- Too much tell. Dari segi plot buku ini lumayan enak dibaca. Masalahnya saya tidak suka penuturan pengarang yang lebih banyak tell, tell and tell. Sedangkan salah satu pelajaran penting dalam mengarang atau menulis kreatif adalah ‘show it, don’t tell’. Terlepas apakah memang hal tersebut sengaja dimaksudkan penulis, mengingat segmen buku ini lebih untuk anak-anak (maksudnya supaya kalimatnya nggak terlalu ribet). Tapi saya rasa penceritaannya akan terasa lebih seru apabila penulis lebih banyak menggunakan show daripada tell (lagian anak-anak sekarang pada pintar-pintar kok). Contoh penggunaan ‘tell’ pada hal. 134: Alanna mendinginkan ramuan yang dibuatnya, lalu meneteskannya ke tenggorokan Jonathan. → Saya sedang membayangkan cara Alanna ‘mendinginkan’ ini bagaimana? apa ramuannya dicemplungin es batu, atau dikipas-kipas, atau ditaruh dekat jendela supaya kena hembusan angin.
- Too perfect character. Kalau ini mungkin lebih ke masalah selera. Tapi saya merasa Alanna terlalu sempurna untuk anak berumur pra-remaja. Penulis membuat orang dewasa terlihat bodoh dalam buku ini. Sepertinya hampir semua masalah bisa diatasi oleh Alanna sendiri. Mulai dari saat Alanna menolong Coram yang hampir jatuh dari kuda, melakukan tindakan pertama untuk menyelamatkan Jon, lalu menolong Jon dari kematian, dll.
- Too much coincidence. Lagi, apakah karena ini buku anak-anak, jadi segala sesuatunya dibuat jadi serba mudah. Mulai dari Alanna kebetulan dipilih oleh Dewi Pertiwi (saya nggak masalah sih sama ide cerita the choosen one tapi tetap kasih alasan kenapa githu). Alanna bisa langsung disukai George secara tiba-tiba, padahal George katanya tidak suka dengan kaum bangsawan. Lalu Alanna tidak sengaja bisa membuka ruang bawah tanah, lalu Alanna kebetulan menemukan pedang yang pas untuknya. Lalu Alanna tiba-tiba mendapat suntikan kekuatan. Bahkan di halaman 268, ada kalimat, ‘Sebelum subuh, Alanna mendadak terbangun.” Yup, semua serba kebetulan mendadak.
- Saya benci dengan ringkasan di cover belakang buku (saya tahu ini lebih karena ulah penerbit lokal). Lebih tepatnya ada 1 kalimat yang bikin saya jengkel yaitu, “Kepada siapakah akhirnya pilihan hatinya bermuara, Pangeran Jonathan ataukan George yang selalu setia membantunya?“ FYI, buku ini tidak ada romens kok. Mungkin tanda-tanda ke arah sana ada, tapi sangat sedikit dan hanya tanda-tanda. Satu gadis dan 2 anak laki-laki, tipikal YA. Tapi masalahnya hal tersebut bahkan tidak ada dalam buku (dan saya lega karena tidak ada), jadi mengapa harus ikut-ikutan diangkat?
- Typo hal. 135 : Timom, harusnya Timon. Lalu hal. 241, orang-orang kan belum tahu kalau Alanna itu perempuan, tapi mereka malah memanggilnya ‘Alanna’ alih-alih Alan.
Memorable quote :
“Kau ingin ini. Kau ingin itu. Di sini memang berbeda. Inilah yang disebut ‘disiplin’. Kau tidak bisa berbuat seenaknya. Kau harus belajar berdisiplin.” ~hal. 64
“Kita, kaum bangsawan, diajarkan untuk menerima segala sesuatunya tanpa memprotes. Bangsawan tidak boleh bergantung pada orang lain. Well, kita manusia. Dan manusia tidak dilahirkan untuk hidup sendirian.” ~hal. 87
“Tidak dalam kasus ini. Persoalan moral tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak.” ~hal.121
“Alanna, kau hanya akan merasa bahagia apabila kau menerima dirimu apa adanya.” ~hal.152
Cover, kali ini saya suka dengan cover yang dipilih Ufuk. Namun, ternyata itu bukan cover asli disain penerbit tapi mengambil cover Alanna versi Prancis.