KEDAI 1001 MIMPI: MENERTAWAKAN IRONI NASIB DI NEGERI 1001 MALAM

Judul Buku: Kedai 1001 Mimpi
Pengarang: Valian Budi (Vabyo)
Penerbit: Gagas Media
Editor: Alit Tisna Palupi
Proof Reader: Christian Simamora
Penata letak: Dian Novitasari
Desainer sampul: Jeffri Fernando
Jumlah halaman: 444 halaman
Cetakan keempat, 2011
Segmen: Dewasa
Genre: Personal Literature, memoar, humor
Harga: Rp 46.750 (15% off beli di bukabuku)
Rate: ★★★

Keinginan untuk bekerja di Arab Saudi itu akhirnya tercapai. Dengan melamar posisi  sebagai barista untuk sebuah kafe, Valiant Budi atau Vibi akhirnya bisa mencoret salah satu dari banyak hal di daftar keinginannya, yaitu tinggal di Saudi Arabia. 

Namun setibanya di negeri 1001 malam itu, kenyataan ternyata tidak seperti harapan. Mulai dari seringnya disangka Filipini dan dilecehkan oleh para pria lokal, belum lagi menghadapi customer unik bin ajaib yang suka bikin darah tinggi naik hingga 100 derajat plus diperparah dengan praktek manajemen kafe yang kacrut dan sangat jauh dari teori kafe berstandar internasional dan semua itu ditambah lagi dengan suhu udara yang panasnya bisa di atas 50 derajat celcius. 


Jadi bagaimana cara Vibi bisa bertahan dan tetap waras menghadapi semua hal-hal aneh tersebut?

“Yah, setidaknya di negara yang mencanangkan dirinya religius ini berhasil membuatku ingat Tuhan, kok. Perlakuan orang-orang Saudi sering membuatku mengeluh ‘Oh Tuhan, apa dosaku?'”

Itulah sedikit kutipan sarkasme Vibi alias Vabyo dalam menertawakan nasibnya selama bekerja di Arab Saudi.

Membaca buku ini mempunyai 2 rasa yang saling bertolak belakang, rasa itu adalah antara mau tertawa atau miris. Buku ini menceritakan pengalaman-pengalaman miris Vabyo selama bekerja sebagai Barista di 2 kota di Saudi, yaitu Alkhobar dan Dammam. Tapi cara Vabyo menuliskannya yang lebay bin hiperbola justru membuat bacanya menjadi penuh cengiran.

Uang banyak tanpa pendidikan membuat manusia tampak monster.”

Kekesalan utama Vabyo ada pada orang-orang Saudi yang arogan, karena merasa mereka kaya dan penduduk asli jadi pasti kebal hukum dan suka bertindak sewenang-wenang kepada para pekerja migran (TKI/TKW).

Belum lagi, akibat banyaknya orang Filipina yang bekerja di Saudi dan kebetulan muka orang Indonesia agak-agak mirip dengan orang Filipina, sering saat sedang berjalan di jalan raya, Vabyo dikejar-kejar oleh om-om nakal dan ditawar untuk menemani mereka. (Yah, taukan maksudnya menemani apa).

Lalu kekesalan lain ada pada pekerjaannya. Yang alih-alih barista, cara kerjanya lebih mirip babu dan merangkap segala macam. Tapi yang bikin ngos-ngosan adalah melayani customer yang suka minta yang aneh-aneh. Belum lagi betapa terkejutnya Vabyo saat mengetahui kalau kafe tempatnya bekerja juga sering digunakan sebagai tempat transaksi jual beli ayam (ngerti kan ayam apa yang dimaksud).

Awal-awal di Saudi, Vabyo kesepian karena hanya ia yang orang Indonesia, sementara pekerja asing lain rata-rata warga Filipina. Namun untunglah setelah beberapa saat, akhirnya ia bertemu dengan beberapa TKI yang juga bekerja di Alkhobar. Ada Joko yang dipanggil Mas Blitar, yang selain bekerja sebagai supir juga merangkap pelayan ranjang majikan perempuannya (dan ternyata yang dilayani bukan cuma 1 tapi ada… baca sendiri bukunya).

Lalu ada Mas Bambang, seorang gay yang suka disewa untuk teman kencan. Tapi yang paling sukses adalah Yuti yang dari pembantu berhasil naik pangkat menjadi istri ketiga sang Baba yang mengisi hari-harinya dengan berbelanja di Mal.

“Lagi pula, semua kebusukan negara saya, Indonesia, ada di negara lain, kok. Tapi keindahan Indonesia belum tentu dimiliki negara lain.”

Saya agak telat baru baca buku ini sekarang, di mana orang -orang lagi ngomongin Kedai 1002 mimpi, yaitu sekuel dari Kedai 1001 mimpi yang baru saya baru baca sekarang, saya baru saja selesai baca 1001 mimpi atau justru timingnya tepat, karena kan masih tetap ada hubungannya. #plinplan

Mungkin karena sebelumnya saya sudah pernah baca personal literature dalam bentuk komedi yang konsepnya juga menertawakan kelakuan manusia (TNSLOA) jadinya gaya bahasa Vabyo sudah terasa familier untuk saya.  Kalau mengenai Arab Saudi sendiri, saya sudah sering mendengar kisah-kisah pahit dari negeri 1001 malam tersebut, tapi memang penuturan Vabyo yang gamblang dan nyablak ini membuat mata lebih melek.

Eniwei buku ini selain informatif, juga enak dibaca sebagai pelepas stress karena gaya bahasa Vabyo yang seperti sarcastic stand-up comedian, sekaligus juga sebagai perenungan, terutama buat yang suka mengeluh tinggal di Indonesia. Mulai dari ngeluh kalau siang hari panasnya nggak ketulungan (masih belum separah Arab Saudi yang suhunya bisa mencapai hingga separonya dari 100 derajat celcius), ngeluh karena polusi udara dan debu (sekiranya masih nggak ada badai pasir), ngeluh karena di Indonesia, orang-orangnya suka kurang sopan (bukan cuma di Saudi tapi kalau pernah ke luar negeri, pasti sadar bangsa kita tuh memang ramah dan hangat). Ngeluh karena negara kita sering dibilang negara miskin (sekiranya rata-rata rakyat Indonesia masih well behave, coba saja kalau ke luar negeri, pemandu asing mungkin lebih senang melayani turis Indo yang walau narsis dan suka ngaret tapi juga royal). 

Merasa yang saya bilang nggak sepenuhnya benar, yah saya kan bilangnya rata-rata bukan semua, karena itu jangan mengeneralisasi seseorang hanya dari negara, etnis, agama, golongan, dan lain sebagainya tapi nilailah dari individu karakternya.

Review ini juga untuk RC :

BOOK REVIEW: (NOT) ALONE IN OTHER LAND

★★★½
Judul (Not) Alone In Other Land
Penulis: Lia Indra Andriana, Fei, Andry Setiawan
Penerbit: Penerbit Haru
Jumlah Halaman: 276 Halaman
Segmen: Semua Umur
Genre: Travel, Personal Literature
Harga: Rp 45.000

Rasanya sudah lama sekali saya tidak membaca buku bergenre perjalanan yang sifatnya juga Personal Literature. Padahal saya selalu tertarik mengenai buku-buku yang membahas perjalanan dan perbedaan budaya.

Buku ini terbagi dalam 3 catatan perjalanan 3 orang Indonesia ke negara-negara di Asia Timur jauh, yaitu Lia di Korea (Seoul), Fei di Cina (Shanghai) dan Andry di Jepang.

Seoul

“Hai”, sebuah sapaan sederhana yang bisa membawa kita lebih mengenal orang lain.”

Kisah ini bercerita tentang Lia yang sedang belajar Bahasa Korea di Seoul. Lia belajar bahasa di Universitas Sungkyunkwan, walau universitas tersebut terkenal berkat dramanya yang berjudul Sungkyunkwan Scandal, namun bukan karena alasan itu Lia memilihnya. Tapi karena universitas tersebut adalah yang paling kooperatif dalam membalas email-emailnya saat mendaftar.

Di sini Lia menceritakan kesehariannya sebagai pelajar asing di Korea. Di sana Lia juga bertemu dengan banyak pelajar asing dari negara lain, biasanya Cina dan Jepang. Alasan mereka belajar bahasa Korea bermacam-macam. Kalau orang Cina biasanya karena urusan kerja, terutama bila mereka ingin bekerja di perusahaan-perusahaan Korea, sedangkan untuk orang Jepang, terkait demam budaya pop Korea seperti drama dan K-Pop. Bagaimana dengan Lia sendiri, apa yang membuatnya tertarik belajar bahasa Korea? Lebih baik baca sendiri di bukunya. 

Selain itu Lia  juga menceritakan hubungan yang akrab antara guru dan murid di Korea


***


Yang saya suka dari cara bertutur Lia mengenai Seoul atau Korea adalah kenetralannya. Saat membahas sesuatu, Lia menuliskan segala sesuatu berdasarkan apa yang ia lihat, alih-alih apa yang hanya ingin ia rasakan. Jadi penulisannya terasa bebas dari kesan judgemental atau stereotype ataupun self-centered sebagaimana yang biasa ada dalam Personal Literature. Terkecuali cerita tersebut mengenai diri Lia sendiri, maka yang lainnya terasa apa adanya. Seolah kita seperti sedang membaca repostase dari majalah atau koran yang lebih membahas mengenai berita atau informasinya daripada perasaan penulis sendiri.  

Yang ngga saya suka, eh mungkin, saya penasaran sama pandangan Lia tentang orang Korea pada umumnya #buntutnyatetappenilaian. Terus penasaran, apa ada perasaan homesick atau rindu makanan Indonesia githu? Yah, dibanding Fei dan dan Andry, waktu Lia di negeri orang paling singkat, hanya 3 bulan. 


Shanghai

“So, it’s a nice start to build friendship by saying ‘hello’ to your international friends using their mother language.”

Cerita berpindah ke negeri Cina, tepatnya Shanghai. Di sini Fei menceritakan mengenai awal mula perjuangannya dalam belajar bahasa mandarin di Shanghai. Dan awal memang selalu terasa berat, karena di Cina, nyaris semua orang tidak bisa berbahasa Inggris yang sempat bikin Fei frustasi. Namun Fei sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk keluar dari zona nyamannya dan belajar mengenai hal-hal baru. 

Di sini juga Fei menceritakan mengenai kehidupan teman-teman Internationalnya selama di asrama termasuk kehidupan mahasiswa lokal yang justru kampusnya jauh lebih sederhana dari mahasiswa International. Juga perjalanan backpacker pertamanya bersama seorang mahasiswi asal Korea di kota lain di Cina.

***

Setelah membaca cerita Seoul dari Lia, kini kita beralih ke Fei yang belajar bahasa Mandarin di Shanghai. Dari cara bercerita, terasa sekali perbedaan karakter Fei dan Lia #yaiyalah. Seperti Personal Literature pada umumnya, di sini saya merasakan penilaian penulis secara pribadi akan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang terkadang terasa sarkastik. Tapi saya suka sarcasm 😀


Tetapi intinya baik Fei dan Lia, sama-sama menekankan betapa pentingnya untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu bila ingin berteman dengan orang lain. Persamaan lain adalah betapa pentingnya untuk memiliki suatu ‘kelompok’ daripada sendirian di negeri orang. 

Satu catatan saya ada di bab terakhir yang Fei ngejar-ngejar pesawat, itu kenapa akhirnya anti-klimaks? Kok tidak ada penjelasannya? Apa pesawatnya terlambat? Atau orang-orang sana yang punya kecenderungan terlambat dan selalu santai saat di bandara?

Jepang

Berbeda dengan Lia dan Fei yang memilih sendiri tempat belajar yang mereka inginkan, Andry mendapat kesempatan belajar bahasa di Jepang melalui jalur beasiswa. Sehingga tempat belajar atau sekolahnya sudah ditentukan oleh pihak Japan Foundation. Dibanding Lia dan Fei, Andry memiliki waktu tinggal yang paling lama di Jepang, karena selain belajar bahasa, Andry juga bekerja sebagai seorang karyawan di Jepang. 

Keseharian Andry hanya dibahas singkat, seperti betapa setiap orang lebih nyaman berkumpul dengan sesama orang dari negara mereka sendiri.  Lalu betapa senioritas di Jepang sangatlah penting dan terasa, juga penggunaan toilet atau WC di Jepang yang lebih rumit dibanding toilet pada umumnya, karena untuk sebuah toilet mempunyai banyak tombol yang kalau salah pencet bisa berakibat sangat tidak nyaman. 

Andry juga menceritakan mengenai pertemanan singkatnya dengan orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanannya ke Yakushima. Bagaimana sebuah proses sederhana yang bernama membuka diri bisa membuat seseorang mendapatkan teman seperjalanan.

***

Dibanding Lia dan Fei, kisah Andry di Jepang ini paling banyak curhatnya. Terutama soal perasaan galaunya dalam hal mengungkapkan perasaan dan pendapat. Terus perasaan kesepiannya karena tidak ada teman. Kentara banget karakter penulisnya sangat introvert, mudah cemas, dan terlalu mikir panjang. Heheheh agak mirip-mirip saya nih. 

Walau tema utama pembahasan mengenai Jepang, tapi saya berasanya dari 3 cerita, ini yang penuturannya terasa paling personal. Pokoknya banyak banget tips-tips persahabatan dan relationship, contohnya nih:

Tanpa komunikasi, seseorang tak akan bisa menjadi sahabat. Komunikasi tak hanya membutuhkan telinga tetapi juga mulut. Mulut yang jujur.”

Saat keduanya saling memahami, akan ada ikatan kecil yang terjalin dari hati ke hati, berdegup seirama.”

Sewaktu Andry mengajak kita melanglangbuana ke hutan untuk melihat pohon-pohon Cedar tua, di mana mahluk hidup sejenis hewan juga jarang ditemukan dan suasana hutan yang sakral, entah mengapa saya teringat hutan bidadari merah dari manga Garasu No Kamen

Selain itu, dibanding Lia dan Fei yang penuturannya terkesan lugas, penuturan Andry sangat terasa seperti penulisan kreatif, karena banyak bahasa puitis dan metafora, macam ‘jantung serasa diremas-remas’ atau ‘berdegup seirama’ atau ‘bergalon-galon air seperti ditumpahkan dari langit’. Jadi berasa karakter penulis itu mellow atau melankolis, terlepas apakah memang benar begitu atau tidak, tapi untuk buku non fiksi bagi beberapa orang penuturannya terasa agak lebay, sebaliknya seandainya ini fiksi, justru bagus untuk karakterisasi.

Akhir review, saya menikmati membaca buku ini, padahal tadinya saya tidak ada rencana membaca buku ini di bulan Desember, tapi untuk tahun depan, Namun setelah saya baca buku Get Lost-nya Dinoy, saya tiba-tiba pengen baca buku ini. Niat awalnya paling 1-2 bab tapi ternyata tahu-tahu keterusan sampai hal 200 lebih.  

Dan kesimpulan saya, untuk genre traveling, saya lebih suka non fiksi daripada fiksi, karena bagi saya pribadi, yang membuat saya tertarik membaca traveling, karena saya lebih ingin mengetahui senyata-nyatanya dan sebenar-benarnya setiap kondisi dan budaya masyarakat suatu negara.   

BOOK REVIEW : NO ONE TO SOMEONE

★★★½
Judul Buku : No One To Someone (The Story of Gogirl! Magazine and Friends)
Penulis : Nina Moran
Penerbit : Bentang Pustaka (Mizan grup)
Jumlah Halaman : 194 Halaman
Segmen : Dewasa-Muda, Pembaca Gogirl!
Genre : Inspirasi, Motivasi, Biografi
Harga : Rp 59.500 (off 15%) jadi Rp 50.575 (edisi bertanda tangan beli di bukabuku)

Siapa di sini yang membaca majalah Gogirl! ? Saya baca. Hah? gak ketuaan? Yah, kalau saya sih selama ada isi majalah yang masih nyambung dengan selera atau kondisi kepengin-tauan saya, mengapa tidak? Walau jujur, akhir-akhir ini saya memang berasa sepertinya sudah terlalu tua untuk baca majalah yang lebih ditujukan untuk kaum remaja dan dewasa-muda ini. Selain itu saya juga bukan tipe fashionista and stylish. I choose to spend my money on another stuff (yeah, as everyone knows, I spend it on books). Tapi seperti yang saya bilang, kadang ada artikel di Gogirl! yang masih suka saya baca. Kok jadi review selera saya terhadap majalah sih.


Semua bermula dari passion dan mimpi.  

“What if, we can actually make it work? What if it can actually come true?”

Nina, Anita dan Githa Moran adalah 3 bersaudara yang cinta mati sama majalah. Sejak kecil hingga dewasa mereka sudah membaca ratusan (atau mungkin ribuan) majalah. Segala jenis majalah mereka lahap. Meski begitu mereka tetap merasa ada yang kurang akan majalah-majalah yang selama ini mereka baca. 

Berawal dari ketidakpuasan akan banyak majalah-majalah yang mereka baca inilah, Anita (adik Nina) mulai mencoba-coba membuat dan merancang sebuah konsep dan disain majalah sesuai dengan yang mereka inginkan. Sedangkan Nina yang memang berlatar belakang bisnis, iseng-iseng mencoba membuat proposal mengenai bisnis majalah ini. Ternyata proposal iseng-iseng itu tidak sengaja dibaca oleh ayah mereka dan diluar dugaan mendapat respon positif.

Sejak itu, Nina jadi kepikiran untuk membuat majalah sendiri. Tapi bagaimana caranya? Mereka memang punya passion tapi untuk berbisnis, jelas passion saja tidak cukup. Harus ada modal uang yang cukup besar untuk mendanai operasional bisnis. Sedangkan mereka semua masih muda dan belum memiliki banyak uang. Jadi bagaimana mereka bisa memperoleh uang untuk modal tersebut?

Nah bagaimana caranya, semua cerita lengkapnya ada di buku. Kalau saya tulis di sini, nanti nggak seru lagi, hehehe. 

Buku ini tidak membahas mengenai proses kreatif dalam membuat majalah. Buku ini ini menceritakan tentang jatuh-bangun perjuangan dalam membangun bisnis majalah. Jadi, untuk bisa sampai hingga seperti sekarang ini, perjuangannya itu tidak main-main. 

“Membuka mata bahwa keberhasilan itu kadang cuma terasa semenit, dan sisanya pergumulan, kerja keras, kesedihan, air mata, dan kemauan untuk terus maju.”

Penulis menuturkan setiap masalah yang muncul secara gamblang. Mulai dari bagaimana cara meraih pengiklan untuk majalah baru. Sebab, iklan itu sangat penting untuk pemasukan sebuah majalah. Sedangkan Gogirl! adalah majalah baru yang bahkan masih pada tahap pengenalan. Jadi bagaimana membuat pengiklan tertarik untuk memasang iklan mereka di Gogirl! Nah di buku inilah Mbak Nina memberitahukan rahasianya. 

Setelah majalah terbit dan bisnis mulai berjalan, apakah berarti segala sesuatunya sudah beres dan selesai? sama sekali tidak. Justru masalah datang terus menerus. Mulai dari masalah dengan percetakan yang tidak mencetak kualitas majalah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, lalu kemudian banyak karyawan Gogirl! yang pada mendadak keluar hingga sangat menggangu operasional pengerjaan majalah, belum selesai hingga disitu, ternyata karyawan yang keluar membuat majalah pesaing yang konsepnya sangat mirip Gogirl! (mmm, saya tidak tahu, tapi dulu seinget saya ada majalah namanya B’G*rl, mirip banget, tapi ini sih cuma dugaan saya) hingga masalah financial karena harus menanggung kerugian akibat ulah pihak percetakan.


Yang saya salut, para pendiri Gogirl! selain kreatif dalam membuat konten dan disain majalah, juga kreatif dalam mengakali bonus. Mengakali dalam artian in a good way. Karena untuk memberi bonus di majalah jelas ada biaya tambahan, sedangkan dana mereka terbatas. Namun berkat kejelian dalam berpikir dan melihat peluang, keterbatasan itu malah dijadikan suatu kesempatan atau opportunity untuk menarik minat para pembaca membeli majalah. Maksudnya? silakan baca sendiri karena panjang kalau saya tulis. Hehehe. 

Nina Moran juga banyak memberi tips-tips soal dunia wirausaha, Tips-tips di sini bukan hanya sekedar tips sukses secara garis besar seperti yang sering saya dengar, tapi benar-benar tips nyata yang bersifat strategi, berikut dengan contohnya. 

Tapi isi buku tidak melulu soal membangun bisnis majalah. Dari 194 halaman, hanya 95 halaman yang menceritakan mengenai perjuangan membangun Gogirl!. Lalu sisanya? sisanya adalah wawancara dengan berbagai pengusaha muda yang juga baru dalam hal merintis usaha. Karena Nina menyadari mereka pun masih muda dan yang namanya belajar itu seumur hidup. Berikut ini beberapa pengusaha yang di wawancara dalam No One To Someone:

  1. Dian Kenanga, seorang ahli totok aura dan juga pendiri dari Dian Kenanga Totok Aura. Pelajaran yang dipelajari disini menurut saya, ialah selalu jaga kualitas dalam setiap usaha yang kita jalankan. Bahkan hingga dalam hal paling sepele sekalipun.
  2. Nancy Margried, pemilik dan pendiri batik fractal (batik yang motifnya dari rumus-rumus matematika fractal). Yang saya higlight di sini sih, jangan pernah remehkan jaringan alumni kampus meskipun telah lulus 😀
  3. Nadya Saib, pengusaha kosmetik herbal, Wangsa Jelita. 
  4. Jenahara, desainer baju-baju muslim yang merancang hijab stylish dengan label Jenahara.
  5. Dian Noeh Abubakar, pemilik perusahaan PR. Gaya komunikasinya bener-bener khas anak PR yang banyak menggunakan istilah bahasa Inggris bisnis. Jujur saja, untuk saya yang otak, ilmu dan bahasa inggrisnya tidak pintar-pintar amat, agak susah mengerti isi wawancaranya. Agak berharap sih penuturannya bisa lebih sederhana (atau penjelasan singkat istilah-istilah bisnis)
  6. Diana Rikasari,  pengusaha sepatu merek UP. 
  7. Indasari Mastuti. Penulis dan pendiri Indscript Creative dan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis. Mungkin dari semua interview, ini yang paling menarik perhatian saya, karena tema usahanya adalah ‘menulis’. Dan saya tahu banyak blogger yang juga bercita-cita jadi penulis. Dan saya baru tahu kalau di Indonesia ada agency naskah. Biasanya yang saya tahu cuma penulis langsung kirim naskah ke penerbit. Tapi pembahasan utamanya bukan pada agency naskah sih tapi personal branding agency. Kalau saya nangkepnya ini, seperti bahasa profesional untuk pencitraan 😛
  8. Ira Hanira, pengusaha sepatu merek Adorable. Saya suka dengan cara pandang Ira dalam menghadapi karyawan-karyawannya. Hal 152 ada kalimat ‘sayapinjami’, seharusnya ‘saya pinjami’. Lalu ‘sayamemakai’, seharusnya ‘saya memakai’. Hal. 153 ada typo, ‘maklum’, saya rasa harusnya ‘maklun’.
  9. Hannifa dan Afi, pendiri dari situs Female Daily Network. Sesuai namanya situs yang ditujukan untuk kebutuhan wanita seperti fashion dan keperluan ibu. 

Selanjutnya halaman diisi dengan foto-foto Gogirl! dari masa ke masa termasuk para crew-nya. And this is only friendly suggestion from me, tapi saya rasa daripada menaruh foto-foto di beberapa halaman akhir, lebih baik menambah konten isi, misalnya tips-tips mengajukan pinjaman ke bank, tips-tips melayani customer cerewet, tips-tips cara memperluas networking. Karena pada dasarnya kertas untuk buku ini tidak ditujukan untuk cetak hasil foto. Jadi bagi saya foto-foto di belakang terlihat buram dengan warna tinta yang juga kurang enak dilihat mata. 

Saya bukannya tidak suka dengan foto-foto para crew Gogirl! tapi saya rasa lebih baik dimuat di beberapa halaman khusus majalah Gogirl! (mungkin edisi behind the scene) yang memang kualitas kertasnya glossy dan cocok untuk cetak halaman warna. Karena jujur saja, bagi saya dengan jumlah 194 halaman dan harga seperti yang tertera pada keterangan di atas, buku ini termasuk mahal. Biasanya dengan harga di atas saya bisa membeli buku-buku (lokal/terjemahan) yang jumlah halamannya antara 300-500 halaman. 

Kalau memang penyebabnya karena ada beberapa halaman yang berwarna jadi harus menambah tinta warna, seperti yang saya tulis sebelumnya, karena buku ini bukan majalah, melainkan buku inspirasi, saya lebih ingin melihat isi artikel atau isi cerita daripada gambar-gambarnya. Yah, gambar dan foto tidak mengapa selama relevan dengan bagian pembahasannya. Tapi diletakkan pada bagian belakang justru jadi terkesan sebagai pelengkap jumlah halaman. 

Akhir kata, saya suka dengan bukunya dan semoga majalah Gogirl! terus mekar berkembang. 

BOOK REVIEW : MIMPI SEJUTA DOLAR

✭✭✭½
Judul Buku : Mimpi Sejuta Dolar
Pengarang : Merry Riana
Penulis : Alberthiene Endah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 370 Halaman
Segmen : Semua yang mempunyai passion sebagai sales dan marketing, wiraswasta
Genre : Non Fiksi
Harga : Rp 63.000


Sebenarnya saya tidak suka dengan buku-buku yang berbau unsur motivasi (karena saya baca buku untuk escapism dan baca buku motivasi, yang ada malah suka bikin galau, karena berasa umur udah tua bangka tapi masih belum meraih kebebasan finansial #sigh). Tapi berhubung salah satu tema baca bareng BBI bulan September adalah buku bertema biografi, dan satu-satunya buku yang mengandung unsur biografi yang bisa saya temukan di rumah adalah Mimpi Sejuta Dolar. Buku yang mengisahkan perjuangan Merry Riana dalam menggapai impiannya untuk memiliki kebebasan finansial sebelum berumur 30 tahun. Maka saya pun memutuskan untuk membacanya. 

Ngomong-ngomong apa itu kebebasan finansial? Kebebasan finansial itu (kalau menurut saya) adalah hidup tanpa memikirkan masalah uang, tanpa tergantung oleh gaji, dan tanpa dibebani hutang. 

Semua bermula dari kehidupan serba prihatin sebagai mahasiswa miskin di NTU Singapura. 
Merry lulus dari SMU pada tahun 1998. Sayangnya pada tahun itu, negara Indonesia sedang banyak pergolakan  ekonomi, politik dan sosial yang berujung pada kerusuhan Mei 1998. Namun keluarga Merry sangat mengutamakan pendidikan dan apa pun yang terjadi, Merry tetap harus melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Namun berhubung kondisi keamanan di Indonesia saat itu serba tak menentu, terutama bagi para WNI keturunan tionghua, maka keluarganya memutuskan untuk mengirim Merry kuliah ke luar negeri. Dan dipilihlah Singapura, selain karena dekat dengan tanah air, salah satu kampus di negeri Singa itu juga ada yang menyediakan fasilitas kredit untuk biaya pendidikan yang bekerja sama dengan bank DBS. Para mahasiswa dapat meminjam uang untuk biaya pendidikan mereka yang hutangnya dapat dilunasi setelah mereka lulus dengan cara bekerja di perusahaan-perusahaan Singapore. (Di Indonesia ada gak yah yang seperti itu? maksud saya dari pemerintahnya, setau saya kalau dari perusahaan atau organisasi ada). 

Keluarga Merry bukanlah keluarga kaya, walau tidak hidup miskin, namun  selama 18 tahun kehidupannya, Merry selalu serba tercukupi. Namun biaya pendidikan di Singapura sangat mahal, berkali-kali lipat dari biaya pendidikan di Indonesia (kurang lebih 300 juta rupiah pada saat itu – 1998), karena itu keluarga Merry benar-benar mengandalkan dana pendidikan yang didapat dari pihak DBS. Namun ternyata setelah tiba di NTU dan menerima dana pinjaman yang diberikan setiap 6 bulan, dan setelah di potong-potong dengan biaya hidup lain macam sewa asrama, buku-buku dan foto copy, ternyata jumlah uang saku untuk makan yang diterima Merry hanya SGD 10 untuk seminggu. 

Bagaimana mungkin 10 dolar bisa mencukupi kebutuhan makan di Singapura selama seminggu? jadilah Merry hidup dalam hari-hari yang serba memprihatinkan. Berbeda dengan teman-temannya yang lebih berada, Merry benar-benar harus berhemat dan mengencangkan ikat pinggang untuk bertahan menghadapi semester-semester awal yang sangat berat di NTU. Ia tidak ingin membebani orang tuanya lagi, karena itu Merry tidak pernah memberitahukan pada orang tuanya bagaimana ia menjalani hidup di NTU. Merry berusaha menjaga nilai-nilainya tetap baik di kampus NTU yang terkenal sulit, namun yang paling membuatnya menderita bukan tuntutan nilai tapi perjuangan menahan rasa lapar selama awal-awal kuliah di NTU. Merry berusaha berhemat dengan cara, setiap pagi ia sarapan mie instant, lalu ketika siang ia makan roti tawar tanpa selai atau kalau pun ia makan siang (yang tidak bisa setiap hari dilakukan), Merry akan  memilih menu paling murah yang bisa ia temukan di kantin NTU, dan malam biasanya ia tidak makan malam. Itulah pola makan Merry selama masa awal kuliah di NTU. Namun dari sana, suatu tekad mulai bangkit dalam diri Merry, yaitu bahwa ia tidak ingin hidup miskin, ia tidak ingin merasakan kelaparan lagi, dan yang terutama ia tidak ingin hidup dalam lilitan serba kekurangan uang. Ia harus bisa mempunyai kebebasaan finansial sebelum berumur 30 tahun. Harus dan tak bisa ditawar-tawar lagi. 

Jadi bagaimana cara Merry bisa meraih itu semua di usianya yang terbilang muda?

Hehehe, ngga mungkin semua saya ceritakan di sini, nanti jadinya bukan resensi malah spoiler. Saya sengaja memberi penekanan pada kata harus dan tak bisa ditawar-tawar lagi untuk menjelaskan betapa ambisius dan gigihnya seorang Merry Riana dalam memperjuangkan impian dan tekadnya. 

Pada dasarnya sebenarnya saya sudah tahu gambaran umum buku-buku motivasi. Bahwa sukses dan kekayaan itu hanya bisa diraih dengan :

  1. Kerja keras (mutlak hukumnya, tidak ada yang serba instant), saat orang lain bekerja 8 jam sehari, Merry bisa bekerja hingga 14 jam sehari. 
  2. Disiplin (ini juga wajib hukumnya, termasuk galak dengan diri sendiri), Merry tidak akan  mengendurkan kinerja bila belum mencapai target yang diinginkan. 
  3. Tekun (pantang menyerah)
  4. Kreatif (saya lebih suka menyebutnya kreatif daripada jeli melihat peluang)

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.

Pepatah kuno, tapi itu benar. Saat gagal jangan terus menyalahkan keadaan, tapi justru sebaliknya belajarlah dari kegagalan. Pikirkan apa yang membuat gagal. Saya suka dengan kalimat dari hal. 244 ini,“Jangan beri kesempatan pada diri sendiri untuk mendramatisir kesulitan.”


Tapi memang perjuangan dan kegigihaan Merry untuk mewujudkan impiannya ini benar-benar bikin saya salut. Dan itu bukan sesuatu yang gampang. Di buku ini banyak dikisahkan jatuh bangun seorang Merry Riana dalam meraih impiannya. Ada saat-saatnya di mana ia down dan patah semangat. Dan sebelum Merry sukses meraih pendapatan 1 juta dolar, ia harus mengalami banyak kegagalan. 

Kegagalan berbisnis, penolakan berkali-kali, hinaan dan cemooh orang-orang pada pilihan jalan hidupnya (termasuk dari teman-temannya sendiri). Merry mengalami semua hal itu (rasa sakit hati, rendah diri, air mata), tapi yang saya salut, ia tidak membiarkan semua hal itu membuatnya terpuruk terus menerus. Ia tidak ingin semua kesulitannya membuatnya putus asa dan menjadi sebuah alasan untuk menyerah. 


Saat sedang down dan sedih, Merry terus membayangkan wajah kedua orang tuanya, begitu besar keinginannya untuk membahagiakan kedua orang tuanya, dan itulah yang menjadi motivasi Merry untuk terus berusaha dan mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Kebebasan finansial bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang dicinta. 

Buku ini juga mengajarkan pentingnya arti dukungan dari partner, karena dengan partner yang satu visi, maka akan lebih mudah untuk membentuk sinergi kerja sama yang saling mendukung. 

Dari sinilah saya menarik suatu kesimpulan mengenai arti “sukses”. Sukses itu bukan hanya saat kita mencapai impian-impian kita, cita-cita kita. Tapi sukses itu adalah saat seseorang berhasil bangkit kembali setelah jatuh. 

Walaupun mungkin buku ini lebih cocok bagi mereka yang bergerak di bidang wirausaha, marketing dan sales, namun pesan dalam buku ini jelas, tetap miliki attitude yang baik dalam apa pun yang kita lakukan (passion) dan ingatlah untuk selalu berserah sama Tuhan, maka kita pun akan mendapat buah yang baik. 

Favorite quote :
“Kita tidak akan bisa mendapatkan perubahan apapun dalam hidup jika hanya berpikir dan berpikir.” ~hal 10

“Berani bertindak belum tentu menjamin keberhasilan. Namun tidak bertindak sudah pasti menjamin kegagalan.” ~hal 158

Saya jadi teringat bawah selama saya punya banyak impian, tapi ngga pernah kesampaian karena selama ini hanya diangankan doank. #EmangGakAdaAmbisi

DEAR KITTY (THE DIARY OF A YOUNG GIRL)

✮✮✮½
Judul Buku : Dear Kitty (The Diary of a Young Girl)
Penulis : Anne Frank
Penerbit : Atria
Penerjemah : Dina Begum
Jumlah Halaman : 412 Halaman
Harga : Rp 55.000 (sebelum diskon)
Segmen : Remaja

Sejujurnya saya agak bingung kalau mereview buku non fiksi berlatar sejarah. Karena untuk saya pribadi buku non fiksi itu bukan untuk dijudge atau dikritik, terutama menyangkut ceritanya. Jadi saya akan menerangkan saja secara garis besar apa yang saya rasakan mengenai Diary Anne Frank.  I won’t judge, only write about what I like from the book. 

Saya pertama kali tahu mengenai buku ini gara-gara sempet rame di fb BBI. Bukan karena isi bukunya tapi karena terjemahan judulnya. Dear Kitty, apa yang ada dalam  pikiran kamu kalau mendengar buku berjudul Dear Kitty? Kalau saya sih langsung terbayangnya ini :
Nah, mengingat buku ini tentang perang, judul Dear Kitty sepertinya terdengar sangat girlie. Di sanalah masalahnya. Seandainya orang tidak tahu siapa itu Anne Frank mungkin akan mengira kalau buku ini sejenis teenlit. Memang sih di bawah judul Dear Kitty ada sub-judul atau keterangan “Diari si Gadis Kecil yang Bersembunyi dari Kejaran Nazi” Tapi untuk buku yang sifatnya non fiksi atau biografi atau sejarah, saya kira lebih baik judulnya dibiarkan saja apa adanya tanpa perlu dibuat terdengar “fancy” atau “cute”. Misal “Buku Harian Anne Frank” atau “Buku Harian Seorang Gadis Kecil”. Tapi itu hanya pendapat saya saja. Eniwei, Kitty adalah nama yang diberikan Anne untuk buku hariannya. 

“Aku ingin terus hidup bahkan setelah mati”

Pada saat pecah perang dunia 2, Anne dan keluarganya terpaksa bersembunyi dari kejaran Nazi Jerman dalam suatu tempat yang disebut “Paviliun Rahasia” karena saat itu para tentara Jerman sedang mencari dan menangkap orang-orang Yahudi untuk di kirim ke kamp-kamp konsentrasi, dan tak terkecuali Anne dan keluarganya yang keturunan Yahudi. Selama masa persembunyian itu, satu-satunya teman Anne untuk berkeluh kesah hanyalah buku hariannya. Karena menurut orang-orang dewasa, Anne adalah gadis kecil yang cerewet dan sering mereka tak sabar terhadapnya. Oleh karena itulah, Anne memilih buku harian tempat di mana ia bisa menuliskan perasaan-perasaannya dan menjadikannya sahabat sejati, karena menurutnya “kertas lebih sabar daripada orang”

Awalnya saya sempat mengira kalau buku ini bertema perang, seperti Nazi, tentara, kamp konsentrasi, Yahudi, kekejaman perang, ternyata tidak. Sekiranya bagian-bagian itu tidak dibahas detil. Buku ini  lebih berkisah mengenai kehidupan sehari-hari Anne dan keluarganya dan juga para penghuni lain di Paviliun Rahasia selama menjalani masa persembunyian mereka. Seperti gadis remaja pada umumnya, Anne juga sering merasa galau, lalu ketidak-cocokan Anne dengan ibunya dan tentu saja mengenai rasa takut dan cemas akan ketahuan tentara Jerman juga betapa tidak nyamannya karena hidup dalam persembunyian, mulai dari makanan yang dijatah sampai masalah jamban. 

Tapi tidak semuanya hanya tentang perasaan tak berdaya dan ketidaknyamanan, karena dalam persembunyian pun Anne bisa mengalami jatuh cinta. Walau beberapa bagian juga ada terasa membosankan misal saat Anne menceritakan kejadian-kejadian sepele seperti pertengkaran konyol antar para penghuni di tempat persembunyian hanya karena hal sepele.  Tapi secara keseluruhan, saya suka gaya berceloteh Anne di buku hariannya yang terkesan witty and funny (yup, she is Gemini)

Tapi buku ini tidak hanya menceritakan mengenai kejadian-kejadian yang Anne alami  dan rasakan selama bersembunyi melainkan juga pandangan-pandangannya terhadap kejadian-kejadian di sekelilingnya. Jujur saya kagum untuk seorang gadis berumur 14 tahun, pandangan Anne sangat dewasa. Misalnya saja pandangan Anne mengenai perang, hal 316. 

“Apa, oh, apakah gunanya perang? Kenapa orang tidak bisa hidup dengan damai? Kenapa harus ada semua kehancuran ini?”

“Kenapa harus mengucurkan jutaan untuk perang setiap harinya, tapi tidak ada satu sen pun yang tersedia untuk pelayanan medis, seniman, atau untuk orang miskin?”

Good point Anne. Dan sayangnya hingga sekarang, hal tersebut masih terus terjadi dan tetap tidak ada jawaban memuaskan mengapa perang, kekerasan dan segala jenis tragedi kemanusiaan masih terus terjadi hingga detik ini. Manusia menghancurkan, manusia membangun, lalu manusia menghancurkan lagi.  

Ada beberapa typo yang saya temukan sepanjang buku :
Hal. 150 : pensaran penasaran
Hal. 154 : pertengkarang → pertengkaran
Hal. 180 : meakukan  melakukan
Hal. 365 : polng  polong
Hal. 373 : tingi  tinggi

Satu hal yang membuat saya sadar selesai membaca Diary Anne Frank, yaitu betapa pentingnya menulis untuk saya. Seperti yang Anne tulis di halaman 281, “Karena aku bisa menangkap kembali semuanya saat menulis, pikiran, idealisme, dan fantasiku.”

Curhat bentar, baca buku harian Anne Frank ini mengingatkan saya, kalau dulu saya juga suka menulis buku harian, dan tiba-tiba saja saya iseng mengaduk-ngaduk isi lemari dan menemukan tumpukan buku harian lama yang saya tulis sejak SMP-SMU-kuliah, lumayan totalnya ada 7 buku.

Satu-satunya masalah adalah, ada 1 buku harian saya yang gemboknya nggak bisa dibuka karena macet T_T (terpaksa cari kunci di tukang gembok deh).Eniwei, iseng-iseng saya buka kembali diary-diary itu dan ternyata tulisan saya dulu lumayan (lumayan sukses bikin saya tertawa dan emosional saat membacanya sekarang). Trus yang bikin melek, ada beberapa ide cerita juga yang saya tulis di buku harian. Tapi yang saya suka dari jurnal atau buku harian adalah kepolosan dan kepribadian seseorang saat menulis begitu terasa. 

Sekarang ini mungkin sudah jarang orang yang menulis buku harian mengingat di jaman serba elektronik ini, rata-rata orang sudah menggantikan buku harian dengan blog. Tapi ada rasa yang berbeda saat saya membaca tulisan dalam blog dengan tulisan di buku harian.  Tulisan dalam buku harian terasa begitu raw atau mentah jadi lebih terasa jujur, personal dan naked (apa adanya). Sedangkan di blog, boleh dibilang yang sifatnya pribadi pun, semuanya sudah sudah difilter (baca : pencitraan). Sepertinya saya harus melanjutkan menulis diary kembali (karena timbunan diary kosong saya masih ada 6 buku). Dan seperti yang Anne Frank tulis (Hal 181) :
“Kusembunyikan aku di dalam diriku, aku hanya mempertimbangkan diriku dan diam-diam menuliskan semua kegembiraan, kesedihan, dan kebencian di dalam buku harian. Buku harian ini sangat berharga bagiku, karena telah menjadi buku kenangan manis di banyak tempat, tapi dalam banyak halaman tentu saja aku bisa meletakkan masa yang sudah berlalu.”

Yup, menulis adalah suatu bentuk komunikasi, bahkan mungkin bisa lebih kuat dari ucapan sebab :


Verba volant, scripta manent-yang terucap bakal lenyap, yang tertulis akan abadi.