THE WITCH’S GUIDE TO COOKING WITH CHILDREN: RETELLING OF HANSEL AND GRETEL WITH 80% SIMILARITIES.

Judul: The Witch’s Guide To Cooking With Children
Pengarang:  Keith McGowan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Tanti Lesmana
Jumlah halaman: 192 halaman
Cetakan 1, Juni 2012
Segmen: Anak-anak
Genre: Fantasi, retelling fairy tales
Harga: Rp 15.000 (beli di obralan Gramedia)
Rate: ★★★

Solomon dan Constance, atau lebih sering disebut Sol dan Connie adalah kakak beradik yang baru pindah ke kota Schoneberg. Sol, anak cerdas berusia 11 tahun yang menyukai sains, sedangkan adik perempuannya Connie menyukai hewan dan sangat cerdik. 

Di kota itu, secara tak sengaja mereka bertemu dengan Fay Holaderry dan anjingnya, Swift. Meskipun Fay bersikap ramah terhadap kedua anak tersebut, namun ada sesuatu yang menggangu Sol. Ia curiga, tulang yang dibawa oleh anjing Fay, bukanlah tulang hewan, melainkan tulang manusia. 

Bersama-sama, Sol dan Connie berusaha menyelidiki siapa sebenarnya Fay. 

Apakah ada yang pernah menonton serial TV Once Upon a Time yang biasa tayang di TV kabel, tepatnya di channel StarWorld? Cerita dalam buku ini agak-agak mirip konsepnya dengan serial TV Once Upon a Time. Setting modern yang berpadu dengan karakter-karakter dan cerita dari dongeng. Dalam buku ini, dongeng yang diambil adalah Hansel and Gretel karya Grimm bersaudara. 
Sejak awal, penulis sudah memberi tahu, kalau awal kisah ini bermula dari Hansel dan Gretel, karena itu ceritanya pun tidak jauh-jauh dari penyihir yang suka memakan anak-anak, hanya saja tokoh anak-anaknya di sini bukan Hansel dan Geretel tapi Sol dan Connie. Cerita dalam buku ini sejujurnya tidak terlalu menawarkan retelling yang berbeda dengan kisah aslinya. Bila boleh saya sebutkan 80% plot ceritanya mirip, hanya setting dan beberapa karakternya yang berbeda. 
Karena itulah, untuk saya pribadi membacanya terasa datar-datar saja. Penuturannya sendiri lumayan menarik, namun karena saya sudah tahu kisah Hansel dan Gretel, jadinya saya sudah bisa menebak jalan ceritanya (ya, kan namanya juga re-teling) tapi retelling sekalipun bisa dibuat sangat berbeda dengan akhir yang penuh twist
Satu-satunya hal yang saya suka dari cerita ini adalah hubungan kakak-beradik antara Sol dan Connie. Sol yang meski terkesan cuek tapi sangat menyayangi dan peduli pada sang adik, sedangkan Connie yang bandel dan terkadang suka berbuat licik pada kakaknya sendiri, namun ujung-ujungnya tetap selalu mengandalkan sang kakak.

Salah satu dialog Sol terhadap adiknya, Connie yang saya suka adalah:

“Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Tapi itu tidak berarti aku tidak akan menolong dan melindungimu.” ~hal 174

Untuk karakter-karakternya sendiri, semuanya tipikal. Walau sejujurnya, saya penasaran dengan si penyihir. Untuk karakter anak-anak, saya hanya suka Sol. Connie terlalu bandel, hehehe. 

Moral dari buku ini bukan bagaimana cara mengalahkan penyihir tapi tak peduli meskipun kau sering bertengkar dengan saudaramu, tetapi sesama saudara harus saling mengandalkan dan tolong menolong di masa-masa sulit.

Review saya singkat saja, karena bukunya sendiri juga tipis dan ceritanya cenderung lurus. Kalau pun ada yang mau saya keluhkan adalah cetakan ilustrasi dalam buku yang terlalu gelap.

Reviewed by:

This review also for RC: 

GOOD OMENS: IT’S NOT RIGHT BUT IT’S ALL RIGHT

Judul Buku: Good Omens (The Nice and Accrate Propecies of Agnes Nutter, Witch)
Pengarang: Neil Gaiman & Terry Pratchett
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Lulu Wijaya
Desain Sampul: Satya Utama Jadi
Jumlah Halaman: 520 Halaman
Cetakan pertama, April 2010
Segmen: Dewasa
Genre: Fantasi, humor, komedi satir, cerita absurd
Harga: lupa, sudah beli sejak tahun 2010 waktu Gramedia masih diskon 30 % all items kecuali elektronik)
Rate: ★★★

Catatan: Review absurd, aneh dan tidak penting ini dibuat oleh penulis sebagai bentuk eksperimennya terhadap imajinasinya yang suka terlalu aktif. Jika anda tidak mengerti, disarankan untuk tidak melanjutkannya sebelum kepala anda tambah cenat-cenut. 

Para pelakon:

Monky, alias provokator amatir & tukang cela


Detektif RedFox, alias penyidik swasta


Krebi, alias kepala pengurus rumah tangga


Oniyon, alias Kritikus sotoy

Lady Tell Storytelling, sebagai narator moody yang sering galau


Bulan purnama bersinar amat terang. Bentuk bulan pada malam itu begitu bulat sempurna dan juga sangat besar, seolah bulan tersebut tampak akan terjatuh di negeri Bookworm. Sinar bulan menerangi nyaris seluruh penjuru kota Bookworm, menjadikan malam seolah penuh cahaya, kecuali satu tempat. Tempat itu adalah sebuah kedai teh bobrok yang terletak di ujung jalan dan berada paling pojok dari sebuah jalan kecil nan sempit yang untuk masuknya hanya bisa dilalui satu persatu orang.

Kedai teh itu gelap dan lampu penerangannya pun sering padam dan menyala, menimbulkan suasana remang-remang, namun suasana seperti itu memang sengaja di cari oleh 3 mahluk yang tampak sedang berdiskusi serius di suatu meja kecil di pojok ruangan.

Ketiga sosok mahluk tersebut adalah seekor monyet berbulu coklat dengan ekor panjang, lalu sesiung bawang putih dengan jambul yang kurang menonjol dan mahluk terakhir adalah seekor rubah berwarna merah yang selalu membawa kaca pembesar dan teropong.

“Jadi 2 manusia homo itu adalah…” si monyet berbulu coklat tak dapat melanjutkan ucapannya.

“Tapi, mereka bukan manusia, dan homo itu hanya karena penampilan saja” koreksi si bawang putih.

Si rubah menatap mereka berdua dengan serius, lalu ia melirik ke seluruh penjuru ruangan, memastikan bahwa tidak ada orang lain selain mereka bertiga yang mendengar perkataannya. “Mereka bukan manusia. Pria parlente yang itu adalah malaikat, namanya Arizaphale, sedangkan pria aneh satu lagi, yang tampak seperti Man in Black karena selalu memakai kacamata hitam adalah Crowley, si iblis.”

“Dan tepatnya bagaimana kau yakin kalau mereka seperti yang kau bilang?” dengus Oniyon tak percaya.

Si rubah mau tak mau kembali mengingat-ingat kejadian aneh yang beberapa saat lalu menimpanya. Semua ini terjadi karena dia menerima tugas yang diberikan kepadanya oleh 2 kliennya, yaitu seekor monyet bernama Monky dan mahluk berwujud bawang putih yang bernama Oniyon. Tampaknya kedua mahluk tersebut mempunyai seorang majikan yang eksentrik yang suka memberikan mereka perintah yang aneh-aneh, salah satunya adalah menafsirkan ramalan kuno berusia 300 tahun tentang …. akhir jaman. Sungguh kalau orang waras, daripada meramalkan akhir jaman, akan lebih baik meramalkan prakiraan cuaca, jadi mereka bisa tahu apakah pada hari itu mereka perlu membawa payung atau tidak.

Sebagai detektif yang sedang mengumpulkan reputasi, RedFox selalu merasa tertantang akan setiap kasus yang disodorkan padanya. Jadi tanpa ragu, ia menerimanya. Pertama-tama misi itu tampak mudah, yaitu mencari seorang gadis yang dicurigai sebagai keturunan peramal, lalu mencari seorang bocah yang diduga sebagai pangeran neraka, tapi sepertinya ada salah alamat mengenai bocah itu, yang membuat RedFox nyasar hingga ke Ujung genteng. Tapi petunjuk penting berikutnya adalah 2 manusia aneh yang ditemuinya sepanjang mencari petunjuk. Mulanya RedFox mengira mereka hanyalah 2 orang eksentrik (seperti orang Inggris pada umumnya) di mana yang satu sangat menyukai buku-buku ramalan bekas, dan yang satu lagi terlalu menyayangi mobil Bentley hitamnya, tapi alangkah kagetnya ia saat melihat kedua pria itu mengeluarkan sayap pada punggung mereka.

Untuk tebakan awal, mulanya RedFox mengira mereka berdua adalah malaikat, tapi tampaknya tebakannya hanya separuh benar. Sebab pria satunya (yang hampir memakai kacamata di setiap kesempatan, baik cuaca hujan maupun panas) ternyata tidak betul-betul malaikat, sebab ia jelas terlalu duniawi untuk ukuran malaikat, dan akhirnya RedFox mengambil kesimpulan kalau si pria yang selalu berkacamata hitam itu adalah seorang malaikat jatuh atau si iblis. Tapi setelah beberapa saat yang membuat ngantuk yang harus dilalui oleh RedFox  untuk mengamati kedua orang tersebut, RedFox pun sadar, kalau si iblis juga terlalu mempunyai hati untuk ukuran iblis.

Tapi tidak ada saat paling campur aduk bagi RedFox sepanjang karirnya, hanya karena sebuah ramalan, ia harus bertemu berbagai macam mahluk aneh, seperti cenayang palsu, lalu empat penunggang kuda, tidak lebih tepatnya empat pengendara motor dari neraka yang mempunyai nama-nama aneh yang sangat tidak enak didengar, seperti Perang, Kelaparan, Polusi dan Kematian. RedFox tahu sekarang ini orang suka menggunakan nama-nama aneh yang mereka pikir eksotis, walau nyatanya lebih mirip keseleo lidah.

O ya, masih lanjut soal mahluk aneh, selain itu ada juga sersan pemburu penyihir yang lebih mirip boneka ventriloquist raksasa. Namun yang paling membuatnya jengkel adalah hujan ikan di mana-mana (bagaimana tidak menjengkelkan saat kau sedang berjalan santai dan blukkk, ada ikan tuna besar jatuh menimpa kepalamu). Dan orang -orang aneh tersebut tidak sadar bila rumah mereka telah ia pasangi penyadap. Walau tampaknya penyadap itu tidak terlalu memberi banyak informasi terhadap RedFox. Pertama ia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan meski ia mengerti bahasa mereka.

Kedua, sering kali ia mengantuk saat sedang mendengarkan suara-suara dalam sadapannya. Terlalu banyak orang, pikir RedFox, sampai ia tidak tahu siapa sedang berbicara dengan siapa. Namun ia bisa menangkap beberapa inti, seperti: sering perbuatan manusia lebih menjijikan daripada iblis dan terkadang mereka tidak butuh iblis untuk melakukan hah-hal jahat karena manusia mempunyai 1 hal yang tidak dimiliki oleh malaikat dan iblis, yaitu kehendak bebas.

Malam semakin larut, si monyet tampak terkantuk-kantuk mendengar cerita si rubah. Sementara di sebelahnya, Oniyon tampak serius mencatat. Suasana tenang itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara pintu yang menjeblak, membuat Monky yang mulai masuk ke alam mimpi langsung terbangun dan kepalanya membentur sisi meja.

Sebuah sosok aneh berdiri di ambang pintu, kedua sisi dari sosok aneh itu tampak tajam, Monky, Oniyon dan RedFox tampak makin mengerut di pojok, lalu dengan langkah yang aneh tersebut, sosok tersebut berjalan menuju meja counter, dan terdengarlah suara yang sangat familiar.

“Anu, permisi. Saya kehabisan teh English Breakfast, dan toko-toko sudah pada tutup. Apakah anda masih mempunyai sekaleng teh English Breakfast? Bisakah saya membelinya?” ujar suara dari sosok itu yang ternyata adalah seekor kepiting merah.

Melihat si kepiting merah, RedFox tampak tenang kembali, namun tidak demikian dengan kedua kliennya yang tampak bersembunyi di bawah meja. Si monyet menaikkan 1 jarinya ke mulut yang membuat isyarat agar si rubah merah tetap diam dan tidak menarik perhatian.

“Terima kasih banyak atas teh English Breakfast-nya,” kepiting merah kembali berkata. “Sekarang aku bisa tenang, karena semua persiapan untuk sarapan besok pagi sudah lengkap. Lady-ku biasa meminum teh English Breakfast saat sarapan. Dia pasti akan kecewa kalau tehnya bukan English Breakfast.”

Setelah si kepiting merah pergi meninggalkan kedai teh, Monky dan Oniyon perlahan-lahan menyeruak dari kolong meja. Keduanya saling berpandangan, lalu menghela nafas lega. Si rubah merah walau masih bingung, perlahan-lahan tampak mulai paham.

“Nah terima kasih atas penyelidikannya, Detektif RedFox. Tapi sekarang hampir tengah malam, kami harus pulang,” Monky berkata cepat. “Kami senang menggunakan jasamu.”

“Ini,” Oniyon menyodorkan sekantong penuh kepingan uang logam kepada si rubah. “Semua lunas.”

“Tunggu sebentar,” si rubah merah menahan kedua kliennya, jelas menuntut penjelasan, “Kalian harus jelaskan mengapa kalian tiba-tiba pergi?”

Monky dan Oniyon kembali saling berpandangan, seolah saling melempar siapa yang akan menjelaskan. Akhirnya Oniyon kalah dan menjelaskan “Begini RedFox, seperti yang sudah dibilang oleh Monky, hari sudah hampir tengah malam, jadi tidak aneh kalau kami harus pulang. Dan kedua, kami memakai jasamu bukan untuk menyelidiki mengenai Armageddon. Maksudku siapa yang tahu kapan itu terjadi, kami berdua lebih suka dunia yang aman dan nyaman saja tanpa banyak kejadian aneh, jadi kenapa harus ribut-ribut soal itu, biarlah itu menjadi sebuah misteri yang tak dapat dikatakan oleh manusia. Tapi kami berdua mempunyai tugas untuk melaporkan mengenai buku yang menyangkut hal itu.”

Oniyon mengambil nafas sejenak, tak mengira bahwa penjelasannya bakal panjang kali lebar, ia lalu menyikut Monky, yang artinya, ‘sekarang giliranmu’.

Monky berdehem dan melanjutkan, “Tapi kami punya hal-hal lebih penting untuk dilakukan seperti bermain Hayday atau mengupdate status kami di sosial media, jadi kami agak eh lupa soal masalah membahas ramalan itu dan kami butuh seseorang untuk menggantikan tugas kami.

Singkat kata, kau adalah Ghost Writer kami,” ujar Monky yang sekarang beneran mengantuk, meskipun yang didengarnya adalah perkataannya sendiri.

“Dan kepiting merah tadi?” tanya si rubah.

“Dia pengurus rumah tangga dari bos kami,” jawab Monky.

“Karena itulah kami tidak boleh terlihat olehnya, karena semua akan sia-sia bila sampai ketahuan,” Oniyon melanjutkan penjelasan Monky.

Singkat cerita, si monyet dan si bawang pun pergi meninggalkan si rubah merah yang masih berusaha memahami. Dan sejak saat itu, detektif RedFox lebih teliti sebelum menjual jasanya.

By:

Review ini juga untuk RC :

TRIANGULAR LABYRINTH: MENARIK TAPI EKSEKUSINYA TERBURU-BURU

Judul Buku: Triangular Labyrinth
Pengarang: Lommie Ephing
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Veronica Vonny
Desain Cover: Eduard Iwan Mangopang
Jumlah Halaman: 256 Halaman
Cetakan, Maret 2014
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Fantasi
Harga: Rp 35.000 (30% off dari Rp 50.000, ultah Gramedia)
Rate: ★★★

Luna selalu membuat kehidupan Mauren tidak bahagia. Sejak kelahiran adiknya itu, perhatian kedua orang tuanya seolah tercurah hanya untuk Luna. Apapun yang diinginkan Luna selalu dituruti. Luna adalah nomor 1, sedangkan Mauren seperti anak tiri. Semuanya terasa sangat tidak adil bagi Mauren. 
Puncaknya adalah saat kedua orang tuanya membatalkan liburan mereka sekeluarga ke Bali, dan itu semua akibat ulah Luna. Tidak terima, Mauren memaki-maki Luna dan mendapat tamparan keras dari Papa untuk pertama kali dalam hidupnya. Mauren sakit hati dan ia berharap agar adiknya, Luna lenyap saja dari kehidupannya. 

Dan keinginan itu terkabul. Sebuah papan permainan yang bernama Triangular Labyrinth, yang ditemukan Mauren di suatu toko mainan yang terbakar telah membawa adiknya itu masuk ke suatu dunia antah berantah yang sangat berbahaya. Tapi alih-alih senang karena Luna menghilang, Mauren justru merasa sangat bersalah, dan ia menyadari bahwa ia sebenarnya menyayangi sang adik, apalagi setelah ia tahu rahasia sang adik. 

Merasa bertanggung jawab, Mauren pun menyusul sang adik masuk ke dunia antah berantah tersebut untuk mencari, menemukan dan membawa pulang kembali sang adik. 

Namun ternyata mencari Luna dalam dunia aneh tersebut tidak mudah, selain harus siap menghadapi banyak mahluk-mahluk berbahaya yang siap memangsanya, Mauren tidak punya petunjuk mengenai keberadaan sang adik. Yang ia tahu setelah beberapa saat menemukan Luna, seekor burung gagak raksasa pemakan daging langsung menculik sang adik dan membawanya pergi. 

Beruntung, Mauren bertemu Zermus, mahluk yang tidak bisa terlihat oleh mata ini bersedia untuk membantu Mauren menemukan sang adik. 

Maka dimulailah petualangan Mauren di Triangular Labyrinth untuk menemukan Luna. 


Ceritanya Cukup Menarik

Sewaktu melihat sampul depannya, saya langsung penasaran, karena gambar bayangan centaur di depannya langsung memberitahu saya bahwa buku ini bergenre fantasi. Salah satu genre favorit saya, dan setelah saya baca sinopsis dan lihat nama pengarangnya, ternyata buku ini fantasi lokal. Jarang-jarang ketemu fantasi lokal di tengah gempuran buku fantasi terjemahan dan genre non fantasi lokal. Selain tertarik karena covernya, saya juga suka akan sinopsis di belakang buku yang bertema keluarga. 
Secara konsep, Triangular Labyrinth ini cukup menarik, walau ide ceritanya mengingatkan saya akan suatu film di tahun 90-an yang berjudul Jumanji, kisah mencari adik yang hilang ke dimensi lain juga mengingatkan saya akan cerita dari novel The Iron King, namun gaya bahasa dan penuturan yang ringan membuat buku ini gampang untuk dinikmati, saya pun hanya butuh 1 hari untuk membacanya. Beberapa orang mungkin takut kalau genre fantasi akan terasa berat, tapi tenang saja, buku ini mudah dibaca, walau konten ceritanya sebenarnya cukup serius.

Untuk bagian awal, saya sempat mengira kalau buku ini sejenis bacaan remaja yang ringan dengan persoalan klise macam cowok dan teman. Tapi ternyata saya salah, buku ini lebih ke tema persaudaraan atau keluarga. Dan bahkan pada beberapa adegan terasa cukup sadis dan konfliknya juga serius, makanya meski tokoh Mauren baru berusia 17 tahun saya tidak melihat ada label teenlit di sampul depannya. Karena memang ceritanya bukan tipikal teenlit. Tapi meski ada adegan sadis, penggambarannya cepat dan halus, jadi tidak terlalu menakutkan. 

Sekarang bagian protesnya (may contain spoiler)

Nah ini dia bagian yang kurang menurut saya. Pertama para karakter. Saya merasa karakternya pada tidak konsisten. Hanya Zermus, sang Varaktus yang konsisten, selebihnya macam Mauren dan Pangeran Edmun tidak konsisten. Terutama Edmun yang digambarkan pengecut dan takut mati lalu menjadi “langkahi dulu mayatku”, lalu dari gentleman jadi suka main tampar dan tebas lalu berubah jadi gentleman lagi (sepertinya Edmun ini tipe yang kiss and slap yah dan banyak adegan tampar-menampar di buku ini). Yang saya tangkap, karakternya over pede, suka gombal, suka memaksakan kehendak (mungkin karena dia pikir dia anak Raja jadi semua orang harus menurut padanya, tapi lakukan dengan gaya yang lebih elegan donk) dan tentu saja temperamental. Untuk saya pribadi meski berkali-kali diberitahu ganteng, tapi tetap jauh dari likeable.

Untuk pemeran utama sendiri yaitu Mauren, saya masih menganggap Mauren itu damsel in distress. Kalau bukan karena Zermus, mungkin Mauren sudah gagal sejak awal. Dan selebihnya ia selalu ditolong oleh nyaris semua karakter dalam buku. Selain itu sifat Mauren juga menyebalkan menurut saya. Sering perhatiannya teralihkan lupa akan tugas utamanya datang ke Triangular Labyrinth dan Mauren juga self-centered. Padahal karakter Mauren seharusnya bisa dikembangkan atau ada unsur redemption dari yang tadinya egois dan menyebalkan bisa lebih tangguh, berani, berpendirian dan berjiwa besar, tapi saya masih belum menangkap gambaran perubahan ini, selain dari masalah menolong adiknya.

Kedua, plot cerita yang terburu-buru dan terasa janggal. Saya tidak tahu apakah penulis diberi batasan halaman. Tapi beberapa hal terasa janggal, seperti mengapa Mauren tidak fokus dalam mencari adiknya. Masih sempat-sempatnya menikmati pesta dansa, menikmati memilih gaun-gaun & bersenang-senang sama Pangeran, padahal nasib sang adik masih tidak jelas dan waktunya sempit, kenapa tidak langsung ngomong ke Pangeran kalau ia lagi mencari adiknya, secara Pangeran pasti punya pasukan untuk membantu. Memang akhirnya Mauren dibantu, tapi setelah melalui beberapa plot ala opera sabun  keluarga bangsawan yang menurut saya tidak terlalu relevan.

Selain itu Mauren juga seolah tidak banyak diberi kesempatan untuk bereaksi pada beberapa bagian plot. Ia tampak hanya sekedar mengikuti dramanya saja alih-alih sebagai karakter utama, dan inilah yang saya maksud dengan plot yang terburu-buru. Termasuk PDKT dari sang pangeran yang terlalu instant (baiklah anggap saja pangerannya memang gemar merayu).

Karaker yang saya suka di sini Zermus karena ia yang paling tulus dari semuanya, tapi juga karakter yang paling dikasihani. Walau saya ngerti sih pasti bakal aneh rasanya kalau melihat romens Zermus & Mauren. Saya ini tipikal yang kurang bisa memahami hubungan asmara beda species. Beda species yang saya maksud di sini tuh misal burung onta sama badak bercula satu (metafora aja). Saya bisa menerima kalau masih ada wujud manusia utuhnya, misal vampire, shape shifter, malaikat, dll. Kalau untuk romens Edmun-Syanne, saya melihatnya terlalu lebay. Tapi untunglah (terlepas dari adegannya yang kadang cheesy) porsi romens dalam buku ini pas alias masih sebagai bumbu penyedap dalam cerita.

Akhir review, selamat untuk penulis atas novel pertamanya ini. Saya suka dengan gaya bahasanya yang ringan tapi padat, seandainya ada sekuelnya, saya pasti akan membacanya lagi, karena masih banyak hal yang bikin penasaran. Semoga makin banyak genre fantasi lokal terbit di Indonesia dengan cerita yang bagus dan makin variatif.

IF I STAY: ENJOYABLE BUT NOT MEMORABLE

Judul Buku: If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini)
Pengarang: Gayle Forman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Jumlah halaman: 200 Halaman
Cetakan pertama: Februari 2011
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Drama, realistic fiction
Harga : Rp 28.000 (20% off from Rp 35.000)
Rate: ★★★

Hidup Mia terasa sempurna. Ia memiliki keluarga yang baik dan menyayanginya, sahabat yang selalu setia mendampingi dan pacar yang selalu memuja dan mendukungnya. 

Nilai-nilainya di sekolah rata-rata baik, kelakuannya manis dan tak pernah menimbulkan masalah, dan yang membanggakan, semua orang selalu memuji bakatnya dalam bermain musik klasik, yaitu cello. Mia pun mempunyai masa depan cerah saat sekolah musik elit dan bergengsi dari New York, Juilliard mengundangnya untuk ikut audisi. 

Namun semua itu hilang dalam sekejap, saat suatu kecelakaan maut nyaris merengut semua yang dimiliki Mia. Nyaris, karena ia sendiri masih hidup meski keadaannya koma, sementara keluarganya tewas seketika. 

Mia terjebak dalam keadaan hidup dan mati. Ia harus memilih apakah bergabung bersama keluarga yang disayanginya atau tetap tinggal dan melanjutkan hidup penuh duka.
Membacanya cukup menyenangkan tapi tidak sampai bikin ketagihan.

Saya akui, alasan utama saya membaca buku ini supaya nanti pas filmnya keluar, saya bisa dapat feelnya karena telah membaca bukunya. Sudah hal umum bahwa jarang ada film yang bisa melampaui buku. Dan bagaimana kalau kita lihat trailer filmnya dahulu, sebelum saya melanjutkan review saya 😀

Rasanya tidak adil kalau saya bandingkan sama trailer macam The Fault in Our Star yang baru  nonton trailernya saja sudah sukses bikin saya mau nangis, mungkin kapan-kapan saya akan buat postingan yang membahas trailer Book Into Movies. Tapi melihat trailer If I Stay, maaf saja jika saya mengatakan ini, tapi trailernya terlalu biasa dan kurang menarik minat untuk membuat orang menontonnya (apalagi mereka yang tidak membaca bukunya sama sekali), just my 2 cents. Narasi Chloe Moretz kurang melankolis, padahal karakternya sebagai Mia, yang saya tangkap di buku itu kalem dan melankolis. Dan Adam, kesan rockernya sih dapet tapi kalau menurut saya kurang keren, heheheh, maaf untuk fans Adam. Semoga hal ini bisa berubah saat saya menonton filmnya yang rencana tayang bulan Agustus nanti.

Eniwei back to topic, If I stay adalah novel segmen YA ke-3 yang saya baca di tahun 2014 ini. Berbeda dengan 2 YA sebelumnya yang bernuansa fantasi, If I Stay meski mempunyai tema antara kehidupan dan kematian, saya menggolongkan buku ini lebih ke realistic fiction. Karena isi cerita dalam buku ini, terasa sangat membumi. Buku ini seperti teenlit yang lengkap, ada cerita mengenai persahabatan, cowok, keluarga dan tentunya cita-cita.

Bukan Kisah Sedih

Banyak yang bilang buku ini sedih. Tapi setelah saya membacanya, sama sekali tidak sedih, karena buku ini tidak membahas reaksi Mia pasca kehilangan keluarganya. Buku ini justru lebih banyak membahas kehidupan Mia sebelum kecelakaan. Jadi memakai alur maju mundur.

Kisah dalam buku ini bergulir seperti sebuah kilas balik, pengarang mengajak pembaca untuk melihat kehidupan sehari-hari Mia sebelum terjadinya kecelakaan. Meski kehidupan sehari-hari Mia tergolong biasa alias normal-normal saja, namun cara penulis menuturkannya terasa begitu mengalir, tenang dan apa adanya. Tidak ada kata-kata berbunga yang membuat pusing, tidak ada kalimat-kalimat lebay pada bagian romensnya dan walau mungkin ada sedikit metafora dengan menggunakan istilah-istilah musik (karena Mia dan lingkungannya adalah pecinta musik) yang bikin bingung tapi tidak terlalu banyak.

Selain itu saya suka interaksi-interaksi para tokoh dalam buku ini. Interaksi Mia dan keluarganya yang selalu tampak hangat dan saling mendukung meski sesekali berselisih paham namun pada akhirnya kembali berdamai. Interaksi Mia dan Adam yang meski saling mencintai namun dikisahkan dengan down to earth dan bukan tipikal romens “aku tidak bisa hidup tanpamu”. Untuk buku pertama ini, saya bilang romensnya masih bukan fokus utama, karena cerita Mia seputar keluarganya masih lebih banyak dibanding cerita Mia dan Adam.

Karakter-karakternya sendiri cukup oke bagi saya. Tidak ada karakter yang menyebalkan menurut saya. Mia gadis pemalu dan lembut yang selalu merasa terasing karena selera musiknya yang klasik. Adam yang meski rocker beraliran punk tapi ternyata cowok sensitif yang berhati lembut dan cara dia memperlakukan Mia sungguh manis sekali. Tidak heran banyak yang menominasikan Adam sebagai book boyfriend. Ada kata-kata Adam yang indah sekali di bagian akhir yang bikin saya terenyuh. Akan saya spoiler supaya yang belum membaca tidak hilang mood.

Jika kau tinggal, aku akan melakukan apa saja yang kauinginkan. Aku akan berhenti main band, pergi bersamamu ke New York. Tapi jika kau ingin menghilang, aku juga akan melakukan itu. Aku tadi bicara dengan Liz dan dia berkata mungkin kembali ke kehidupan lamamu akan menyakitkan, bahwa mungkin akan lebih mudah bagimu jika menghapus kami dari kehidupanmu. Dan itu akan sangat menyebalkan, tapi aku akan melakukannya. Aku sanggup kehilangan kau seperti itu asalkan aku tidak perlu kehilangan dirimu hari ini. Aku akan melepaskanmu. Jika kau tetap hidup.” ~hal. 192

Just in-depth analysis from me: Pro-Life or Pro-Choice. 

Ini cuma sekedar pemikiran drama saja dari saya, tapi saya berpikir apakah penulis memiliki pesan terselubung dalam buku ini, yaitu mengajak para orang muda untuk menjadi pro-choice. Oregon (negara bagian yang menjadi setting cerita dalam buku) adalah negara bagian yang sangat berprinsip kebebasan dan mengutamakan kesetaraan hak-hak asasi manusia sebagaimana negara bagian lain di pantai barat Amerika. Penulis tampaknya juga seseorang yang berprinsip liberal. Karena dengan menjadi pro-choice, kita membantu orang lain untuk memberi pilihan dalam hidup mereka.

Tapi saya tidak mau membahas mengenai pro life atau pro choice, karena untuk saya pribadi, pendapat saya mungkin bias atau saya mempunyai standar ganda mengenai pro-choice. Eniwei buat yang mau membaca YA dengan kisah hangat dan pahit tapi dikemas secara ringan, saya merekomendasikan buku ini.

BTW, mungkin karena baru buku pertama, walau saya menyukai karakter Adam di sini, tapi saya belum sampai bermaksud untuk memasukkannya dalam nominasi book boyfriend saya. Mungkin nanti setelah baca buku kedua yang katanya lebih banyak romensnya, saya akan berubah pikiran.

Memorable quote: 

“Kadang-kadang  kau membuat pilihan dalam hidupmu dan kadang-kadang pilihanlah yang memilihmu.”~hal. 161

“Aku sadar sekarang bahwa meninggal itu mudah sekali. Hiduplah yang sulit.” ~hal. 146

Balik ke casting film, Chloe Moretz sebagai Mia cantik banget dengan rambut coklat (tapi memang orangnya sudah cantik sih, mau diapain juga tetap cantik).

Dan pemeran Adam (Jamie Blackley) kok lebih ganteng di foto bawah yah kalau rambutnya pendek dibanding sama yang di film, heheheh. Di film model rambutya aneh, walau masuk akal sih, secara kan rocker.

Review ini juga untuk RC:

EXPLICIT LOVE STORY: SAAT WANITA BERBICARA SEPUTAR HUBUNGAN INTIM

Judul: Explicit Love Story
Pengarang: Lee Sae In
Penerbit: Haru
Penerjemah: Dimitri Dairi
Penyunting: NyiBlo
Cover designer dan ilustrasi: Angelina Setiani
Proofreader: Dini Novita Sari
Jumlah Halaman: 384 halaman
Segmen: Dewasa
Genre: Romance, Comedy, Drama, Korean-Lit
Harga: Rp 48.750 (25% off) beli di @bukubukularis
Rate: ★★★

Lady Storytelling menatap lurus ke arah jendela ruang bacanya, sore itu, cuaca hangat dan langit tampak cerah dengan warna-warni lembayung senja yang bersinar oranye dan keemasan, Tapi Sang Lady tidak sedang menikmati pemandangan sore yang indah itu, pikirannya menerawang, matanya terkantuk-kantuk dan kadang terpejam. 
“Selamat sore, milady. Dua tamu anda sudah datang.”
Seekor monyet betina kecil masuk ke ruang baca dan menyapa Sang lady dengan riang. Namun tidak ada jawaban dari Lady Storytelling, si monyet pun berjalan mendekati tempat duduk Sang Lady, terdengar suara hembusan nafas ringan dan lembut, rupanya Sang Lady lagi-lagi tertidur di ruang baca. Dengan lembut, si monyet kecil menepuk tangan Sang Lady untuk membangunkannya. 
Lady Storytelling mengerjap-ngerjap, dengan perlahan ia memalingkan wajahnya mencari siapa yang membangungkannya, tampak wajah seekor monyet yang penasaran. 
“Oh, kau rupanya, Momon. Ada apa?”
“My Lady, Lady Wan dan Madam Shortcake sudah menunggu dibawah. Saya sudah menyiapkan teh dan kue-kue untuk mereka. Anda akan segera turun kan?”
Sang Lady terdiam selama 2 detik, lalu menjawab, “Tentu saja, tidak sopan membiarkan tamu menunggu bukan?”
Sang Lady pun langsung bangkit dari kursinya dan bergegas turun untuk menemui kedua tamunya tersebut. Dia bukannya lupa kalau sore ini, dia sudah mengundang Madam Shortcake dan Lady Wan untuk  minum teh bersama di rumahnya sambil membahas buku yang baru saja mereka baca. Hanya saja selesai membaca buku tersebut, Sang Lady ternyata tidak menyukainya. tapi janji sudah janji, lagipula ia butuh sosialisasi setelah terlalu lama berpergian dalam cerita-cerita di buku. 
Dari ruang tamu terdengar suara percakapan ringan, kadang terdengar suara kikikan melengking, yang Sang Lady duga adalah milik Lady Wan, karena Madame Shotcake terlalu menjaga sikap untuk tertawa cekikian seperti itu. 
“Maafkan keterlambatanku,” ujar Sang Lady sambil melangkah masuk, ia membetulkan letak kacamatanya lalu berjalan mendekati kedua tamunya dan menyalami Lady Wan dan Madam Shortcake yang dibalas oleh keduanya dengan pelukan. 
“Tak mengapa, Lady Storytelling. Justru kami yang merepotkanmu karena sekarang kau harus menjamu kami,” jawab Madam Shortcake sambil memeluk Sang Lady.

“Apa kabar Tell,” sapa Lady Wan yang juga memeluk sang Lady dan memanggil  Lady Storytelling dengan nama kecilnya.
“Aku baik, kuharap kalian baik dan sehat,” jawab Sang Lady ramah lalu mereka bertiga pun duduk. 
“Kami baik dan sehat, juga terimakasih atas tehnya, Lady Sorytelling. Sangat harum.” Madam Shortcake menghirup aroma teh di cangkirnya, tampak kelopak daun mawar berenang-renang dalam cangkir teh Madam Shortcake. 
“Aku tahu kau suka dengan teh mawar, Madam. Karena itulah aku menyajikannya sore ini. Aku senang karena kau menikmatinya.”
“Baiklah,” ujar Lady Wan tiba-tiba. “Cukup basa basinya, aku sangat bersemangat hari ini, karena buku yang kita bahas kali ini sangat dewasa. Hohoho.”

Berbanding terbalik dengan Lady Wan, Lady Storytelling tampak tidak bersemangat, ia menutupi helaan ringan nafasnya dengan  menyesap tehnya. Ia melirik sekilas Madam Shortcake, meski malu-malu tapi mata Madam Shorcake tampak berbinar-binar dan raut wajahnya juga terlihat penasaran. 
“Akhirnya kita membahas romens dewasa juga, dan karena kita di sini semua sudah dewasa, maka aku akan sangat-sangat terbuka dan gamblang dalam membahas adegan-adegan dewasa di sini,” Lady Wan berhenti sejenak dan mengambil nafas sebelum lanjut. “Jadi aku akan mulai dari Madam Shortcake dulu, bagaimana buku ini menurutmu Madam?”
Madam Shortcake tampak merona, “Ah, kau tahu dalam lingkungan sosial kita, wanita selalu dibatasi saat membicarakan hubungan fisik, seolah bahwa itu hanya cocok untuk laki-laki. Tapi aku suka buku ini karena memperlihatkan kalau wanita pun juga sama seperti laki-laki, punya keinginan akan tubuh mereka dan pasangan mereka.”
“Benar, benar,” sahut Lady Wan bersemangat, lalu ia menoleh ke Lady Storytelling, “Dan bagaimana menurutmu, Tell?”
Sang Lady hanya memasang tampang acuh tak acuh, lalu menjawab, “Kalau menurutku buku ini tak ubahnya seperti novel romens dewasa pada umumnya yang ceritanya lebih seputar aktivitas ranjang. Nah buku ini kurang lebih seperti itu, garis besarnya tentang seorang perempuan 24 tahun yang hormonnya lagi bergelora dan bertingkah sudah ahli dalam hubungan ranjang, padahal masih perawan, lalu ia bertemu dengan seorang cowok, mereka pacaran, saling gelinjang bergelinjang dan begitulah seterusnya. Jadi kesimpukanku, ceritanya biasa saja dan cenderung membosankan.”

Lady Wan tampak mengernyit sesaat mendengar jawaban Lady Storytelling, seolah Sang Lady sedang memberitahunya bahwa ia punya hutang.

“Tell, kau menjawab seperti itu karena kau merasa adegan intimnya kurang kan?” ejek Lady Wan.

“Seks maksudmu? Jika kau bertanya padaku, adegan intim dalam buku ini sudah diperhalus dan tidak sevulgar yang kubayangkan dan sejujurnya aku bukanlah penikmat adegan gelinjang, aku lebih suka kisah percintaan yang lebih melibatkan emosi. Tapi bukan itu maksudku. yang kumaksud adalah ceritanya yang sangat standar,” Sang Lady memberi penekanan kuat pada kata standar. “Sepanjang 384 halaman hanya mengenai adegan pacaran saja, apa kau tidak bosan? Aku sih bosan.”

“Ya tentu saja buku ini soal pacaran, judulnya saja Explicit Love Story, memangnya kau berharap apa?”

“Lho, aku kan sudah jawab kalau aku penikmat kisah cinta yang lebih melibatkan emosi.”

Lady Wan masih tetap mendebat, “Lha dibuku ini kan ada masalah juga dalam hubungan mereka?”

“Hanya kesalahpahaman kecil yang bisa diselasaikan dengan mudah, rata-rata orang pacaran juga ada salah paham.”

Madam Shortcake langsung melerai, “Sudah, sudah. Lady Storytelling, hanya itukah alasanmu tidak suka buku ini? Karena ceritanya terlalu standar?”

“Itu salah satunya, Madam. Selain itu, aku juga tidak terlalu suka akan karakter-karakter dalam buku ini. Tidak ada yang istimewa. Ceweknya plin plan yang dalam hati mau tapi di mulut beda. Sedangkan cowoknya, cuma mikirin seks. Aku merasa chemistry mereka di sini lebih ke nafsu. Selain itu aku tidak suka dengan sex before marriage, padahal kukira Korea adalah negara yang konservatif.”

Lady Wan mendengus, “Astaga Tell, kau ini hidup di abad sebelum masehi atau tahun 2014? Sekarang ini mau negara konservatif kek, mau negara religius kek, perawan itu sudah susah dicari di mana-mana  Dan mencoba dulu sebelum menikah itu sudah tidak aneh. Penikmat sex bebas itu wajar sekarang”

Wajah Sang Lady tampak sedih sesaat, namun dengan cepat ekspresinya kembali datar dan menjawab dengan ketus, “Aku sudah tahu.”

“Hihihi,” Lady Wan menampakan ekspresi usil, namun dengan nada mencela ia kembali berujar, “Siapa sangka, Lady Storytelling yang terkenal sotoy itu, ternyata masih lugu dan polos.”

Madam Shortcake kembali angkat bicara, “Cukup Lady Wan, kembali ke topik. Kau sendiri belum memberikan pendapatmu.”

“Aku?” Lady Wan memasang ekspresi genit dibuat-buat. “Madam, aku selalu ingin mengetahui seberapa jauh adegan intim itu disensor dalam novel. Menurutku sensor itu menyebalkan, padahal banyak yang bisa kita pelajari tanpa sensor. Misalnya untuk membangkitkan rangsangan, bisa dengan menjilati jari-jari pasangan kita, mulai dari telapak tangan hingga jari-jari lalu seluruh tubuh dijilat hingga basah oleh air liur.”

Lady Storytelling tampak mengernyit jijik mendengarkan penjelasan Lady Wan. Namun kali ini ia memilih diam. Sementara Lady Wan kembali melanjutkan, “Dan, Madam, tidakkah kau merasa kangen dengan Mr Blackforest, saat membaca kata-kata ini, belum jauh dia bergerak, aku sudah merasa kesakitan dan serasa hampir menangis. Meskipun demikian, dia masih terus menggerakkan pinggangnya.”

“Cukup, Lady Wan,” sergah Lady Storytelling. “Mungkin saja ada pelayan-pelayanku di balik pintu itu yang mendengar ucapanmu.”

Lady Storytelling tidak berkata bohong. Momon sempat merengek ingin diikut sertakan dalam jamuan minum teh sore itu, karena Momon sangat menyukai genre romantis, namun karena yang mereka bahas kali ini adalah novel dewasa, Lady Storytelling tidak bisa mengizinkannya. Namun ia tahu, kebiasaan jelek anak buahnya itu, kalau sudah penasaran akan sesuatu, perbuatan yang tidak sopan macam menguping pun akan dilakukan.

Lady Wan hanya mencibir lalu mengipas-ngipas dirinya, “Kau ini majikan, seandainya anak buahmu menguping, hukum saja mereka.”

“Jangan mengatur bagaimana aku mendidik anak buahku, Lady Wan, saat banyak pelayan dalam rumahmu suka meyelinap keluar malam dan menimbulkan kegemparan karena tertangkap sedang berduaan di suatu motel.”

Lady Wan bangkit berdiri dan ia terlihat marah, “Apa bedanya dengan yang barusan kau lakukan, Storytelling!”

“Berhenti!” Madam Shortcake nyaris berteriak. “Kalian seperti anak kecil tak tahu aturan saja.”

Mendengar hal itu, baik Lady Storytelling maupun Lady Wan langsung terdiam dan keduanya saling membuang muka. Lady Wan mengipas-ngipasi dirinnya seraya memandang ke arah jendela besar yang menghadap ke taman bunga di halaman belakang, dalam pemadangan itu tampak seekor kepiting merah sedang memangkas duri-duri mawar. Sementara untuk menenangkan diri, Lady Storytelling langsung menyesap tehnya lalu menghela nafas perlahan.

“Seharusnya pembahasan buku kita berjalan santai dan menyenangkan, bukan ribut seperti pasar,” Madam Shortcake  kembali membuka percakapan. “Baiklah Lady Storytelling, jadi alasanmu tidak suka, karena ceritanya terlalu standar menurutmu, hanya seputar orang pacaran yang berkasih-kasihan saja?”

“Ya, Madam. Selain itu, aku ingin menekankan, bagiku pribadi untuk bisa menyukai suatu cerita romens, aku harus suka dengan OTP (One True Pairing) pengarangnya dulu. Nah karena aku tidak suka dengan,” Lady Storytelling terdiam sebentar dan tampak mengintip sebuah kertas kecil di sakunya, “tidak suka dengan Ma Gyu Jin dan Han Lee Seon, maka jadinya aku juga tidak menikmati kisah percintaan mereka.”

Sang Lady lalu berbisik ke telinga Madam Shorcake, “Madam, Han Lee Seon ini bacanya Han Lee Sun atau han Lee Se-On sih?”

“Aku juga bingung, mungkin Han Lee Sun kali, seperti ejaan tempo doeloe,” Madam Shortcake menjawab bimbang.

“Kalau memang Han Lee Sun, tulis saja Han Lee Sun, yang ada orang jadi bingung bacanya.”

“Ehem, ehem,” terdengar suara batuk kecil dari arah lain, rupanya Lady Wan merasa dicuekin.

Madam Shorcake pun menoleh, “Ada yang ingin kau tambahkan, Lady Wan?”

“Madam, karena ini Korea, bagaimana kalau dibahas gambaran pemerannya juga?”

Madam Shortcake kembali bertanya, kali ini kepada Lady Wan, “Adakah aktor Korea yang kau bayangkan saat membaca buku ini, Lady Wan?”

“Madam, itu jelas sekali, bukakah penulisnya sendiri memberi bayangan kalau si cowok ini, ganteng seperti aktor So Ji Sub.”

Setetes darah merah keluar dari hidung Lady Wan, Madam Shortcake langsung cepat mengambil serbet dan mengelap darah di hidung Lady Wan, sementara Lady Storytelling hanya geleng-geleng kepala melihat Lady Wan yang mimisan.

“Astaga, baru melihat cowok topless saja kau sudah mimisan, Lady Wan,”

“Tell, kalau kau hanya bergeming melihat cowok setampan So Ji Sub, artinya hanya satu, yaitu kau adalah mahluk aseksual.”

“Itu karena So Ji Sub bukanlah seleraku, apa yang aneh kalau aku tetap bergeming,” tukas Sang Lady cuek.

Mimisan Lady Wan sudah berhenti, lalu ia duduk tegak sambil bergumam, “Oh, aku lupa seleramu itu kan dongseng.”

“Dongseng itu apa?” tanya Madam Shortcake.

“Berondong Madam, Lady Storytelling suka sama yang muda-muda,” Lady Wan memekik riang.

“Memang apa yang salah kalau aktor favoritku masih muda?” Lady Storytelling menjawab defensif. “Apa kau tidak tahu, Lady Wan, di Korea sedang trend casting nuna-dongseng. Adalah suatu kebanggaan bila seorang pria yang lebih muda bisa menaklukan seorang nuna, kau tahu kan, senioritas dan umur di sana itu penting.”

“Aku setuju,” sahut Madam Shortcake. “Karena itulah sepanjang membaca buku ini, mereka yang junior selalu memanggil soenbae kepada yang lebih senior, bahkan terhadap pacar sendiri.”

***
Maaf kalau ceritanya garing, tapi saya terpaksa akhiri sampai di sini, karena saat membuat review ini sempat tertunda dan mood saya sudah hilang untuk melanjutkannya.  Tapi masih ada kelanjutan yang lain tapi bukan review:
***
Sesudah semua tamunya pulang, sang Lady memanggil Oniyon. 
“Oniyon, siapkan buku berikutnya, aku mau pergi.”
“Milady, apakah anda akan pergi ke tempat pertunjukkan circus malam?”
 Lady Storytelling tampak berpikir sejenak, “Apakah ada romensnya?”
“Berdasarkan data dari para users Goodreads, 1234 users mengatakan ya, ini romens.”
“Oke, pass dulu, siapkan buku lain.”
“Bagaimana bila melihat harimau yang bisa menjelma menjadi Pangeran?” usul Oniyon. 
“Dari kalimatmu saja, aku sudah menduga itu pasti romens.”
“Eh benarkah begitu?” Oniyon tampak malu. “Baiklah bagaimana dengan Good Omens, Milady? Kudengar itu ceritanya absurd.”
“Aku berniat membaca buku humor itu untuk bulan Mei, Oniyon, karena ada tema humor di grup blogger, jadi pilihkan lagi buku lain.”
“Baiklah, kalau begitu tampaknya Milady tidak punya pilihan lain dan harus berurusan dengan kasus dan hukum,” cetus Oniyon.
“Apa maksudmu, Oniyon?”
“Karena buku yang akan anda baca, berhubungan dengan pengacara jalanan.”
Review ini untuk RC:

UNEARTHLY (UNEARTHLY #1): (BUKAN) TWILIGHT VERSI MALAIKAT

★★★
Judul: Unearthly
Pengarang: Chynthia Hand
Penerbit: Ufuk Press
Jumlah Halaman: 509 Halaman
Penerjemah: Dina Begum
Pemeriksa Aksara: Uly Amalia 
Segmen: Remaja, Dewasa Muda
Genre: Paranormal Romance, Fantasy, Urban Fantasy
Bisa di beli di bukabuku

  • Halo namaku Clara Gardner, usiaku 16 tahun.
  • Aku remaja biasa yang tidak biasa.
  • Karena meski aku hidup sebagai remaja biasa, tapi sebenarnya aku bukanlah remaja biasa, aku ini keturunan malaikat. 
  • Aku punya sayap dan bisa melakukan hal-hal yang lebih baik dibandingkan manusia biasa, misal aku bisa menguasai berbagai macam bahasa, aku bisa berbicara dengan hewan, tubuhku mempunyai fisik yang lebih kuat daripada manusia biasa.
  • Tapi sebagai keturunan malaikat, aku dilahirkan dengan suatu tujuan khusus atau misi.
  • Belum jelas apa misiku, aku hanya diberi penglihatan sedikit demi sedikit yang akan membimbingku pada tujuanku.
  • Aku hanya tahu dalam penglihatan yang kudapat kalau aku harus menyelamatkan seorang pemuda tampan yang bernama Christian.
  • Demi pemuda itu atau tepatnya tugas malaikatku ini, aku dan keluargaku pindah dari California ke Wyoming.
  • Walau sejujurnya aku masih belum jelas, bagaimana aku bisa menyelamatkannya. Yang pasti aku langsung suka dengan Christian.
  • Lalu ada juga Tucker yang entah bagaimana juga masuk ke dalam hidupku.


Young Adult. Rasanya sudah lama saya tidak membaca genre yang satu ini, mungkin sejak bulan November. Padahal dulu-dulu , YA adalah genre yang rutin mengisi kegiatan membaca saya setiap bulan. 
Saya tidak tahu, tapi sejak mencoba membaca buku dengan berbagai macam genre, rasanya saya seolah merasa semua buku YA menjadi sejenis dan sangat ketebak ceritanya. Alias githu-githu aja. Beberapa YA mungkin ada yang berbeda, tapi yah sayangnya hanya beberapa. Selanjutnya saya cenderung merasa bosan membaca buku-buku YA, terutama yang urban fantasy  macam vampir, werewolf, angel, dll. Atau lebih tepatnya paranormal romance YA. Mungkin sebagian juga disebabkan karena faktor usia saya yang sudah tidak cocok baca YA tentang remaja galau dan cowok.
Balik ke review buku ini, boleh dibilang buku ini sangat kental unsur YA, karena:
  • Karakter utamanya adalah cewek remaja galau – CHECK
  • Cinta segitiga (2 cowok cakep dan 1 remaja cewek) – CHECK 
  • High school setting, popular girls, unpopular girls – CHECK
Mari kita mulai dengan apa yang saya tidak suka dari buku ini. Sebenarnya buku ini masih termasuk oke dan cukup enjoyable untuk ukuran buku remaja atau YA namun eskpresi saya selesai baca, kurang lebih seperti ini:
Why?
1. Endingnya itu, antiklimaks banget. Jadi setelah sepanjang buku, saya dibuat penasaran sama “tugas” Clara, tapi ternyata kok cuma githu doank.
2. Fantasinya kurang banget (kayaknya ini mungkin masalah selera saja).
Tapi seperti yang saya bilang sebelumnya, untuk ukuran YA, buku ini masih termasuk oke dan cukup enjoyable, terutama bagi remaja. Buku ini sangat terasa remaja banget, karena selain setting high school, juga membahas persahabatan antar sesama cewek, hubungan dengan orang tua dan tentu saja indahnya masa pacaran. 
Beberapa hal yang saya suka dari buku ini:
  1. Likeable characters. Saya tidak dapat menemukan karakter yang menyebalkan di buku ini (IMO). Meski Clara remaja galau, tapi saya suka sikapnya yang tetap berusaha berpikir logis dan tidak egois di setiap masalah yang dia hadapi. Walau suka nggak puas dengan penampilannya tapi dia tidak kikuk dalam bergaul. 
  2. Meski kadang suka merengek, tapi Clara selalu berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri tidak boleh cengeng dan manja. Dia juga sayang dengan ibunya dan protektif terhadap adik lelakinya.
  3. Karakter pendukung lain juga cukup likeable. Teman-teman Clara, cukup oke. Mereka saling mendukung satu sama lain, walau sempet ada ribut dan cekcok namun pada akhirnya berbaikan kembali sebagaimana sahabat.
  4. Both of the boys are adorable. Saat mereka suka dengan seseorang, mereka tetap terlihat wajar. Mereka tidak memaksa, tidak terlalu tergila-gila sampai lupa apapun. 
  5. Interaksi antara tiap karakter terasa natural. Seperti hubungan Clara dengan ibunya yang walau suka ribut, namun sebagai keluarga mereka saling sayang dan melindungi. 
  6. Tidak ada hal ekstrim atau gila yang dilakukan para remaja dalam buku ini, seperti pesta liar yang tak terkendali. 

STPC Jackson Hole – Wyoming

BTW, saya juga memberi acungan jempol dalam hal setting untuk buku ini. Mengambil tempat di Jackson Hole, Wyoming. Penulis cukup detil meriset mengenai tempat tersebut. Wyoming adalah suatu state yang berlokasi di bagian Utara Amerika Serikat, jadi daerahnya cukup dingin dan terkenal sebagai daerah pegunungan. Jadi meskipun genre ini pararom, namun saya juga merasa genre ini cukup mewakili tempat.

Saya suka betapa penulis sangat memasukkan lanskap pemandangan alam dalam setiap penuturannya, seperti pegunungan dan hutan dalam cerita ini. Misal padang rumput dan ranch-ranch, koboi, tetangga terdekat bisa berjarak sekitar 5 kilometer. Aroma pinus akan selalu tercium setiap masuk hutan, kicau-kicau burung di pagi hari, semak-semak sage, gunung-gunung yang masih berselimutkan salju pada awal musim semi. Saya jadi membayangkan kalau Jackson Hole itu punya pemandangan yang mirip kalender dan memang benar, sekiranya saat saya gugel.

Breathtaking Mountain View Scenery with mirror lake
Mountain resort and lodging
Ranch and horse
Cowboy
Penulis bahkan memasukkan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan di Jackson Hole dalam plot ceritanya, misal:

Skiing during winter, Jackson Hole are famous for its sky resort.

Wild Huckleberry crop at the forest during Spring

Fishing in the river during Summer and catch some trouts
And maybe you will encounter wild Grizzly bear family

Ah, melihat semua gambar-gambar ini saya jadi mau pergi jalan-jalan ke Jackson Hole, Wyoming dan menikmati semua kegiatan luar ruangan tersebut. 
Untuk karakter sendiri, saya membayangkan Dove Cameron akan cocok berperan sebagai Clara, si gadis keturunan malaikat. Kulit putih, rambut pirang dan garis wajah yang lembut.
Dove Cameron
Untuk cowoknya sendiri, saya membayangkan Patrick Schwarzenegger sebagai pemeran Tucker Avery, walau mungkin tidak terlalu mirip. Patrick punya rambut coklat keemasan, mata biru dengan kulit coklat karena sering terkena matahari dan ketampanan khas negeri Paman Sam sebagaimana gambaran Tucker. 
Patrick Schwarzenegger
Untuk tokoh Christian, saya tidak bisa membayangkan model yang tepat saat ini selain daripada Logan Lerman (bosan yah, Logan lagi, Logan lagi, no offense, I like Logan Lerman, tapi Logan sudah terlalu sering muncul).
Logan Lerman
Dan terakhir karena ini YA dengan unsur cinta segitiga pastinya ada pertanyaan bodoh macam :
Team Christian VS Team Tucker? 
Sejujurnya agak nggak adil sih untuk bikin perbandingan, karena di buku pertama ini, interaksi romensnya lebih banyak ke Cowboy. Christian kemunculannya baru sedikit. Tapi saya suka Tucker, karena seperti yang Clara bilang dalam buku, kalau Tucker itu meski mesra tapi selalu berusaha mengontrol diri dan selain itu yang jarang dalam gambaran cowok-cowok YA, sikapnya penuh hormat, sopan, bahkan bersifat ksatria (gentleman). Ditambah lagi dia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, tidak ditindik dan tidak ditato, ia selalu ke gereja setiap minggu. Nah sudah cukup untuk masuk nominasi top 5 books boyfriend kan?
Buku ini saya sertakan juga untuk:

BOOK REVIEW: JUST SO STORIES

★★★
Judul: Just So Stories (Sekedar Cerita)
Pengarang: Rudyard Kipling
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 160 Halaman
Penerjemah: Maggie Tiojakin
Ilustrasi: Staven Andersen
Segmen: Anak-anak
Genre: Kumpulan Cerita, Fabel, Classic
Harga: Rp 15.000 (obralan Gramedia Citraland, titip sama Indah’s Books Dreamland)

Phew, akhirnya selesai juga. BTW, buku sebagai bagian dari baca dan posting bareng BBI bulan Januari 2014 untuk buku bertema fabel.

Kelegaan. Itulah kalimat pertama yang saya ucapkan saat saya selesai membaca buku ini. Ini salah satu buku dengan rating yang cukup bagus di Goodreads, yaitu 4.09. Jadi waktu ada yang info obralannya, tanpa ragu saya langsung titip beli.

Namun setelah saya membaca hingga halaman 60, saya tidak tahu mengapa saya belum juga “klik” sama beberapa cerpen yang telah saya baca. Tidak ada yang salah atau aneh dengan cerpen-cerpen dalam buku ini, tapi juga tidak terasa suatu unsur yang segar dan baru bagi saya pribadi. Memang cara Kipling menceritakan kembali mengenai mitos-mitosnya cukup inovatif, tapi sepertinya tidak cukup bikin saya penasaran. Yang ada saya cenderung mengantuk saat membaca buku ini. 


Saya memutuskan untuk memberi rating 3 bintang, walau untuk saya pribadi buku yang bikin saya mengantuk dan saya harus memaksa diri untuk membacanya, ingin saya kasih rating 1 atau 2 bintang, namun saya coba berusaha objektif, dengan melihat bahwa buku ini lebih ke bukan selera saya. Mungkin saya sudah terlalu tua membaca dongeng untuk anak-anak. Mungkin saya terlalu memaksakan logika saya yang terlalu logis ke jalan pikiran cerita anak yang terkadang butuh rasa absurd, hmmm saya tidak tahu.

Buku ini memuat 12 cerita pendek, setiap kisah rata-rata memuat mengenai asal muasal mengapa suatu hal bisa terjadi seperti sekarang. Dua belas cerpen itu adalah:

  1. Kenapa Paus Tidak Bisa Memakan Manusia
  2. Bagaimana Unta Mendapat Punuknya
  3. Kenapa Kulit Badak Penuh Lipatan
  4. Dari Mana Macan Mendapat Tutulnya
  5. Kisah Si Anak Gajah
  6. Tuntutan Seekor Kanguru
  7. Asal Muasal Armadilo
  8. Surat Bergambar
  9. Bagaimana Alfabet Dirumuskan
  10. Kepiting dan Lautan Luas
  11. Kucing Penyendiri
  12. Entakan Kaki Kupu-Kupu

Kalau boleh ditanya mana yang favorit saya? Mungkin saya akan menjawab Kisah si Anak Gajah  dan Kucing Penyendiri. Saya tidak akan berkomentar mengenai ceritanya, karena cerpen sendiri sudah pendek jadi tidak perlu saya kasih ringkasan lagi 😛 Namun meski ceritanya terkesan absurd, Kipling tetap menyelipkan pesan moral dalam setiap cerpennya, di mana ada sebab pasti ada akibat.

Tapi karena buku ini cukup sukses membuat saya mengantuk waktu membacanya, sepertinya buku ini juga akan cocok sebagai bacaan pengantar tidur untuk anak-anak 😛

Buku juga ini untuk tantangan:
Children Literature Reading Project
Lucky No.14 Reading Challenge: Bargain All The Way
2014 TBR Pile – A Reading Challenge 

BOOK REVIEW: ROSES ARE RED

 
★★★
Judul Buku: Roses Are Red (Mawar Merah)
Pengarang: James Patterson
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 416 Halaman
Penerjemah: B. Sendra Tanuwidjaja
Segmen: Dewasa
Genre: Thriller, Misteri, Detektif

Serangkaian perampokan Bank terus terjadi. Modus operasinya adalah 1 kelompok merampok Bank sementara 1 kelompok lain mengancam para keluarga pekerja Bank dengan cara menjadikan mereka sandera. Apabila para pekerja Bank ini tidak menurut, maka keluarga mereka akan langsung dibunuh. Dan para perampok ini tidak main-main, karena korban terus berjatuhan, mereka tega membunuh mulai dari anak-anak, wanita hamil hingga orang dewasa lain yang tidak berdaya. Semua perampokan dan pembunuhan keji tersebut didalangi oleh seseorang yang mengaku sebagai ‘Mastermind’. 

Perampokan bank itu mulai berkembang menjadi skala nasional saat para perampok mulai menyerang institusi-institusi keuangan lain di Amerika. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi perekonomian Amerika, masyarakat pun menjadi ketakutan, dan membuat menteri kehakiman ikut bertindak dengan memberikan tekanan kepada pihak kepolisian dan FBI untuk segera menangkap Mastermind. 

Detektif bagian pembunuhan, Alex Cross terus berpacu dengan waktu untuk segera menemukan siapa itu Mastemind sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. 

What I thought:

Tadinya saya berencana membaca buku ini untuk posting bareng BBI bulan Desember yang temanya misteri atau detektif, apa daya, saya baru selesai membacanya di bulan Januari 2014, padahal saya sudah mulai baca buku ini sejak akhir Desember 2013, cuma berhubung saya ini penunda, makanya baru direview sekarang, hehehe.

Ok, karena ini buku detektif, saya tidak akan membahas banyak-banyak mengenai jalan ceritanya, saya hanya membahas unsur-unsur yang ada dalam buku:

Misteri
Apa yang saya harapkan saat membaca buku misteri atau detektif? Jawabannya adalah plot twist dan buku ini berhasil mengecoh saya hingga membuat saya terbengong pada halaman terakhir. Tapi tidak sampai bikin saya terbengong lama-lama sih, karena sebenarnya di tengah-tengah hal itu sudah dikasih hint mengenai siapa yang mereka cari, hanya saja James Patterson sukses membuat saya berpikir, “Ah tapi masa iya begitu?”

Suspense
Saya suka dengan cerita yang bisa membuat saya tegang? Unsur ketegangan dalam buku cukup berhasil membuat perasaan saya jadi lebih awas saat membaca adegannya. Sayang kurang banyak. Terutama adegan saat si penjahat beraksi.

Curiousity
Pastinya ada banyak hal-hal yang masih bikin saya penasaran, sebagian terjawab dan sebagian besar tidak. Seperti kelakuan psikopat dan motif si penjahat, semoga semua teka-teki yang belum terjawab itu akan dibahas di buku sekuelnya, yaitu Violet Are Blue. Buku ini terbagi menjadi dua yaitu Roses Are Red dan Violet Are Blue.

Drama
Meskipun genre utama buku ini adalah thriller yang ceritanya lebih banyak mengulas soal pembunuhan, namun pengarang tak lupa menyisipkan unsur drama, terutama untuk memperlihatkan kehidupan pribadi seorang detektif pembunuhan. Betapa tidak mudahnya bagi Alex untuk berada di 2 dunia antara pekerjaannya dan keluarganya. Menjadi seorang detektif pembunuhan berarti harus siap sedia untuk mengorbankan waktu pribadinya untuk pekerjaan, karena kejahatan bisa datang kapan saja. Hal tersebut juga diperparah dengan ancaman terhadap orang-orang yang mereka sayangi akibat pekerjaan mereka yang berurusan dengan para penjahat sakit jiwa.

Ada kutipan yang saya suka dari halaman 258:

“Kau bermain akrobat bola berusaha melempar-tangkap empat bola yang kaunamai pekerjaan, keluarga, teman-teman, dan semangat. Nah, pekerjaan adalah bola karet. Kalau kaujatuhkan, bola itu akan memantul kembali. Bola-bola yang lain-semuanya terbuat dari kaca.

Kutipan itu jelas berkata, pekerjaan hilang bisa didapat kembali, namun hubungan yang retak dengan keluarga, teman-teman bahkan semangat hidup, lebih sulit diperbaiki dan terkadang tak bisa diperbaiki kembali. Penulis tak lupa menyelipkan sedikit latar belakang yang menimpa keluarga Alex, mungkin untuk memberitahukan kepada pembaca baru yang tidak mengikuti buku ini dari awal (seperti saya), karena buku ini adalah seri ke-6 dari seri detektif Alex Cross.

Romance
Ada romensnya? Tenang, unsur romens sangat sedikit, saya rasa hanya 10% dari keseluruhan isi cerita. Sebenarnya lebih tepat disebut “kesenangan semata” daripada romansa. Jujur, saya sendiri tidak suka dengan unsur romens dalam dalam cerita detektif dan ini termasuk yang ada dalam Alex Cross ini. Selain tidak ada chemistrynya sama sekali, Alex Cross tampak seperti seorang player bagi saya, padahal penulis selalu menggambarkan karakternya family man. Tapi saya bisa menangkap maksud penulis dengan sedikit adegan romens di buku ini, mungkin untuk memberikan dorongan tambahan bagi Alex Cross untuk kedepannya. Saya tidak akan membahas lebih banyak untuk menghindari spoiler

BOOK REVIEW: GET LOST (AND GIVEAWAY, SOON)

 ★★★
 Judul Buku: Get Lost
Pengarang: Dini Novita Sari
Penerbit: Bhuana Sastra (BIP)
Penyunting: Agatha Tristanti
Jumlah Halaman: 198 Halaman
Segmen: Remaja, Dewasa
Genre: Travel Lit, Drama, Realistic Fiction
Harga: Rp 32.500
Jadi mana yang mau duluan? Ceritanya atau langsung ke pembahasannya? Saya rasa mari kita mulai dengan inti ceritanya dulu. 

Buku ini berkisah tentang seorang gadis bernama Lana Sagitaria yang sedang mencari arti perjalanan hidup dengan melakukan perjalanan di tengah-tengah rutinitasnya sebagai seorang pekerja kantoran. Tapi rupanya Lana tidak hanya sekedar melakukan perjalanan. Lana juga tengah berusaha mencari seseorang. Siapakah orang tersebut yang membuat Lana sampai rela menempuh jarak ribuan mil, mulai dari Bali, Singapore, Korea hingga pulang ke Surabaya? Berhasilkah Lana berjumpa dengan orang tersebut?

I easily Get Lost because

The plot sometimes get lost. Seorang penulis pernah berkata, bahwa sekarang ini penulis berlomba-lomba menciptakan ejaan yang baku, diksi yang keren, bahasa yang puitis dan berbunga-bunga  namun melupakan satu hal penting dalam menulis fiksi yaitu plot. Terkadang apa yang membuat seorang pembaca merasa betah atau tidak bosan dalam membaca suatu buku bukan karena penuturan atau gaya bahasa semata, tapi karena plotnya. Plot yang terstruktur akan membuat pembaca betah untuk tetap fokus membalik halaman demi halaman. Saya agak lama menyelesaikan buku ini karena jalinan plotnya kurang kuat. Jadinya untuk seseorang yang gampang teralihkan seperti saya, terkadang suka menunda bacanya, karena ada hal lain yang lebih menarik perhatian saya.

Ini hanya sekadar pengandaian saja dari saya, misal, bab 1, plotnya meminta ijin cuti dari kantor. Nah penulis bisa mengeksplorasi betapa susahnya minta ijin cuti, karena kerjaan kantor lagi banyak, sementara ia sudah terlanjur booking tiket pesawat, terus bosnya tidak memberi ijin karena ada proyek yang harus dikerjakan. Bab 2,  plot utama cari hostel murah di Bali. Tapi ternyata karena di negara-negara 4 musim sedang winter, akibatnya Lana susah cari hostel karena banyak yang sudah penuh. Sempet ada adegan ini, tapi cuma sebentar. Padahal bakal lebih seru, kalau Lana itu kelabakan karena hingga malam tiba belum ketemu hostel dan terpaksa bermalam di rumah seseorang yang bekerja sebagai PSK, tapi dari sana Lana mendapat pelajaran hidup yang penting. Lalu sepanjang cari hostel, bisa diceritakan kalau hostel-hostel yang ditemui Lana, banyak yang aneh-aneh, dst.

Untuk seseorang yang berencana Get Lost, perjalanan Lana tergolong lancar dan smooth menurut saya, padahal saya berharap ada sesuatu yang bisa bikin Lana merasa kesusahan, panik dan putus asa kalau perlu 😛

Bali dan Sela. Saya bingung apa sebenarnya plot atau cerita tentang Bali? Sementara Sela, saya merasakan bab ini hanya sekedar filler saja.

Singapore. Saya setuju dengan review-review lain mengenai banyaknya faktor kebetulan, dengan berbagai kemudahan yang didapat Lana sepanjang perjalanannya. Saya berharap daripada cerita soal bule dan kekasihnya, penulis membuat cerita tersesat di Singapore. Misal, Lana terpaksa menginap di hotel kawasan Geylang dan mendapat pengalaman seperti teman saya yang sewaktu ke Singapore, menginap di hotel kawasan Geylang dan setiap malam suka mendengar suara orang merintih-rintih. #mulaibablasOOT 

Korea. Agak berasa ini plotnya agak K-drama. Dan di sini juga, penulis lebih bercerita mengenai cerita karakter pendamping alih-alih karakter utama. Mengapa tidak cerita mengenai kebiasaan masyarakat Korea yang dianggap tak lazim di mata kita. Sedikit sharing cerita, ada cerita lucu dari 2 orang pendeta Indonesia yang pernah ke Korea. Saat di Korea, mereka kaget karena rumah yang ditempatinya tidak ada kamar mandi, hanya ada WC untuk panggilan alam. Rupanya orang Korea itu tidak sesering orang Indo kalau mandi  dan kadang rumah sederhana suka tanpa kamar mandi, jadi kalau mau mandi, harus di pemandian umum. Bentuk pemandian umum ini seperti ruko (yang suka baca manga pasti tahu) yang dalamnya berisi bak-bak besar. 

Tapi yang bikin aneh bagi orang Indonesia adalah mandi sama-sama dengan telanjang bulat, meski sesama jenis sekalipun. Akhirnya dua pendeta ini memutuskan untuk tetap memakai celana dalam dengan alasan bagian tersebut terlalu pribadi untuk dilihat publik, yang berakibat orang Korea melihat 2 pendeta dari Indonesia ini aneh (karena mandi dengan tetap menggunakan celana dalam) dan 2 pendeta ini justru melihat orang Korea yang aneh. Apa maksud cerita saya sih? maksud saya itu culture shock

Surabaya dan sekitarnya. Ini adalah salah satu plot utama dalam buku ini. Seandainya saja penulis ingin memasukkan genre misteri, saya rasa buku ini akan lebih menarik, bahkan bisa dikasih judul “Where is Dharma?”

When main character is the author herself

Saya tahu sih, kalau buku ini banyak diinspirasi dari pengalaman penulis sendiri. Tokoh utama pun juga mungkin secara tidak langsung mengambil kepribadian penulis juga. Seandainya ini non fiksi, saya tidak akan cerewet, tapi untuk sebuah fiksi, saya berharap karakter yang lebih imajinatif (baca: berbeda dengan kepribadian penulis, cerita boleh sama tapi karakter, buatlah semenarik mungkin, misal kikuk, teledor, ambisius, sarkastik, pemberontak) saya termasuk yang lebih suka 3rd person POV atau sudut pandang orang ketiga, karena ada kalanya saat membaca sudut pandang orang pertama, penulis suka tertukar dengan karakternya sendiri. 

Penuturan

Cara penuturan di buku ini, seperti personal literature. Jadi kita seperti membaca jurnal perjalanan Lana. Untuk bagian awal, saya merasa penuturannya agak terasa membosankan. Sepertinya hal ini dikarenakan terlalu banyak monolog.  Saya sebenarnya tidak masalah dengan monolog, asal porsinya pas, tidak berlebihan (misal terlalu banyak membahas pemikiran atau perasaan si tokoh utama). Bahkan monolog pun harus masuk bagian dalam plot, misal menjelaskan adegan flashback. Untunglah saat masuk bab Singapore, tampaknya penulis sudah mulai enjoy dalam menulis ceritanya. 

Gaya Bahasa

Saya tidak tahu mengapa, tapi pada bab-bab awal, gaya bahasanya terasa sangat baku dan kaku. Bahkan saya pun membacanya jadi berasa tidak lepas dan tidak santai.

Selain itu terkadang perpindahan adegan terasa terlalu cepat, tanpa penghubung. Misal adegan Oleq kasih lihat KTP-nya ke Lana. Saya rasa akan lebih enak dibaca bila Lana juga memberi sedikit penjelasan mengenai apa yang dilihatnya dalam KTP tersebut alih-alih langsung memberitahukan kesimpulannya pada pembaca. 

Memorable quote:

Dan baru-baru ini aku menyadari, kalau kenyamanan itu mencandu, menimbulkan rasa ketergantungan yang akut. Dan aku rasa, sudah tak seharusnya lagi aku bergantung kepada dia.”

Pesan terakhir saya untuk penulis.

“Selamat atas buku perdananya, dinoy. Saya tunggu karya-karyamu selanjutnya, baik fiksi maupun non fiksi. Menulislah tanpa peduli dengan peraturan. Menulislah seperti apa yang kamu rasakan dengan hatimu, menulislah dengan mengekspresikan emosimu.”

BOOK REVIEW: I’MPOSSIBLE AND GIVEAWAY ANNOUNCEMENT (SOON)

★★★
Judul Buku: I’mpossible
Pengarang: Orinthia Lee
Editor: Ara Philomina
Penerbit: Ping!!! (Diva Press)
Jumlah Halaman: 195 Halaman
Segmen: Remaja
Genre: Teenlit, Drama, Realistic Fiction
Harga: Rp 32.000

Sinopsis:

Fay tidak pernah menyangka kalau hidupnya bakal berubah 180 derajat. Dari seorang cewek kaya raya yang populer dan hanya tahu cara berfoya-foya tiba-tiba saja harus mati-matian mencari cara untuk membayar uang sekolahnya, karena perusahaan keluarganya tiba-tiba dinyatakan bangkrut. 

Bagaimana cara Fay mengatasinya? Apalagi selama ini ia hidup dalam kesombongan karena dirinya adalah gadis populer, cantik, dan kaya di sekolahnya. Apakah teman-temannya tetap mau bergaul dengannya meski ia telah jatuh miskin? Lalu bagaimana pandangan orang lain terhadapnya? Dan yang terpenting, bagaimana Fay bisa tetap mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolahnya yang sangat mahal? 

Fay merasa tidak punya keahlian apapun. Satu-satunya keahlian Fay adalah bersenang-senang dan menghabiskan uang dengan berbelanja dan salah satunya adalah belanja di toko online. Fay pun mulai berpikir untuk memulai bisnis online demi membayar uang sekolahnya. 

Jadi bagaimana  cara Fay berbisnis online?

It’s fun and light teenlit

Kalau diibaratkan makanan, buku ini seperti cemilan yang renyah atau popcorn caramel, yang terus kita makan tanpa kita sadari dan, tahu-tahu habis. Yup bukunya tipis, hanya 195 halaman dengan tulisan yang besar dan renggang. Saya baca buku ini sambil tunggu bus Trans Jakarta datang, dan ternyata saat busnya tiba, tanpa saya sadari, saya sudah membacanya hingga 60 halaman lebih. Bila fokus membaca buku ini tanpa jeda (distraksi), saya rasa dalam 2-3 jam pasti selesai. 

Penuturannya sangat ringan dan membumi dengan bahasa gaul yang biasa dipakai sehari-hari. Jadi waktu saya baca buku ini, serasa seperti membaca curhatan Fay. Mungkin yang menyenangkan dari membaca I’mpossible adalah karena buku ini banyak dialog atau percakapan antar tokohnya alih-alih narasi atau deskripsi yang kadang cenderung suka bikin bosan, terutama untuk pembaca yang tidak sabaran. Jadi karena buku ini banyak dialog, saya tidak merasa bosan sama sekali saat membacanya. 

Tapi mungkin karena bukunya terlalu ringan dan tipis, jadinya kurang meninggalkan kesan untuk saya (berasa terlalu cepat dan numpang lewat) saat selesai membacanya. Hehehe. Nah mengapa saya merasa seperti itu, lihat penjelasan di bawah. 

Sebenarnya saya berharap emosi atau konfliknya bisa dikembangkan. Saya merasa alur buku ini sangat cepat atau lebih tepatnya terlalu banyak tell alih-alih show. Misal waktu perusahaan papanya Fay bangkrut, mengapa Fay hanya dikasih sedikit reaksi. Padahal dengan 1st person POV, saya berharap bisa melihat lebih banyak reaksi Fay, misalnya bagaimana ekspresi panik, malu, kalut, dll dari Fay. Karena di buku hanya diceritakan, Fay sedih dan kalut tapi tidak digambarkan bagaimana kekalutan dia, jadi saya kurang menangkap emosi Fay. Saya tidak tahu apakah ada pembatasan jumlah halaman, tapi waktu mamanya Fay meninggalkan Fay pun, saya merasa reaksi Fay agak kurang. Padahal saya juga berharap ada sedikit usaha dari Fay untuk mencari tahu atau menghubungi mamanya (diluar telepon yang tidak diangkat), misal dengan mendatangi rumah keluarga dari pihak mamanya, kan diceritakan masih di sekitar Jakarta juga, dalam hal ini Fay terasa pasif. 

Dan saya setuju dengan review Zelie mengenai alasan mamanya meninggalkan keluarga yang agak “nanggung” karena membawa kedua anaknya yang masih kecil. Entah apa karena penulis berpikir, kalau kedua adik Fay masih terlalu kecil dan butuh diasuh seorang ibu atau supaya cerita hanya fokus pada jualan online Fay, tapi kayaknya bakal lebih seru kalau seandainya kedua adik Fay juga ditinggal dan penulis menambahkan plot atau adegan Fay sebagai seorang kakak yang berusaha mengurus adik-adiknya. 

Eniwei walau bertema jualan online dan judul seperti buku motivasi, buku ini nggak menggurui sama sekali kok. Dan setelah saya selesai membacanya, saya sadar walau bertema jualan/bisnis online, namun utamanya buku ini membahas perubahan karakter tokoh utama. Dari yang tadinya  dangkal dan hanya tahu gaya hidup hedon, perlahan-lahan mulai menyadari bahwa selama ini pandangannya salah. Tapi saya merasa hingga akhir, karakter Fay ini tetap digambarkan self centered. Sekiranya dari cara penuturannya yang selalu, “Nanti aku bagaimana? Aku begini, aku begitu”

Trus begitu pula dengan penyelesaian konflik yang terasa terburu-buru. Dan lagi-lagi saya merasa Fay tidak diberikan banyak waktu untuk bereaksi yang lebih dramatis. Tapi yah sudahlah, mungkin memang yang ingin difokuskan dalam buku ini adalah tema bisnis onlinenya dan karakter Fay. 

O ya, saya bingung, sama kutipan di sampul depan tentang bunga matahari, itu kayaknya nggak ada di buku yah? Atau saya yang terlewat? 

Dibandingkan novel perdana Orin yang Why Always Me, menurut saya pribadi, I’mpossible dikemas lebih ringan. Dalam WAM, saya justru lebih merasakan konflik dan angst-nya tokoh utama. Entah apa karena karakter Fay lebih ceria dan easy going dibanding  Bianca?

Bagaimanapun, untuk teman-teman yang mau berbisnis online, saya sangat merekomendasikan untuk membaca novel ini, karena ceritanya sangat membahas mengenai seluk beluk jualan online termasuk masalah-masalah apa saja yang mungkin timbul saat jualan online, jadi bisa untuk pembelajaran juga. Hehehehe

GIVEAWAY ANNOUNCEMENT 

Dan sekarang yang sudah dinantikan. Menyambut ulang tahun blog yang genap setahun pada Desember ini (benarnya blog saya lahir November tapi baru benar-benar jadi blog buku bulan Desember), saya bermaksud mengadakan 2 giveaway yang terbagi menjadi 2 periode GA. 

Supaya, tidak kepanjangan, saya putuskan postingan Giveaway terpisah dengan review. Terpisah? Apa giveaway-nya berhubungan dengan buku ini? Yup, salah satu hadiahnya adalah buku I’mpossible bertanda tangan penulisnya, Orinthia Lee. Dan itu hanya salah satu hadiahnya, karena supaya lebih meriah, saya tambahkan hadiah lain juga. 

Tunggu postingan saya berikutnya ^^