hal 254
“Dorongan untuk menciptakan seni atau merenungkan filosofi tidak hilang ketika kau sakit.” ~hal 285
“Kau akan…kau akan…menjalani kehidupan terbaikmu hari ini. Inilah peperanganmu sekarang.” ~Hazel Grace, hal. 290-291
“Ketidaktahuan adalah kebahagiaan.”
Terjemahan
Kalau ada satu hal yang ingin saya protes, itu adalah terjemahan TFIOS yang menurut saya kaku dan tidak luwes. Bila anda secara pasif sudah paham bahasa Inggris, saya sarankan baca edisi aslinya saja daripada terjemahannya. Saya akan kasih contoh beberapa kekakuan bahasa yang saya rasakan selama membaca buku ini:
- Kacamata matahari, saya sampai mikir beberapa kali, apa itu kacamata matahari. Dan kalau diinggriskan, kacamata matahari itu adalah sun glasses. Tapi sun glasses sendiri kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia bukanlah kacamata matahari melainkan kacamata hitam.
- Taman bermain bertema, mungkin Inggrisnya Theme Park. Tapi menurut saya cukup taman hiburan. Lebih tidak kaku.
- Komputer genggam, saya juga mikir apa yang dimaksud komputer genggam di sini? Apakah tablet atau handphone? Atau gadget lain?
Begitu pula beberapa kalimat lain yang terasa janggal bila diucapkan dalam bahasa Indonesia, John Green mengemas gaya bahasanya dengan witty, karena itulah menerjemahkannya pun harus bisa ikutan witty.
Terus gambar-gambar hati yang ada di tiap pojok halaman, ngga banget deh. Selain menggangu baca, gambar-gambar hati tersebut juga terkesan norak dan lebay. Biarkan saja halaman novel itu polos tanpa gambar-gambar tidak penting. Dan untuk covernya, jangan bandingkan dengan yang edisi asli, karena jelas yang terjemahan kalah jauh, walaupun sama-sama biru.
BTW, semua mungkin sudah pada tahu, kalau buku ini akan diadaptasi ke film. Beberapa pemerannya sudah ditetapkan, yaitu:
Saya sih oke-oke saja sama Shailene Woodley sebagai Hazel, walau kalau menurut gambaran Augustus di buku, wajah Hazel itu lebih mirip Natalie Portman, dan aktris muda yang mirip Natalie Portman menurut saya adalah:
Untuk pemeran Augustus Waters adalah:
Ansel Elgort
Dan pemeran Isaac, teman Gus dan Hazel, adalah :
Nat Wolff