THE YEARLING: EMOTIONAL, INTERESTING & BORING IN THE SAME TIME

Judul: The Yearling
Pengarang: Marjorie Kinnan Rawlings
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Desain dan ilustrasi cover: Ratu Lakhsmita Indira
Jumlah halaman: 504 Halaman
Cetakan 1, Maret 2011
Segmen: Anak-anak, semua umur
Genre: Classic-lit, historical fiction, children book
Harga: Rp 38.500 (40% off at Gramedia)
Rate: ★★★★

“Hutan, berburu, beruang, rusa, makanan, daging, semak jagung, pelaut dari Boston,  lelaki-lelaki tinggi besar yang seperti beruang dan bertahan hidup.”

Nun jauh di sana, di sebuah hutan rimba, hiduplah satu keluarga kecil yang dikenal sebagai keluarga Baxter. Keluarga Baxter terdiri dari Pa dan Ma Baxter, serta putra tunggal mereka Jody. Keluarga Baxter tidaklah kaya, mereka bahkan bisa dikatakan miskin. Meski miskin, keluarga Baxter selalu dapat menjaga diri mereka agar tidak sampai kelaparan. Untuk dapat bertahan hidup keluarga Baxter harus bekerja keras setiap harinya. Mulai dari bertani dan menanam biji-bijian hingga berburu hewan liar di sekitar hutan. 
Hidup jauh di dalam hutan, membuat keluarga Baxter tidak memiliki tetangga di sekitar mereka. Satu-satunya tetangga terdekat mereka adalah keluarga Forrester yang pria-prianya bertubuh besar dan juga beringas. Tapi keluarga Baxter menjalin hubungan baik dengan keluarga Forrester hingga suatu peristiwa membuat hubungan mereka renggang. Peristiwa apakah itu?

Sebagai satu-satunya anak tunggal dalam keluarga Baxter, Jody kerap kali dihinggapi kesepian. Meski mendapat kasih sayang berlimpah dari sang ayah, Jody menginginkan seorang teman yang bisa diajak berbagi dan menemaninya bermain. Hingga suatu hal membuat Jody menemukan seekor anak rusa di hutan. 


Nah sekarang opini gue:

Saya punya kebiasaan kalau habis baca buku tentang hewan atau menonton film tentang hewan, saya suka ikut-ikutan kepengen punya binatang peliharaan, Misal sehabis menonton How To Train Your Dragon, saya jadi kepengen memelihara errr naga 😛

Nah sehabis baca buku  ini, saya jadi kepengen memelihara anak rusa. 😀

Ok, lupakan soal binatang peliharaan, balik ke review. Sejujurnya saya bingung kalau harus menceritakan isi buku ini, karena ceritanya lebih seputar mengenai kehidupan sehari-hari keluarga Baxter dalam bertahan hidup di hutan. Tidak ada plot seperti si baik lawan si jahat, kabur dari penjara, dll.

Untuk kesannya sendiri, persis seperti yang saya tulis di judul atas. Menarik, emosional tapi juga membosankan.

Saya akan mulai dari menarik, cerita menarik karena penuturan penulis yang begitu kaya detil akan deskripsi, saat membaca bukunya, saya seolah seperti berada di hutan lengkap dengan kesunyian dan aroma hutan. Semua detil hutan, seperti cuaca, angin, aroma daun dan tanah, hingga bagaimana pohon-pohon dan hewan-hewan bergerak, semua detil dijabarkan dengan begitu rinci seolah tak ada celah yang terlewati. Bahkan saat berburu pun, penulis begitu runut memaparkan setiap adegan yang terjadi di sekelilingnya dan sukses membuat saya merasa ikut tegang saat mengikuti Jody dan ayahnya berburu Slewfood tua.

Emosional, penulis bukan hanya kaya dalam memaparkan deskripsi visual, tapi juga detil dalam menuturkan adegan-adegan yang berhubungan dengan emosi. Misal kematian salah seorang teman Jody dan yang terutama hubungan Jody dan ayahnya. Atau bagaimana reaksi stress ayah dan ibu Jody saat hasil panen mereka hancur atau bila mereka gagal mendapat buruan. Dari sini penulis dengan tegas menyatakan, betapa mengerikannya kelaparan itu. Dan puncaknya mungkin hubungan Jody dan Flag, si anak rusa.

Membosankan, nah ini mungkin selera. Kalau saja kondisi saya tidak dikejar timbunan dan kesulitan bagi waktu antara fokus baca atau hal-hal lain, saya mungkin lebih bisa menikmati buku ini. Buku klasik itu biasanya mempunyai deskripsi yang panjang lebar, bahkan deskripsinya saja bisa sebanyak 1 paragraf  dan 1 paragrafnya itu bisa 1 halaman full, misal seperti di halaman 409. Sementara sekarang ini, saya lagi coba membaca ‘cepat’, dan baca ‘cepat’ itu agak kurang cocok dengan buku yang ‘kaya deskripsi’ atau ‘permainan diksi’. Satu hal lagi yang membuat bosan adalah plot yang lambat. Rasanya untuk mencapai plot berikutnya, penulis mengajak pembaca untuk ‘muter-muter’ dulu, jadinya sudah membuat saya capek duluan, karena plot muter-muternya membuat saya kehilangan ‘ikatan’ dengan ceritanya.

Karakter.

Karakter favorit saya di sini adalah Pa Baxter atau Penny Baxter. Rasanya saya akan menominasikan Penny sebagai book father tahun ini. Bahkan Penny mungkin salah satu tokoh ayah paling bijak yang pernah saya baca. Saya kagum, walaupun serba kekurangan, Pa Baxter sama sekali tidak serakah dan hanya mengambil sesuatu sesuai kebutuhan.

Sedangkan untuk Jody, kalau menurut saya ia agak manja. Hehehehe, tapi wajarlah masih kecil, di buku tidak pernah diberitahu umur Jody yang sebenarnya, tapi saya menebak mungkin usianya antara 11-13 tahun.

Eniwei, saya berpikir, sebenarnya tema atau inti buku ini tentang apa sih? Apa tentang bertahan hidup? Setelah selesai baca, sepertinya bisa masuk tentang kedewasaan. Terkadang untuk dewasa kita harus melewati banyak hal-hal yang menyakitkan dahulu baru kita dapat memahaminya. Selain itu saya juga bersyukur hidup di era teknologi yang serba praktis, asli tidak terbayang deh kalau harus tinggal di jaman di mana segala sesuatunya serba manual. Saya ingat, paling jengkel kalau mati lampu, karena pompa air jadi tidak berfungsi dan untuk mandi, saya terpaksa menggotong air pakai ember dari bak ledeng.

Selain itu, enaknya jaman sekarang, kita juga punya banyak sarana hiburan. Bayangkan dengan jaman di mana Jody hidup dan tinggal yang pilihannya serba terbatas, tak mengherankan masyarakatnya tampak antusias saat ada orang lain yang bercerita mengenai sesuatu, meskipun sesuatu itu terkadang biasa saja.

Favorite quote:

“Tidak ada hikmah. Manusia hanya perlu ingat untuk rendah hati karena tak ada apa pun di bumi yang bisa dia anggap miliknya sendiri.” ~hal. 280

“Kita tidak pernah tahu apa yang kita inginkan sampai sudah terlambat untuk mendapatkannya.” ~hal 408 

BTW, baca review Indah juga di sini, niatan awal mau baca bareng Indah dan Riri (My Heaven on Earth), ternyata sayanya tidak bisa fokus untuk selesai tepat waktu.  Entah mengapa akhir-akhi saya merasa begitu monoton dalam mereview.

Buku ini saya sarankan bagi mereka yang suka buku-buku klasik dan anak-anak ataupun buku-buku yang mengambil setting klasik.

Review ini juga untuk RC:
– Lucky No 14 Reading Challenge: Chunky Brick

NEW AUTHORS READING CHALLENGE MAY – JUNE WRAP UP

Memasuki paruh tahun, biasanya progress baca itu suka mengendur. Entah mungkin karena kita sibuk oleh kegiatan lain atau memang mood kita untuk membaca sedang rendah atau malas. Saya termasuk yang sedang mengalami itu. Bukan cuma membaca, bahkan menulis review pun rasanya malas sekali dan akibatnya saya merasa beberapa review jadi monoton.  Bahkan ada kalanya sempat terlintas untuk hiatus dari blog. 

Tumpukan timbunan yang rasanya tidak pernah berkurang, dan target membaca 60 buku setahun membuat saya jadi tergesa-gesa dalam membaca dan akibatnya jadi tidak menikmati membaca itu sendiri. Oke, sekian update status tentang diri saya, sekarang saatnya update RC saya.
Mei 2014:
  1. 2 Mei 2014 – The Night Circus – Erin Morgenstren
  2. 8 Mei 2014 – If I Stay – Gayle Forman
  3. 13 Mei 2014 – Triangular Labyrinth – Lommie Ephing

Juni 2014

  1. 5 Juni 2014 – The Candy Makers – Wendy Mass
  2. 14 Juni 2014 – How To Train your Dargon – Cressida Cowell
  3. 26 Juni 2014 – After D-100 – Park Mi Youn

Enam buku, not bad. Hehehehe.

AFTER D-100: LESSON ABOUT LIFE AFTER MARRIAGE

Judul: After D-100
Pengarang: Park Mi Youn
Penerbit: Haru
Penerjemah: Putu Pramania Adnyana
Penyunting: O Lydia Panduwinata
Cover Designer & ilustrasi: Bambang Gunawan
Proofreader: Dini Novita Sari
Jumlah halaman: 382 halaman
Cetakan pertama, Juni 2013
Segmen: Dewasa
Genre: Domestic romance, drama, realistic fiction
Special note: Thanks to Dinoy atas hadiah GAnya. 
Harga: Rp 63.000, bisa dibeli di owl bookstore
Rate: ★★★½

Namaku Kang Gyung Hee. Aku telah menikah selama 2 tahun dengan suamiku. Selama ini kukira kehidupan pernikahanku baik-baik saja, sampai aku menemukan rahasia ‘itu’. Rahasia yang membuat kehidupan pernikahanku hancur berantakan. Teganya suamiku melakukan hal itu kepadaku. Selama ini aku selalu mencintainya sepenuh hati, bahkan aku rela menerima perlakuannya yang terkadang dingin padaku, tapi perbuatannya kali ini sungguh tak termaafkan dan telah menyadarkanku satu hal. Tunggu saja setelah 100 hari, akan kuberikan kejutan pada suamiku. Aku akan mengajukan cerai.

Namaku Lee Jung Chul. Semua orang selalu mengira kehidupanku sempurna. Secara fisik, aku tinggi dan tampan. Secara sosial, aku mapan karena aku seorang direktur. Kehidupan pernikahanku juga baik-baik saja sampai istriku mengetahui rahasia ‘itu’. Rahasia yang selama ini selalu kusimpan rapat-rapat. Aku selalu mengira cinta istriku sudah cukup untuk membuat pernikahan kami bertahan, namun ternyata aku salah.

Domestic romance. Itulah genre utama buku ini jika ada yang bertanya. Apa itu domestic romance? Romance yang membahas pada seputar hubungan suami-istri. Ini adalah buku karya penulis Korea ketiga yang saya baca. Berbeda dari 2 buku K-Lit sebelumnya yang ceritanya cenderung manis. After D-100 lebih terasa bittersweet atau manis pahit dan emosional. Saya tidak bisa berkomentar terlalu banyak mengenai ceritanya karena akan berpotensi menimbulkan spoiler. Namun saya menyarankan buku ini dibaca bagi mereka yang penasaran akan kehidupan setelah menikah, sekalian untuk menambah wawasan.
Masalah utama rumah tangga yang diangkat di sini adalah ketiadaan anak yang tak kunjung muncul setelah 2 tahun menikah, lalu konfilk mertua-menantu juga sering terjadi. Belum lagi kemunculan orang ketiga seperti Mina dan In Sik, walaupun menurut saya, kemunculan mereka masih sebatas bumbu saja dan tidak sampai jadi ancaman karena porsi mereka sangat sedikit. Meskipun masalah-masalahnya terdengar klise tapi saya suka gaya penuturan penulis yang seperti membaca buku harian dengan sudut pandang orang pertama yang sering  diselingi umpatan sarkasme dari Gyung Hee. Untuk hal ini, saya acungkan jempol terhadap terjemahannya yang ngalir.
Dari sisi budaya sendiri, Korea sama seperti negara Asia pada umumnya. Saat seseorang menikahi pasangannya, maka ia juga menikahi keluarganya. Di sini saya mengetahui kalau di Korea, mas kawin disebut Honsu dan biasanya Honsu itu dipersiapkan oleh pengantin wanita sebelum menikah. Pihak lelaki biasanya menyiapkan rumah dan pihak wanita menyiapkan seluruh isinya. Dan satu hal yang saya suka dari buku-buku K-Lit, adalah unsur keluarga yang terasa begitu kental, biasanya yang menyangkut hubungan keluarga inti seperti anak-orang tua atau adik-kakak. 
Beberapa konflik penuh emosi dipertengahan cerita sempat membuat saya merasa sedikit bosan, karena feelnya terasa panas terus, namun di satu sisi saya juga menikmati drama keluarganya, di mana keluarga Gyung Hee mulai dari ayah, ibu dan ketiga kakaknya kompak membela Gyung Hee ketika ia sedang menghadapi masalah rumah tangganya meski caranya berbeda.

Berikut ini adalah sedikit kutipan yang saya suka dari buku ini. Ada yang petuah nasehat, ada yang romantis.

“Bukankah sangat egois jika kita mengabaikan hati orang lain yang hancur karena luka di hati kita sendiri semakin membaik? Meskipun terkadang kita merasa luka yang kita alami inilah yang paling menyakitkan, bukankah kita juga harus tetap peduli dengan kesakitan yang dialami oleh orang lain?” ~hal. 214

Dan yang satu ini sangat manis:

“Kau tahu tidak, kalau aku mengingat kehidupan kita dulu, aku dulu sangat bahagia. Selama dua tahun itu, aku merasa bahagia karena kau ada di sisiku. Setiap hari kau menyiapkan makanan untukku, tidur bersama, nonton TV bersama, jalan-jalan bersama. Hal-hal sepele seperti itu terasa sangat istimewa bagiku dan aku tidak ingin menghancurkan semua itu. Rasa egoiskulah yang membuatku membohongimu. Aku tahu. Aku telah membohongimu. Meskipun aku tahu kau menderita, aku tetap ingin membuat orang lain iri dengan kehidupanku, sehingga semakin membuatmu merasa sakit. Cinta, aku masih tidak tahu tentang itu. Akan tetapi, aku rindu dengan masa-masa yang kuhabiskan bersamamu. Kalau kau juga masih merindukan saat-saat itu, datanglah kembali padaku.” ~hal 288.

Moral dari buku ini adalah, pentingnya suatu komunikasi dan kejujuran dalam pernikahan dan ingatlah inti dari menikah adalah menjalani suka dan duka bersama-sama, bukan hanya ditanggung oleh masing-masing pasangan. Sukacita suami adalah bahagia istri dan dukacita istri adalah kesedihan suami. BTW, karena ini domestic romance, ada sedikit adegan intim di atas ranjang khas suami istri, karena itu segmen pembaca buku ini adalah dewasa.

Imaginery cast
Sejujurnya, saya tidak punya karakter favorit dari buku ini, setiap karakter tidak ada yang sempurna dan semua tercipta sesuai kebutuhan cerita, bukan untuk menjadi idola, namun tetap saja membaca buku ini serasa seperti menonton drama Korea yang sarat emosi. Karena itu saya coba membayangkan beberapa aktor Korea yang berperan sebagai Gyung Hee, Lee Jung Chul dan juga Jung Woo, sahabat Gyung Hee. 

Kang Gyung Hee, sejujurnya agak susah cari aktris perempuan berusia 24 – 28 tahun untuk memerankan Gyung Hee, karena yang terkenal  itu banyaknya nuna-nuna mid-thirties, heheheh. Tapi akhirnya saya ketemu 1 yang namanya agak mirip sama sang penulis sendiri, yaitu Park Min Young. Saat senyum, ekspresinya tampak ceria dan saat sedih, begitu sendu.

Untuk pemeran cowoknya, berhubung sang suami digambarkan sudah berumur matang, 33 tahun, maka saya memilih semua aktor yang di atas 30 tahun. Dan entah kenapa terbayangnya cuma Kwon Sang Woo aja, mungkin karena wajah tampannya yang melankolis, cocok akan karakter Lee Jung Chul.

Dan terakhir pemeran Jung Woo, sahabat Gyung Hee yang lucu, suka ngedumel tapi setia, saya rasa aktor Kim Young Kwang, cocok untuk memerankannya.

Saya sebenarnya ingin memberi rating 4 bintang untuk cerita dengan akhir yang bitter-sweet ini, hanya saja saya merasa beberapa bagian dalam cerita  terlalu panjang dan berlebihan yang akan terasa lebih baik bila diringkas. Final rate 3.5. stars. Eniwei, cerita ini cocok dibaca bagi mereka yang juga mempunyai masalah yang sama dengan pasangan Gyung Hee – Jung Chul, yaitu kemandulan.

Reviewed by:

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: SIMPLE AND FUN STORY

Judul: How To Train Your Dragon
Pengarang: Cressida Cowell
Penerbit: Mizan Fantasi (Mizan Group)
Penerjemah: Mutia Dharma
Editor: Maria Masniari Lubis
Proofreader: Ela Karmila
Jumlah Halaman: 254 Halaman
Cetakan 2, Juni 2010
Segmen: Anak-anak, semua umur
Genre: Fantasi. humor
Harga: Rp 22.500
Rate: ★★★½

Lady Storytelling berjalan mondar-mandir mengelilingi ruangan. Tap tap tap, dari kiri ke kanan lalu tap tap tap balik lagi dari kanan ke kiri. Suara ketukan sepatunya menjadi satu-satunya irama dan juga suara yang terdengar dalam ruangan seluas seperempat lapangan sepakbola tersebut. Suasananya memang tenang tapi jauh dari kata santai, sebaliknya ketegangan seolah terasa begitu kental. Sesekali ia menengok ke sebuah keranjang rotan yang berada tepat di tengah-tengah ruangan tersebut. 
Sementara itu merapat di dinding ruangan tersebut,  seekor monyet berbulu coklat dan sesiung bawang putih tampak merunduk tegang, si monyet coklat yang bernama Monky dan temannya si bawang putih yang bernama Oniyon terlihat pasrah seperti menunggu vonis pengadilan. 
“Ini tak bisa diterima!” ujar sang Lady yang tampak gusar. 
“Bagaimana mungkin kalian membawa naga sekecil itu padaku?” hardik sang Lady pada Monky dan Oniyon. 
“Milady, meski kecil, naga tersebut kuat dan gesit,” jawab sang monyet membela diri. 
“Benar, ukuran itu relatif dan seharusnya tidak menjadi masalah, kami yakin naga tersebut kuat dan perkasa,” timpal Oniyon. 
“Monky, Oniyon,” sang Lady berusaha tetap menjaga nada suaranya. “Apakah kalian tahu, bahkan naga yang kalian bawa berukuran lebih kecil daripada Kitten, bisa bayangkan lebih kecil daripada anak kucing?”
Oniyon kembali menjawab, “Milady, itu karena naga tersebut masih anak-anak. Kami yakin naga tersebut akan tumbuh menjadi raksasa saat dia sudah besar nanti.”
Lady Storytelling menghentikan kegiatan mondar-mandirnya dan menghampiri kedua anak buahnya. Ia lalu mengeluarkan sepucuk surat dari saku baju berkudanya dan mengacungkan surat tersebut kepada Oniyon dan Monky. 
“Kalian tahu, sebentar lagi kontes naga tahunan akan kembali diselenggarakan. Dan kali ini aku akan ikutan, karena itu aku butuh naga agar bisa mengikuti kontes. Tapi jika mereka melihat naga sekecil itu,” ia lalu menunjuk ke arah keranjang, “aku pasti akan jadi bahan lelucon. Dan aku juga bosan melihat Dany selalu memenangkan kontes naga tahunan.”
Monky berbisik kepada Oniyon, “Tak ada yang bisa mengalahkan Daenerys Targaryen selama 7 tahun berturut-turut.”

Source

“Benar, ia mendapat julukan ibu para naga bukan tanpa alasan, bahkan bila Lady kita memiliki naga yang lebih besar pun, kurasa tetap tak mampu menggoyahkan popularitas mama naga,” Oniyon mengangguk-angguk setuju. 

“Jangan berbicara seolah-olah aku tak mendengar,” hardik sang Lady, lalu ia menjewer Monky dan mencubit pipi Oniyon. “Ini bukan soal kalah atau menang, tapi tampil mengesankan.”

“Ampun, Milady, tapi hanya inilah naga yang bisa kami pinjam, anak-anak Viking yang lain tidak ada yang bersedia meminjamkan naganya pada kami,” jawab Oniyon dengan merana.

Monky melanjutkan, kali ini tampak marah, “Kami nyaris babak belur dihajar oleh anak-anak barbar itu, Milady.”

Lady Storytelling mengamati Monky dan Oniyon, “Lalu bagaimana kalian akhirnya bisa mendapatkan naga? Siapa yang akhirnya meminjamkannya?” dan sebelum Monky atau Oniyon sempat menjawab, ia kembali menegaskan, “Aku tidak ingin dengar mengenai pencurian.”

Monky langsung menggelengkan kepalanya cepat, “Seorang anak Viking bernama Hiccup akhirnya bersedia meminjamkan naganya kepada kami. Ia memang tampak berbeda dari anak-anak Viking lainnya.”

Lady Storytelling tampak penasaran, “Berbeda bagaimana?”

“Untuk ukuran anak-anak Viking yang biasanya berbadan besar. Si Hiccup ini kurus, ceking, kerempeng. dan tidak suka berkelahi,” jawab Oniyon.

“Dengan kata lain, dia cukup beradab untuk ukuran orang-orang barbar,” lanjut Monky.

Sementara itu tidak ada yang menyadari, kalau si naga kecil yang dari tadi dibicarakan, mendadak sudah bangun. Si naga lalu terbang menghampiri Lady Storytelling, Monky dan Oniyon, ia berusaha menarik perhatian mereka dan membuka mulutnya, “Wakikki guguga kapaarrr.”

Sang Lady, Monky dan Oniyon langsung menoleh ke arah si naga. Sementara si naga tampak terbang sambil menunjuk perutnya lalu membuka mulutnya.

“Dia sudah bangun,” sang Lady tampak waswas.

“Apa yang dia bilang?” tanya Oniyon.

“Mana aku tahu bahasa naga,” jawab Monky.

“Kurasa dia lapar,” jawab sang Lady berhati-hati. “Oniyon, cepat carikan ikan atau apapun yang bisa dijadikan makanan naga.”

“Siapa laksanakan, Milady,” Oniyon segera berlari untuk mencarikan makanan si naga kecil.

“Aku sebaiknya membantu Oniyon, Milady,” sambung Monky yang tampak berusaha menjauh dan terus menghindar saat si naga kecil mengendus-endus si monyet dan menatapnya dengan lapar.

Beberapa menit kemudian, keadaan sudah lebih tenang. Krebi ikut membantu mengurus si naga kecil, rupanya kepiting merah tersebut bisa berbahasa naga. Sementara itu, Lady Storytelling memutuskan untuk pergi ke dimensi lain demi mencari naga yang lebih oke, dimensi tersebut adalah Dimensi Visual.

Dalam dimensi visual tersebut segala sesuatu benar-benar berbeda walau memiliki nama yang sama. Pertama Hiccup si anak viking kurus kering dan kerempeng berubah.

Di dunia buku, Hiccup seperti ini :

Source

Sementara di dimensi visual, Hiccup berubah 180 derajat seperti ini:

Source

Dalam hati, sang Lady berandai-andai, seandainya Hiccup versi Dimensi Visual ini masing single, mungkin dia akan cocok dengan Rapunzel atau Merida. Tapi yang paling membuat sang Lady senang adalah, naganya. Toothless si naga ompong tidaklah sekecil Toothless yang dibawa oleh Monky dan Oniyon. Naga tersebut bahkan cukup besar untuk bisa ditunggangi. Naganya sangat lucu, berwarna hitam seperti malam, dengan mata belo dan di sini, si naga menyemburkan api biru.

Setelah puas bermain di Dimensi Visual, Lady Storytelling kembali pulang dan tampaknya keadaan rumahnya masih sama kacaunya. Oniyon dan Monky jelas tidak ada bakat sama sekali dalam menangani naga, hanya Krebi saja yang tampaknya sanggup mengurus naga, dan itu pun karena ia menguasai bahasa naga.

“Uga-uga, pakka pakka, rrrroaaar, miga miga, pukukuku, Monky badada Oniyon,” Krebi tampak berkata tegas pada si naga. “Kau tak boleh memakan Monky dan Oniyon.”

Sementara di sudut lain ruangan, tampak Monky bersembunyi di atas lemari sambil mengusap-usap ekornya yang terkena semburan api si naga, sedangkan Oniyon bersembunyi di kolong meja dan sebagian jambulnya tampak gosong.

“Monky, Oniyon, tinggalkan dulu mengurus naga itu, aku ada tugas lain untuk kalian,” Lady Storytelling memerintahkan Monky dan Oniyon untuk mengikutinya. Biasanya Monky dan Oniyon tidak pernah semangat mendengar kata tugas dari sang Lady, namun kali ini mereka justru tampak lega mendengar kata tugas. Dengan semangat menggebu keduanya langsung berlari mengikuti sang Lady ke ruang kerjanya.

“Monky, Oniyon, tadi aku baru kembali dari Dimensi Visual How To Train You Dragon. Dan jelas segala sesuatunya sama sekali tidak mirip dengan dunia buku. Tapi sama-sama menariknya.”

“Dimensi Visual, Milady?” tanya Monky heran.

“Ya, Dimensi Visual, kau tahu kadang mereka menyebutnya film. Nah di sana aku melihat seekor naga yang lucu sekali. Warnanya hitam, matanya belo, imut-imut, pokoknya menggemaskan, seperti di foto ini

Source

nah, aku ingin agar kalian mencarikan aku naga seperti itu. Dan semburan apinya juga harus biru, bukan merah.”

Monky dan Oniyon tampak melongo.

“Dan di mana tepatnya, kami bisa menemukan naga seperti itu, Milady?” tanya Oniyon.

“Oniyon, untuk apa aku menyuruhmu mencarinya, bila aku tahu di mana menemukannya,” Lady Storytelling menjawab ketus. “Nah sekarang aku harus pergi. Ratu Elsa dari Arrandale mengundangku untuk acara minum teh dan selanjutnya Jack Frost memintaku untuk menjadi juri dalam lomba ‘perang bola salju’, hari ini aku sibuk sekali.”

Setelah sang Lady pergi, Monky dan Oniyon masih tampak merana. Keduanya berjalan gontai menuju pendiangan untuk menghangatkan diri.

“Naga sehitam malam, mata belo seperti kucing dan menyemburkan api biru. Ahhhh di mana kita harus mencarinya, Monky?”

“Entahlah Oniyon, coba cari di toko Cute Beast and Monster, mungkin mereka ada menjualnya.”

Reviewed by:

This review also for RC: 
– Lucky No.14 Reading Challenge: Movies vs Books
– 2014 TBRR Pile RC: Additional Challenge – Books into Movies
– New Authors Reading Challenge 2014
– Children’s Literature Reading Project

THE CANDY MAKERS: IT STARTED SLOWLY BUT SURPRISINGLY GOOD

Judul: The Candy Makers
Pengarang: Wendy Mass
Penerbit: Atria
Penerjemah: Maria Lubis
Editor: Jia Effendie
Proofreader: Fenty Nadia
Jumlah Halaman: 556 Halaman
Cetakan I: Juli, 2011
Segmen: Anak-anak, semua umur
Genre: Realistic fiction,  drama, kuliner
Harga: Rp 30.000 (obralan Gramedia Golden Truly)
Rate: ★★★★

Bagaimana bila kau diberi kesempatan untuk bisa menciptakan permenmu sendiri? Dan bukan hanya menciptakan permen saja, tapi permen itu juga akan diproduksi secara masal oleh pabrik permen. Selain itu kau juga mendapat bonus berupa uang tabungan senilai 1000 dollar. 

Empat orang anak, yaitu Logan, Miles, Daisy dan Philip yang masing-masing berusia 12 tahun berhasil terpilih sebagai peserta yang akan mewakili Region 3 dalam kontes permen tahunan yang diadakan oleh asosiasi pengusaha gula-gula. Pabrik yang terpilih untuk mengajari sekaligus menjadi tempat anak-anak ini belajar cara membuat permen adalah Life Is Sweet. Selama 2 hari, keempat anak ini akan diajari seluk beluk cara membuat permen dan juga bahan-bahan apa saja yang harus digunakan. 

Selama 2 hari itu, anak-anak tersebut menyadari bahwa proses membuat permen tidaklah semudah yang mereka bayangkan, belum lagi ada kemungkinan timbulnya kecurangan dari salah seorang peserta. Banyak hal-hal tak terduga yang mereka temui selama 2 hari berada di pabrik permen Life is Sweet. Namun suatu hal yang tidak disangka-sangka berhasil mengubah persaingan individu tersebut menjadi sebuah persahabatan yang saling melengkapi. Apakah itu?
What I thought


Menyenangkan dan hangat. Itulah kesan yang timbul selesai saya membaca buku ini. Buku ini terbagi atas 4 sudut pandang dari 4 anak peserta lomba.

Logan, protagonis utama dari buku ini. Logan adalah putra pemilik pabrik Life is Sweet, namun ia tetap sama dengan para peserta lain, tidak ada perlakuan istimewa. POV Logan mengawali bagaimana cerita dimulai. Karena diletakkan pertama dan juga sebagai putra pemilik pabrik, POV Logan banyak menceritakan mengenai kegiatan-kegiatan di pabrik permen. Deskripsi mengenai pabrik permen cukup detil, sehingga pembaca seolah ikut merasakan berada di pabrik permen.

Saya jadi membayangkan Ruang Onggokan Mint Dingin, Ruang Lelehan Cokelat renyah, Ruang Loli-Loli Melompat dan Ruang Jellybean Lompat Tinggi. 

Namun masalah yang sering muncul dalam plot yang banyak menceritakan deskripsi adalah cerita jadi terasa lamban dan membosankan. Ini sempat saya alami dan membuat saya agak malas tiap kali mau melanjutkan bukunya. Hal lain yang membuat bosan adalah plot yang cenderung lurus-lurus saja dan juga konflik yang belum ada tanda-tanda penampakkan diri. Begitu pula dengan karakter Logan yang juga masih kalem-kalem saja.

Cerita berlanjut ke POV Miles. Saya jelas mulai terbangun saat masuk POV Miles. Cerita pun mulai masuk ke misteri. Rasanya menarik melihat bagaimana Miles berpikir tentang Logan dan mengapa Miles selalu membawa tas besar kemana pun dia pergi dan apa isi tas besar itu? Dari sini saya semakin penasaran untuk mencari tahu kisah Miles yang membuat saya terus membalik halaman buku.

Dan saat pembaca lagi menikmati suasana tegang di pabrik permen, tiba-tiba cerita beralih ke POV Daisy, yang juga merupakan satu-satunya anak perempuan dalam kelompok peserta tersebut. Cerita Daisy menarik walau menurut saya juga yang paling aneh (in a good way) dan terkadang terasa seperti fantasi. Tapi bukankah setiap anak mempunyai imajinasinya sendiri mengenai apa yang mereka inginkan saat sudah besar nanti.

Dan tibalah pada POV terakhir, yaitu Philip. Berbeda dengan 3 anak lainnya yang bersifat manis dan menyenangkan, sejak kemunculannya, Philip sudah membuat saya penasaran karena sifatnya yang sangat menyebalkan, arogan, cenderung meremehkan peserta lain dan sok pintar. Namun meskipun menyebalkan, POV Philip justru yang paling saya tunggu. Dan penulis di sini seolah menegaskan bahwa, setiap sebab ada akibat. Anak-anak yang bersifat menyebalkan pasti ada penyebabnya. Nah apa penyebabnya, silakan baca sendiri.

Saya agak menyesal tidak memilih buku ini saat tema kuliner, bulan Februari lalu. Buku ini sebagaimana yang selalu saya harapkan dari buku anak-anak, yaitu cerita yang bisa memberikan rasa hangat, seru dan menyenangkan saat membacanya. Dan penuturan mengenai permen dalam cerita ini, sukses membuat saya pengen mengunyah permen saat membacanya (dan serius, saya sampai membeli 2 bungkus kecil permen kenyal Yupi).

POV yang berbeda-beda, mungkin bagi sebagian pembaca akan membuat cerita terasa berputar-putar, namun di sinilah penulis bermaksud agar pembaca bisa memahami karakter dari setiap anak. Seperti Logan yang baik hati dan tak pernah marah-marah, Miles yang sensitif dan mempunyai empati yang begitu besar akan orang-orang disekitarnya, lalu Daisy yang ceria dan penuh semangat serta Philip yang ambisius dan berusaha tampil sempurna.

Ada beberapa scene dan kutipan bagus dari buku ini, salah satu yang saya suka adalah:

“Kau tidak pernah tahu apa yang akan kau ketahui saat membuka sebuah buku. Dan jika isinya adalah suatu cerita, kau akan tenggelam di dalamnya. Kemudian, kau akan tinggal di sana beberapa saat, bukannya-kau tahu-tinggal di sini.”

Jangan lupa, baca juga review Indah, karena seharusnya saya baca buku ini pada bulan April bareng Indah, namun ternyata saya gagal karena masih stuck di beberapa buku timbunan.

Buku ini, saya ikut sertakan juga untuk:
– Lucky No.14 Reading Challenge: Chunky Bricks
– 2014 TBRR Pile RC
– New Authors Reading Challenge 2014
– Children’s Literature Reading Project

TRIANGULAR LABYRINTH: MENARIK TAPI EKSEKUSINYA TERBURU-BURU

Judul Buku: Triangular Labyrinth
Pengarang: Lommie Ephing
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Veronica Vonny
Desain Cover: Eduard Iwan Mangopang
Jumlah Halaman: 256 Halaman
Cetakan, Maret 2014
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Fantasi
Harga: Rp 35.000 (30% off dari Rp 50.000, ultah Gramedia)
Rate: ★★★

Luna selalu membuat kehidupan Mauren tidak bahagia. Sejak kelahiran adiknya itu, perhatian kedua orang tuanya seolah tercurah hanya untuk Luna. Apapun yang diinginkan Luna selalu dituruti. Luna adalah nomor 1, sedangkan Mauren seperti anak tiri. Semuanya terasa sangat tidak adil bagi Mauren. 
Puncaknya adalah saat kedua orang tuanya membatalkan liburan mereka sekeluarga ke Bali, dan itu semua akibat ulah Luna. Tidak terima, Mauren memaki-maki Luna dan mendapat tamparan keras dari Papa untuk pertama kali dalam hidupnya. Mauren sakit hati dan ia berharap agar adiknya, Luna lenyap saja dari kehidupannya. 

Dan keinginan itu terkabul. Sebuah papan permainan yang bernama Triangular Labyrinth, yang ditemukan Mauren di suatu toko mainan yang terbakar telah membawa adiknya itu masuk ke suatu dunia antah berantah yang sangat berbahaya. Tapi alih-alih senang karena Luna menghilang, Mauren justru merasa sangat bersalah, dan ia menyadari bahwa ia sebenarnya menyayangi sang adik, apalagi setelah ia tahu rahasia sang adik. 

Merasa bertanggung jawab, Mauren pun menyusul sang adik masuk ke dunia antah berantah tersebut untuk mencari, menemukan dan membawa pulang kembali sang adik. 

Namun ternyata mencari Luna dalam dunia aneh tersebut tidak mudah, selain harus siap menghadapi banyak mahluk-mahluk berbahaya yang siap memangsanya, Mauren tidak punya petunjuk mengenai keberadaan sang adik. Yang ia tahu setelah beberapa saat menemukan Luna, seekor burung gagak raksasa pemakan daging langsung menculik sang adik dan membawanya pergi. 

Beruntung, Mauren bertemu Zermus, mahluk yang tidak bisa terlihat oleh mata ini bersedia untuk membantu Mauren menemukan sang adik. 

Maka dimulailah petualangan Mauren di Triangular Labyrinth untuk menemukan Luna. 


Ceritanya Cukup Menarik

Sewaktu melihat sampul depannya, saya langsung penasaran, karena gambar bayangan centaur di depannya langsung memberitahu saya bahwa buku ini bergenre fantasi. Salah satu genre favorit saya, dan setelah saya baca sinopsis dan lihat nama pengarangnya, ternyata buku ini fantasi lokal. Jarang-jarang ketemu fantasi lokal di tengah gempuran buku fantasi terjemahan dan genre non fantasi lokal. Selain tertarik karena covernya, saya juga suka akan sinopsis di belakang buku yang bertema keluarga. 
Secara konsep, Triangular Labyrinth ini cukup menarik, walau ide ceritanya mengingatkan saya akan suatu film di tahun 90-an yang berjudul Jumanji, kisah mencari adik yang hilang ke dimensi lain juga mengingatkan saya akan cerita dari novel The Iron King, namun gaya bahasa dan penuturan yang ringan membuat buku ini gampang untuk dinikmati, saya pun hanya butuh 1 hari untuk membacanya. Beberapa orang mungkin takut kalau genre fantasi akan terasa berat, tapi tenang saja, buku ini mudah dibaca, walau konten ceritanya sebenarnya cukup serius.

Untuk bagian awal, saya sempat mengira kalau buku ini sejenis bacaan remaja yang ringan dengan persoalan klise macam cowok dan teman. Tapi ternyata saya salah, buku ini lebih ke tema persaudaraan atau keluarga. Dan bahkan pada beberapa adegan terasa cukup sadis dan konfliknya juga serius, makanya meski tokoh Mauren baru berusia 17 tahun saya tidak melihat ada label teenlit di sampul depannya. Karena memang ceritanya bukan tipikal teenlit. Tapi meski ada adegan sadis, penggambarannya cepat dan halus, jadi tidak terlalu menakutkan. 

Sekarang bagian protesnya (may contain spoiler)

Nah ini dia bagian yang kurang menurut saya. Pertama para karakter. Saya merasa karakternya pada tidak konsisten. Hanya Zermus, sang Varaktus yang konsisten, selebihnya macam Mauren dan Pangeran Edmun tidak konsisten. Terutama Edmun yang digambarkan pengecut dan takut mati lalu menjadi “langkahi dulu mayatku”, lalu dari gentleman jadi suka main tampar dan tebas lalu berubah jadi gentleman lagi (sepertinya Edmun ini tipe yang kiss and slap yah dan banyak adegan tampar-menampar di buku ini). Yang saya tangkap, karakternya over pede, suka gombal, suka memaksakan kehendak (mungkin karena dia pikir dia anak Raja jadi semua orang harus menurut padanya, tapi lakukan dengan gaya yang lebih elegan donk) dan tentu saja temperamental. Untuk saya pribadi meski berkali-kali diberitahu ganteng, tapi tetap jauh dari likeable.

Untuk pemeran utama sendiri yaitu Mauren, saya masih menganggap Mauren itu damsel in distress. Kalau bukan karena Zermus, mungkin Mauren sudah gagal sejak awal. Dan selebihnya ia selalu ditolong oleh nyaris semua karakter dalam buku. Selain itu sifat Mauren juga menyebalkan menurut saya. Sering perhatiannya teralihkan lupa akan tugas utamanya datang ke Triangular Labyrinth dan Mauren juga self-centered. Padahal karakter Mauren seharusnya bisa dikembangkan atau ada unsur redemption dari yang tadinya egois dan menyebalkan bisa lebih tangguh, berani, berpendirian dan berjiwa besar, tapi saya masih belum menangkap gambaran perubahan ini, selain dari masalah menolong adiknya.

Kedua, plot cerita yang terburu-buru dan terasa janggal. Saya tidak tahu apakah penulis diberi batasan halaman. Tapi beberapa hal terasa janggal, seperti mengapa Mauren tidak fokus dalam mencari adiknya. Masih sempat-sempatnya menikmati pesta dansa, menikmati memilih gaun-gaun & bersenang-senang sama Pangeran, padahal nasib sang adik masih tidak jelas dan waktunya sempit, kenapa tidak langsung ngomong ke Pangeran kalau ia lagi mencari adiknya, secara Pangeran pasti punya pasukan untuk membantu. Memang akhirnya Mauren dibantu, tapi setelah melalui beberapa plot ala opera sabun  keluarga bangsawan yang menurut saya tidak terlalu relevan.

Selain itu Mauren juga seolah tidak banyak diberi kesempatan untuk bereaksi pada beberapa bagian plot. Ia tampak hanya sekedar mengikuti dramanya saja alih-alih sebagai karakter utama, dan inilah yang saya maksud dengan plot yang terburu-buru. Termasuk PDKT dari sang pangeran yang terlalu instant (baiklah anggap saja pangerannya memang gemar merayu).

Karaker yang saya suka di sini Zermus karena ia yang paling tulus dari semuanya, tapi juga karakter yang paling dikasihani. Walau saya ngerti sih pasti bakal aneh rasanya kalau melihat romens Zermus & Mauren. Saya ini tipikal yang kurang bisa memahami hubungan asmara beda species. Beda species yang saya maksud di sini tuh misal burung onta sama badak bercula satu (metafora aja). Saya bisa menerima kalau masih ada wujud manusia utuhnya, misal vampire, shape shifter, malaikat, dll. Kalau untuk romens Edmun-Syanne, saya melihatnya terlalu lebay. Tapi untunglah (terlepas dari adegannya yang kadang cheesy) porsi romens dalam buku ini pas alias masih sebagai bumbu penyedap dalam cerita.

Akhir review, selamat untuk penulis atas novel pertamanya ini. Saya suka dengan gaya bahasanya yang ringan tapi padat, seandainya ada sekuelnya, saya pasti akan membacanya lagi, karena masih banyak hal yang bikin penasaran. Semoga makin banyak genre fantasi lokal terbit di Indonesia dengan cerita yang bagus dan makin variatif.

IF I STAY: ENJOYABLE BUT NOT MEMORABLE

Judul Buku: If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini)
Pengarang: Gayle Forman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Jumlah halaman: 200 Halaman
Cetakan pertama: Februari 2011
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Drama, realistic fiction
Harga : Rp 28.000 (20% off from Rp 35.000)
Rate: ★★★

Hidup Mia terasa sempurna. Ia memiliki keluarga yang baik dan menyayanginya, sahabat yang selalu setia mendampingi dan pacar yang selalu memuja dan mendukungnya. 

Nilai-nilainya di sekolah rata-rata baik, kelakuannya manis dan tak pernah menimbulkan masalah, dan yang membanggakan, semua orang selalu memuji bakatnya dalam bermain musik klasik, yaitu cello. Mia pun mempunyai masa depan cerah saat sekolah musik elit dan bergengsi dari New York, Juilliard mengundangnya untuk ikut audisi. 

Namun semua itu hilang dalam sekejap, saat suatu kecelakaan maut nyaris merengut semua yang dimiliki Mia. Nyaris, karena ia sendiri masih hidup meski keadaannya koma, sementara keluarganya tewas seketika. 

Mia terjebak dalam keadaan hidup dan mati. Ia harus memilih apakah bergabung bersama keluarga yang disayanginya atau tetap tinggal dan melanjutkan hidup penuh duka.
Membacanya cukup menyenangkan tapi tidak sampai bikin ketagihan.

Saya akui, alasan utama saya membaca buku ini supaya nanti pas filmnya keluar, saya bisa dapat feelnya karena telah membaca bukunya. Sudah hal umum bahwa jarang ada film yang bisa melampaui buku. Dan bagaimana kalau kita lihat trailer filmnya dahulu, sebelum saya melanjutkan review saya 😀

Rasanya tidak adil kalau saya bandingkan sama trailer macam The Fault in Our Star yang baru  nonton trailernya saja sudah sukses bikin saya mau nangis, mungkin kapan-kapan saya akan buat postingan yang membahas trailer Book Into Movies. Tapi melihat trailer If I Stay, maaf saja jika saya mengatakan ini, tapi trailernya terlalu biasa dan kurang menarik minat untuk membuat orang menontonnya (apalagi mereka yang tidak membaca bukunya sama sekali), just my 2 cents. Narasi Chloe Moretz kurang melankolis, padahal karakternya sebagai Mia, yang saya tangkap di buku itu kalem dan melankolis. Dan Adam, kesan rockernya sih dapet tapi kalau menurut saya kurang keren, heheheh, maaf untuk fans Adam. Semoga hal ini bisa berubah saat saya menonton filmnya yang rencana tayang bulan Agustus nanti.

Eniwei back to topic, If I stay adalah novel segmen YA ke-3 yang saya baca di tahun 2014 ini. Berbeda dengan 2 YA sebelumnya yang bernuansa fantasi, If I Stay meski mempunyai tema antara kehidupan dan kematian, saya menggolongkan buku ini lebih ke realistic fiction. Karena isi cerita dalam buku ini, terasa sangat membumi. Buku ini seperti teenlit yang lengkap, ada cerita mengenai persahabatan, cowok, keluarga dan tentunya cita-cita.

Bukan Kisah Sedih

Banyak yang bilang buku ini sedih. Tapi setelah saya membacanya, sama sekali tidak sedih, karena buku ini tidak membahas reaksi Mia pasca kehilangan keluarganya. Buku ini justru lebih banyak membahas kehidupan Mia sebelum kecelakaan. Jadi memakai alur maju mundur.

Kisah dalam buku ini bergulir seperti sebuah kilas balik, pengarang mengajak pembaca untuk melihat kehidupan sehari-hari Mia sebelum terjadinya kecelakaan. Meski kehidupan sehari-hari Mia tergolong biasa alias normal-normal saja, namun cara penulis menuturkannya terasa begitu mengalir, tenang dan apa adanya. Tidak ada kata-kata berbunga yang membuat pusing, tidak ada kalimat-kalimat lebay pada bagian romensnya dan walau mungkin ada sedikit metafora dengan menggunakan istilah-istilah musik (karena Mia dan lingkungannya adalah pecinta musik) yang bikin bingung tapi tidak terlalu banyak.

Selain itu saya suka interaksi-interaksi para tokoh dalam buku ini. Interaksi Mia dan keluarganya yang selalu tampak hangat dan saling mendukung meski sesekali berselisih paham namun pada akhirnya kembali berdamai. Interaksi Mia dan Adam yang meski saling mencintai namun dikisahkan dengan down to earth dan bukan tipikal romens “aku tidak bisa hidup tanpamu”. Untuk buku pertama ini, saya bilang romensnya masih bukan fokus utama, karena cerita Mia seputar keluarganya masih lebih banyak dibanding cerita Mia dan Adam.

Karakter-karakternya sendiri cukup oke bagi saya. Tidak ada karakter yang menyebalkan menurut saya. Mia gadis pemalu dan lembut yang selalu merasa terasing karena selera musiknya yang klasik. Adam yang meski rocker beraliran punk tapi ternyata cowok sensitif yang berhati lembut dan cara dia memperlakukan Mia sungguh manis sekali. Tidak heran banyak yang menominasikan Adam sebagai book boyfriend. Ada kata-kata Adam yang indah sekali di bagian akhir yang bikin saya terenyuh. Akan saya spoiler supaya yang belum membaca tidak hilang mood.

Jika kau tinggal, aku akan melakukan apa saja yang kauinginkan. Aku akan berhenti main band, pergi bersamamu ke New York. Tapi jika kau ingin menghilang, aku juga akan melakukan itu. Aku tadi bicara dengan Liz dan dia berkata mungkin kembali ke kehidupan lamamu akan menyakitkan, bahwa mungkin akan lebih mudah bagimu jika menghapus kami dari kehidupanmu. Dan itu akan sangat menyebalkan, tapi aku akan melakukannya. Aku sanggup kehilangan kau seperti itu asalkan aku tidak perlu kehilangan dirimu hari ini. Aku akan melepaskanmu. Jika kau tetap hidup.” ~hal. 192

Just in-depth analysis from me: Pro-Life or Pro-Choice. 

Ini cuma sekedar pemikiran drama saja dari saya, tapi saya berpikir apakah penulis memiliki pesan terselubung dalam buku ini, yaitu mengajak para orang muda untuk menjadi pro-choice. Oregon (negara bagian yang menjadi setting cerita dalam buku) adalah negara bagian yang sangat berprinsip kebebasan dan mengutamakan kesetaraan hak-hak asasi manusia sebagaimana negara bagian lain di pantai barat Amerika. Penulis tampaknya juga seseorang yang berprinsip liberal. Karena dengan menjadi pro-choice, kita membantu orang lain untuk memberi pilihan dalam hidup mereka.

Tapi saya tidak mau membahas mengenai pro life atau pro choice, karena untuk saya pribadi, pendapat saya mungkin bias atau saya mempunyai standar ganda mengenai pro-choice. Eniwei buat yang mau membaca YA dengan kisah hangat dan pahit tapi dikemas secara ringan, saya merekomendasikan buku ini.

BTW, mungkin karena baru buku pertama, walau saya menyukai karakter Adam di sini, tapi saya belum sampai bermaksud untuk memasukkannya dalam nominasi book boyfriend saya. Mungkin nanti setelah baca buku kedua yang katanya lebih banyak romensnya, saya akan berubah pikiran.

Memorable quote: 

“Kadang-kadang  kau membuat pilihan dalam hidupmu dan kadang-kadang pilihanlah yang memilihmu.”~hal. 161

“Aku sadar sekarang bahwa meninggal itu mudah sekali. Hiduplah yang sulit.” ~hal. 146

Balik ke casting film, Chloe Moretz sebagai Mia cantik banget dengan rambut coklat (tapi memang orangnya sudah cantik sih, mau diapain juga tetap cantik).

Dan pemeran Adam (Jamie Blackley) kok lebih ganteng di foto bawah yah kalau rambutnya pendek dibanding sama yang di film, heheheh. Di film model rambutya aneh, walau masuk akal sih, secara kan rocker.

Review ini juga untuk RC:

THE NIGHT CIRCUS: VERY RICH IN DESCRIPTION BUT POOR IN STORYLINE

Judul: The Night Circus
Pengarang: Erin Morgenstern
Penerbit: Mizan Fantasi (Mizan Grup)
Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani
Penyunting: Prisca Primasari
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain sampul: Windu Tampan
Jumlah Halaman: 610 Halaman
Cetakan 1, Januari 2013
Segmen: Dewasa
Genre: Fantasi, Magical Realism
Harga: 57.400 (diskon 30% darr Rp 82.000)
Rate: ★★★½

Le Cirque des Reves bukanlah sirkus biasa. Sirkus itu sangat misterius. Warna tendanya hitam dan putih, begitu pula suasana di dalam tenda sirkus yang semuanya serba hitam dan putih. Tidak ada penonton yang tahu kapan sirkus akan datang. Kemunculan sirkus selalu mendadak dan tiba-tiba. Selain itu sirkus hanya dibuka pada malam hari hingga subuh. 

Namun yang paling menakjubkan adalah setiap pertunjukkan yang ditampilkan oleh sirkus terasa begitu ajaib seolah semua ilusi dalam sirkus adalah nyata. Jubah-jubah yang bisa berubah menjadi burung merpati, taman es lengkap dengan salju-saljunya, labirin awan yang lembut, dan api unggun yang bisa berganti warna hingga 12 kali. 

Namun sesungguhnya sirkus malam bukanlah sekedar trik sulap, karena sihir sungguhan terlibat di sana dan sirkus tersebut juga merupakan tempat bagi 2 pesulap untuk saling bertarung. Jadi bagaimana pertarungan mereka?

Salah satu buku yang membacanya terasa melelahkan. 

Saya mulai dari apa yang saya tidak suka dahulu yah:

  1. Deskripsi sirkusnya terlalu mendetil. Saya suka detil tapi kalau terlalu berlebihan jadinya malah membosankan. Bintang utama buku ini bukanlah pada karakter-karakter dalam cerita tapi pada sirkus itu sendiri. Dan pengarang sukses dalam melukiskan ilustrasi keajaiban, kemegahan, kemisteriusan sirkus melalui kata-kata yang terangkai dalam prosa yang mengalir indah.  
  2. Plotnya maju-mundur dan cenderung lambat. Untuk beberapa pembaca plot seperti ini bisa membingungkan. Jadi setiap bab, tanggal dan tahunnya itu berbeda, bisa lebih maju atau lebih mundur dengan sudut pandang orang ketiga yang saling berganti-ganti juga.
  3. Karakter-karakternya hanya sekedar oke dan terasa datar. Pengarang sukses menjadikan karakter utama dalam buku ini hanya Sirkus Malam itu sendiri. Buku ini memiliki banyak karakter dan terkadang saya bertanya-tanya sebenarnya apa fungsi dari karakter-karakter ini bagi cerita, karena beberapa karakter hanya berakhir sebagai tempelan atau pemanis dalam cerita. Karena itu saya tidak merasakan adanya koneksi emosi dengan satu tokoh pun dalam cerita ini. 
  4. Romancenya hambar dan maksa. Tapi seharusnya saya tidak boleh protes, karena buku ini memang bukan romens. Walau ada lebih dari 1000 netizens di goodreads yang memasukkan romens sebagai genre buku ini. Tapi bukan, romens dalam buku ini hanya sekedar bumbu dalam cerita. Sayangnya sebagai bumbu pun, romensnya  gagal untuk menyedapkan rasa. Saya memang bukan yang percaya sama cinta pada pandangan pertama atau intaslove (kalau suka pada pandangan pertama mungkin saya percaya, nah untuk berkembang jadi cinta kan butuh proses). Tapi balik ke soal karakter yang mungkin saya kurang suka juga yang memengaruhi saya tidak suka sama kisah romensnya.
  5. Dan ini mungkin yang paling saya tidak suka, warning, may contain spoiler yaitu miskinnya isi cerita untuk buku setebal 610 halaman. Seandainya saya ditanya, apa isi cerita The Night Circus? Maka saya hanya bisa menjawab, tentang sirkus yang ajaib. Terus di sirkus itu ada bla-bla-bla. Jangan tertipu dengan konflik pertarungan atau duel antara 2 pesulap yang sempat disinggung dalam sinopsis, karena sebenarnya tidak ada pertarungan. Dan masalah duelnya pun hanya sekedar tempelan saja. Tidak dijelaskan sama sekali asal muasal kenapa Marco dan Celia harus saling bertarung. 
Ada kritik yang membandingkan buku ini dengan Harry Potter, namun saya sama sekali tidak setuju. Karena cerita dalam Harry Potter itu kaya, bukan hanya kaya unsur sihir, tapi terasa kaya karena isi cerita dan karakternya sendiri bisa membuat pembaca merasakan emosi saat membacanya. Sedangkan buku ini, saya merasa datar saja sepanjang membacanya.

Terus apa kelebihan buku ini?

Mungkin kelebihan buku ini juga menjadi kekurangan buku ini. Kelebihan buku seperti yang telah saya tuliskan di judul, yaitu ada pada deskripsinya yang luar biasa detil dan juga narasinya yang indah dan puitis. Setiap kata-kata ibarat sebuah kisah dongeng yang dituturkan langsung oleh sang penulis ke telinga Anda.

Namun ini mungkin balik keselera masing-masing pembaca. Bila Anda adalah pembaca yang tidak sabaran dan lebih suka dengan konten cerita yang kuat, karakter-karakter well-develop yang bisa membuat Anda ikut larut dalam emosi mereka, maka saya tidak menyarankan Anda untuk membaca buku ini.

Sebaliknya, apabila Anda senang berimajinasi dengan deskripsi, menyukai kedetilan dalam narasi, menyukai gaya bahasa ala dongeng, maka saya akan menyarankan Anda untuk membaca buku ini.

Saya pribadi termasuk golongan pertama. Kalau saja buku ini dikemas ala Hugo Cabret yang penuh dengan gambar, mungkin saya bisa kasih rating lebih tinggi secara saya ini orang visual.

The Movie Adaptation

Meskipun saya tidak terlalu suka dengan buku ini, namun saya mendukung bila buku ini dibuat film. Karena film berarti visual. Dan deskripsi yang detil dan kaya justru akan sangat cantik bila divisualisasikan.

Untuk aktrisnya sendiri, selama membaca buku ini, saya selalu membayangkan aktris cantik Lily Collins sebagai Celia Bowen. Dengan rambut gelap, kulit putih cerah, dan juga bentuk dagu yang kecil, Lili sangat cocok memerankan sang ilusionis yang berwajah seperti anak-anak namun memiliki pesona misterius yang dewasa.

Untuk pemeran Marco Alisdair, saya memilih aktor Inggris Max Irons. Tinggi, tampan dan tampak arogan, cocoklah untuk pemeran Marco.

Nah, satu lagi William Moseley cocok untuk memerankan Bailey yang polos dan kalem.

Sedangkan Rachel Hurd-Wood dan Rupert Grint bisa menjadi si kembar Poppet dan Widget, mereka berdua cocok dengan rambut merah. 

Satu hal lagi yang saya sesalkan adalah saya membeli buku ini terlalu awal, karena sekarang buku ini diobral dengan harga Rp 30.000 #yangsudahberlalubiarkanlahberlalu

Cover, saya cukup suka dengan cover terjemahannya yang bernuansa merah, sehingga membuat sirkus terkesan meriah alih-alih ajaib dan misterius, namun mungkin cover akan lebih cocok dengan cerita bila berlatar belakang hitam, sama seperti buku aslinya. 

Tapi kalau ada 1 hal yang harus saya acungi jempol untuk buku ini adalah terjemahannya yang bagus. Mbak Berliani berhasil membuat saya menobatkannya sebagai salah satu penerjemah favorit saya.

Review ini juga untuk RC:

NEW AUTHORS READING CHALLENGE MARCH – APRIL WRAP UP

Bulan Maret – April ini boleh dibilang saya gagal mencapai target untuk bisa membaca delapan buku selama 2 bulan. Hecticnya hari-hari kerja ditambah April kemaren ada event ultah BBI membuat fokus saya terbelah #alesan. Selain itu, entah mengapa, buku yang saya baca sejak Februari rata-rata tebal-tebal semua.
 Silakan klik judulnya untuk meihat review.

New Authors Maret 2014:

  1. 11 Maret: Explicit Love Story – Lee Sae In
  2. 23 Maret:The Street Lawyer – John Grisham

New Authors April 2014:

  1. 1 April: Tiger’s Curse – Collen Houck
  2. 29 April: The Help – Kathryn Stockett
  3. 30 April: Paris: Aline – Prisca Primasari
Jadi inilah 5 buku yang saya baca. Yah semoga untuk Juni-Juli bisa lebih banyak. 
Sebenarnya sih mau bikin progress juga untuk RC lain, tapi saya bukanya dari notebook dan agak lemot ngetik dan loadingnya. 

PARIS: ALINE (SETIAP TEMPAT PUNYA CERITA #1)

Judul Buku: Paris: Aline (STPC #1)
Pengarang: Prisca Primasari
Penerbit: Gagas Media
Editor: eNHa
Proofreader: Gita Romadhona, Ibnu Rizal
Penata letak: Dian Novitasari
Desain sampul: Jeffri Fernando
Ilustrasi Isi: Diani Apsari
Jumlah Halaman: 212 Halaman 
Terbit: Cetakan kedua, 2013
Segmen: Remaja
Genre: Romance
Rate: ★★½
Catatan: Buntelan dari ultah Gagas Media #unforgotTEN (kado untuk blogger)

Siapa Aeolus Sena? Hanya dari penemuan sebuah porselin yang dibuang, hari-hari Aline di Paris mendadak jadi dipenuhi misteri seputar pria itu. 

Tidak ada yang biasa tentang Sena. 
– Pertama pria itu mengajaknya bertemu tepat tengah malam di sebuah tempat yang dulunya dipergunakan untuk mengeksekusi mati para tahanan. 
– Kedua, pria itu berani berjanji akan mengabulkan apapun 3 permintaan Aline.
– Ketiga, pria itu  membuat janji dengan cap darah.
– Keempat, pria itu selalu muncul dan menghilang dengan tiba-tiba. 
– Kelima, pria itu menyukai tempat-tempat yang gelap dan seram seperti kuburan.
– Keenam, pria itu bekerja di tukang reparasi mesin tik. 
– Ketujuh, setiap ekspresi di wajah pria itu tidak bisa ditebak, sedetik ia tampak usil dan sedetik kemudian ia serius.

Siapa Aeolus Sena? Mengapa ia selalu datang dan pergi dengan tiba-tiba? Di mana ia tinggal? Sena tidak pernah memberikan jawaban langsung pada Aline. Untuk mencari tahu jawabannya, Aline berusaha mengumpulkan setiap kepingan puzzle dengan menyusuri setiap tempat di Paris

Semua Serba Kentang. 
(baca: alias kena tanggung)

Selesai membaca buku ini, mendadak dalam kepala saya terbayang adegan ini:

Editor: Tolong buat buku dengan setting Paris dan konsep utama misteri
Penulis: Oke, misteri tentang apa? Thriller? Horror?
Editor: Bukan, STPC ini tetap dimaksudkan untuk pembaca romens, jadi jangan yang berat yah, yang penting aura misterinya dapet.
Penulis: Oke, kapan deadlinenya?
Editor: Bulan depan.

Sebulan kemudian:

Masakan ternyata masih belum matang. Iya, saya memang menganalogikan novel ini dengan sebuah masakan. Karena ibarat masakan, novel ini terasa belum matang. Semuanya serba tanggung. Bumbunya masih kurang, olahan utamanya masih terasa mentah, hanya penyajiannya yang bagus. Dalam hal ini, desain sampulnya, dan yang paling saya suka adalah bonus postcardnya. (Harusnya Gagas bikin merchandise cover-cover buku Gagas dalam bentuk kartu pos)
Balik ke masalah kentang atau nanggung. Bukunya sendiri termasuk tipis (212 hal) dan saya pribadi kurang ngerti, maksud apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis melalui buku ini. Konflik utama hanya berputar-putar mengenai Sena dan menurut saya pribadi sebagai karakter pun, Sena juga kurang digali, saya hanya tahu Sena itu termasuk karakter eksentrik atau antik. Plot ceritanya juga tidak jelas, dan yang paling mengganjal, bila saya membaca cerita berkonsep misteri, saya selalu butuh alasan yang kuat dan believeble dibalik setiap misteri.

Untuk karakter Aline sendiri juga terasa aneh, banyak tindakannya yang tidak logis menurut saya. Seperti mau-maunya menemui orang asing sendirian tepat tengah malam, sudah 2 tahun bertetangga dengan sesama mahasiswa Indonesia, tapi tidak pernah bertanya apapun, mengambil cuti seminggu hanya karena patah hati yang sebenarnya sudah terjadi agak lama, mungkin seperti kata buku ini, Aline terlalu cuek untuk hal-hal yang penting dan terlalu peduli untuk hal-hal yang tidak penting. 

Tapi bahkan pengungkapan alasan di akhir plot pun terasa aneh dan kurang kuat. Konsep misterinya juga terasa maksa, dan untuk romancenya sendiri juga kurang terasa karena semuanya serba instant. Lalu karakter Ezra, hmmm saya tidak tahu apa ia ada untuk sekedar bumbu penyedap, tapi daripada karakter utama, menurut saya Ezra justru karakternya paling realistis, ia kalem dan pendiam, tapi sebenarnya Ezra itu galauan. Sayang perannya cuma sekedar pemanis saja dalam cerita.

Setiap tempat punya cerita

Place de la Bastille

Karena ini STPC, tentunya buku ini harus banyak menjabarkan tempat. Yang karena bukunya sendiri tipis, walaupun ada, tapi tempat-tempatnya sendiri lebih banyak sekedar disebutkan saja alih-alih dijabarkan lebih detil. Memang ada beberapa yang punya kisah seperti Place de la Bastille, yang sempat diceritakan bagaimana cara tahanan dieksekusi dengan kejam dengan cara tubuhnya diikat pada 4 ekor kuda lalu ditarik ke segala arah. Place de la Bastille termasuk salah satu tempat bersejarah wajib dikunjungi di Prancis, karena dulu revolusi Prancis juga terjadi di sini.

Beberapa tempat lain yang disebut adalah:

Beaumarchais Boulangerie, sejenis kafe & bake shop.
Place des Vosges, kompleks kediaman para tokoh sejarah Prancis dan juga alun-alun kota.

Pere Lachaise, kompleks pemakaman keren bergaya gothic. 
Jardin du Luxembourg, taman kota
Mariage Freres, tea shop and gourmet
Akhir kata, buku ini bukan yang terbaik dari seri STPC, saya merasa penulis terburu-buru menulis buku ini karena dikejar singa mati dan akibatnya banyak plot cerita yang terasa janggal, kentang dan maksa. Sebenarnya awalnya saya berniat membaca Bangkok-nya Moemoe Rizal, yang paling banyak mendapat review bagus dari seri-seri STPC yang sudah terbit, hanya saja untuk lebih amannya saya ingin memilih yang tipis terlebih dahulu supaya bisa cepat selesai dan kembali membaca buku The Night Circus yang sempat saya tinggalkan untuk membaca The Help dan buku ini. Selain itu, saya pilih seri STPC alih-alih buku traveling non fiksi karena saya ingin ada kemajuan untuk IRRC, yang baru bisa saya mulai akhir April ini. (inilah akibatnya kebanyakan ikut RC)