BOOK REVIEW: I’MPOSSIBLE AND GIVEAWAY ANNOUNCEMENT (SOON)

★★★
Judul Buku: I’mpossible
Pengarang: Orinthia Lee
Editor: Ara Philomina
Penerbit: Ping!!! (Diva Press)
Jumlah Halaman: 195 Halaman
Segmen: Remaja
Genre: Teenlit, Drama, Realistic Fiction
Harga: Rp 32.000

Sinopsis:

Fay tidak pernah menyangka kalau hidupnya bakal berubah 180 derajat. Dari seorang cewek kaya raya yang populer dan hanya tahu cara berfoya-foya tiba-tiba saja harus mati-matian mencari cara untuk membayar uang sekolahnya, karena perusahaan keluarganya tiba-tiba dinyatakan bangkrut. 

Bagaimana cara Fay mengatasinya? Apalagi selama ini ia hidup dalam kesombongan karena dirinya adalah gadis populer, cantik, dan kaya di sekolahnya. Apakah teman-temannya tetap mau bergaul dengannya meski ia telah jatuh miskin? Lalu bagaimana pandangan orang lain terhadapnya? Dan yang terpenting, bagaimana Fay bisa tetap mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolahnya yang sangat mahal? 

Fay merasa tidak punya keahlian apapun. Satu-satunya keahlian Fay adalah bersenang-senang dan menghabiskan uang dengan berbelanja dan salah satunya adalah belanja di toko online. Fay pun mulai berpikir untuk memulai bisnis online demi membayar uang sekolahnya. 

Jadi bagaimana  cara Fay berbisnis online?

It’s fun and light teenlit

Kalau diibaratkan makanan, buku ini seperti cemilan yang renyah atau popcorn caramel, yang terus kita makan tanpa kita sadari dan, tahu-tahu habis. Yup bukunya tipis, hanya 195 halaman dengan tulisan yang besar dan renggang. Saya baca buku ini sambil tunggu bus Trans Jakarta datang, dan ternyata saat busnya tiba, tanpa saya sadari, saya sudah membacanya hingga 60 halaman lebih. Bila fokus membaca buku ini tanpa jeda (distraksi), saya rasa dalam 2-3 jam pasti selesai. 

Penuturannya sangat ringan dan membumi dengan bahasa gaul yang biasa dipakai sehari-hari. Jadi waktu saya baca buku ini, serasa seperti membaca curhatan Fay. Mungkin yang menyenangkan dari membaca I’mpossible adalah karena buku ini banyak dialog atau percakapan antar tokohnya alih-alih narasi atau deskripsi yang kadang cenderung suka bikin bosan, terutama untuk pembaca yang tidak sabaran. Jadi karena buku ini banyak dialog, saya tidak merasa bosan sama sekali saat membacanya. 

Tapi mungkin karena bukunya terlalu ringan dan tipis, jadinya kurang meninggalkan kesan untuk saya (berasa terlalu cepat dan numpang lewat) saat selesai membacanya. Hehehe. Nah mengapa saya merasa seperti itu, lihat penjelasan di bawah. 

Sebenarnya saya berharap emosi atau konfliknya bisa dikembangkan. Saya merasa alur buku ini sangat cepat atau lebih tepatnya terlalu banyak tell alih-alih show. Misal waktu perusahaan papanya Fay bangkrut, mengapa Fay hanya dikasih sedikit reaksi. Padahal dengan 1st person POV, saya berharap bisa melihat lebih banyak reaksi Fay, misalnya bagaimana ekspresi panik, malu, kalut, dll dari Fay. Karena di buku hanya diceritakan, Fay sedih dan kalut tapi tidak digambarkan bagaimana kekalutan dia, jadi saya kurang menangkap emosi Fay. Saya tidak tahu apakah ada pembatasan jumlah halaman, tapi waktu mamanya Fay meninggalkan Fay pun, saya merasa reaksi Fay agak kurang. Padahal saya juga berharap ada sedikit usaha dari Fay untuk mencari tahu atau menghubungi mamanya (diluar telepon yang tidak diangkat), misal dengan mendatangi rumah keluarga dari pihak mamanya, kan diceritakan masih di sekitar Jakarta juga, dalam hal ini Fay terasa pasif. 

Dan saya setuju dengan review Zelie mengenai alasan mamanya meninggalkan keluarga yang agak “nanggung” karena membawa kedua anaknya yang masih kecil. Entah apa karena penulis berpikir, kalau kedua adik Fay masih terlalu kecil dan butuh diasuh seorang ibu atau supaya cerita hanya fokus pada jualan online Fay, tapi kayaknya bakal lebih seru kalau seandainya kedua adik Fay juga ditinggal dan penulis menambahkan plot atau adegan Fay sebagai seorang kakak yang berusaha mengurus adik-adiknya. 

Eniwei walau bertema jualan online dan judul seperti buku motivasi, buku ini nggak menggurui sama sekali kok. Dan setelah saya selesai membacanya, saya sadar walau bertema jualan/bisnis online, namun utamanya buku ini membahas perubahan karakter tokoh utama. Dari yang tadinya  dangkal dan hanya tahu gaya hidup hedon, perlahan-lahan mulai menyadari bahwa selama ini pandangannya salah. Tapi saya merasa hingga akhir, karakter Fay ini tetap digambarkan self centered. Sekiranya dari cara penuturannya yang selalu, “Nanti aku bagaimana? Aku begini, aku begitu”

Trus begitu pula dengan penyelesaian konflik yang terasa terburu-buru. Dan lagi-lagi saya merasa Fay tidak diberikan banyak waktu untuk bereaksi yang lebih dramatis. Tapi yah sudahlah, mungkin memang yang ingin difokuskan dalam buku ini adalah tema bisnis onlinenya dan karakter Fay. 

O ya, saya bingung, sama kutipan di sampul depan tentang bunga matahari, itu kayaknya nggak ada di buku yah? Atau saya yang terlewat? 

Dibandingkan novel perdana Orin yang Why Always Me, menurut saya pribadi, I’mpossible dikemas lebih ringan. Dalam WAM, saya justru lebih merasakan konflik dan angst-nya tokoh utama. Entah apa karena karakter Fay lebih ceria dan easy going dibanding  Bianca?

Bagaimanapun, untuk teman-teman yang mau berbisnis online, saya sangat merekomendasikan untuk membaca novel ini, karena ceritanya sangat membahas mengenai seluk beluk jualan online termasuk masalah-masalah apa saja yang mungkin timbul saat jualan online, jadi bisa untuk pembelajaran juga. Hehehehe

GIVEAWAY ANNOUNCEMENT 

Dan sekarang yang sudah dinantikan. Menyambut ulang tahun blog yang genap setahun pada Desember ini (benarnya blog saya lahir November tapi baru benar-benar jadi blog buku bulan Desember), saya bermaksud mengadakan 2 giveaway yang terbagi menjadi 2 periode GA. 

Supaya, tidak kepanjangan, saya putuskan postingan Giveaway terpisah dengan review. Terpisah? Apa giveaway-nya berhubungan dengan buku ini? Yup, salah satu hadiahnya adalah buku I’mpossible bertanda tangan penulisnya, Orinthia Lee. Dan itu hanya salah satu hadiahnya, karena supaya lebih meriah, saya tambahkan hadiah lain juga. 

Tunggu postingan saya berikutnya ^^

BOOK REVIEW: FLEUR

★★★½
Judul Buku : Fleur
Pengarang: Fenny Wong
Penerbit: Diva Press
Editor: Misni Parjiati
Jumlah Halaman: 322 Halaman
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Fantasi, Romance, Historical Romance
Note: Pinjaman dari Mbak Dewi ^^

15.54

Madam Shortcake sekali lagi menoleh ke arah teras belakang rumahnya. Memastikan segala sesuatunya tertata anggun dan terlihat indah seperti yang ia inginkan. Kursi-kursi empuk dengan bantalan mini yang bercorak bunga tampak tertata nyaman di masing-masing kursi. Lalu ia melihat meja bundar di tengah-tengah lingkaran kursi tersebut. 

Segalanya  tampak sempurna dan indah di atas meja makan tersebut. Mulai dari meja berselimutkan taplak putih yang bagian tepinya berhias renda. Dua poci teh, yang masing-masing terdiri atas 1 poci teh Darjeeling dan 1 poci teh Chamomile. Lalu cangkir-cangkir kecil bermotif bunga yang tertata rapih di  meja sesuai dengan jumlah kursi. Dan tentu saja hidangan lezat yang terhampar penuh di meja, mulai dari kue tart, puding karamel, kue soes, setoples kue kering choco chip, sekaleng biskuit cracker berikut dengan selai kacang dan selai lemon dalam masing-masing mangkuk berukuran sedang, dan juga setoples permen pedas. Sementara di bagian tengah meja, sebuah vas dengan bunga-bunga mawar aneka warna tampak menghias cantik.  

Setelah merasakan ruangan untuk minum tehnya siap, Madam Shortcake untuk kesekian kali mematut dirinya dalam cermin. Memastikan bahwa penampilannya pun pantas dan juga cantik.  

16.00
Ting-Tong

Bel berbunyi. Segera Madam Shortcake melangkah cepat  menuju pintu dan membukanya. Datanglah lima tamu yang telah ditunggunya. Mereka adalah:

Miss Momon
Miss Pinkimos

Miss Grinlif
Lady Wan
Miss Bleka

“Selamat sore, Madam,” salam Momon, ia menekuk kedua kakinya sedikit dan memberi hormat pada tuan rumah. Diikuti oleh keempat tamunya yang lain. Selesai memberi salam pada pada Madam Shortcake, Miss Pinkimos, Miss Grinlif, Lady Wan dan Miss Bleka langsung menuju teras dan mengambil tempat di setiap kursi yang telah disediakan. 

Tapi Madam Shortcake menggamit lengan Momon, ia menahan Momon sebentar sebelum menuju teras untuk jamuan teh sore, “Jadi, Lady Storytelling sungguh tidak bisa datang?”

Momon melihat seberkas ekspresi kecewa di wajah Madam Shortcake, “Tidak, maafkan aku, Madam. Aku sudah berusaha membujuknya, tapi Milady bilang ia sibuk di bulan November ini. Bukan petualangan, tapi menghibur mereka yang sakit,” jeda sebentar lalu Momon melanjutkan, “selain itu, Milady tidak suka dengan pembahasan tema cinta segitiga. Karena menurut Milady, cinta segitiga tidak adil dan pasti ada satu pihak yang akan terluka.” 

“Aku mengerti. Hanya saja debat buku sore ini pasti akan terasa seru apabila Lady Storytelling ikut.” Madam Shortcake lalu melepaskan genggaman tangannya dari lengan Momon dan menunjuk arah teras, “Silakan, Miss Momon.”

Suasana teras sudah ramai oleh percakapan dan gelak tawa saat Madam Shortcake memulai jamuan minum tehnya. Bukan sekedar jamuan minum teh biasa, karena sore ini mereka akan membahas buku percintaan berjudul Fleur. Madam  Shortcake bertindak selaku host dan moderator. 

Madam Shortcake mengambil nafas sejenak, lalu ia bekata, “Baiklah, Nona-nona sekalian dan Lady Wan, karena kita sudah berkumpul semua, jadi silakan nikmati jamuannya dan bahas bukunya.” Madam Shortcake mengambil 1 poci yang berisi teh chamomile dan menuangkannya ke cangkir Lady Wan. “Selain itu, tidak perlu menggunakan bahasa resmi dan kaku, jadikan pembahasan ini santai.”

“Oke, lagian mengapa sok resmi? Kita tidak berada dalam istana raja” sahut Lady Wan acuh tak acuh.

“Dan gue masih bingung, kenapa elo bisa ikutan dalam acara bahas buku ini, Lady Wan,” celetuk Miss Pinkimos. 

“Maksud elo apa?” tanya Lady Wan, heran.

Miss Pinkimos mengambil sekeping kue choco-chip, “Elo kan selalu ngaku kalau elo orangnya logis dan lebih suka cerita yang masuk akal. Gue heran, kok elo bisa ikut masuk klub pecinta novel romens sih?” Miss Pinkimos lalu mencelupkan kue choco-chipnya ke segelas susu. “Maksud gue, yang namanya cinta itu tidak ada logika.”

“Yee, justru karena gue logis dan yang paling rasional, makanya gue harus ikut pembahasan ini,” jawab Lady Wan sambil kipas-kipas. “Menurut gue tuh, cinta yang sehat adalah cinta yang masih bisa menggunakan logika dan akal sehat.”

Miss Grinlif ikut menimpali, “Gue baru tau kalau elo ternyata hopeless romantic juga.  Biasanya kan elo selalu bilang cinta itu lebay dan keju.”

“Iya, emang benar, cinta itu lebay dan keju. Makanya gue ada di sini, mencegah elo orang jadi ikut-ikutan lebay dan keju. Gue adalah pengingat,” ujar Lady Wan dengan pedenya yang diikuti sahutan, ‘wooo’ dari para hadirin lain. 

“Cukup, cukup,” Madam Shortcake menengahi. “Sekarang bahas bukunya, jadi Fleur ini bercerita mengenai kisah cinta antara peri bunga bernama Belidis, Dewa Bumi bernama Fermio dan Dewa Matahari bernama Helras. Tidak seperti peri bunga lain yang bisa menumbuhkan bunga dengan mudah. Belidis adalah seorang peri bunga lemah, hanya untuk membuat sekuntum bunga mekar saja, ia kesulitan. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Dewa Bumi bernama Fermio. Pertemuan mereka tidak biasa, namun pertemuan itu sungguh meninggalkan kesan bagi Fermio dan Belidis. Mereka berdua saling jatuh cinta. 

Dewa bumi memberikan kekuatannya pada Belidis untuk membantunya menumbuhkan pohon-pohon dan bunga-bunga. Sayang, kisah cinta mereka terusik oleh Helras, Sang Dewa Matahari. Helras juga jatuh cinta pada Belidis dan berusaha memisahkan kebersamaan Fermio dan Belidis. Namun baik Fermio maupun Belidis saling bersumpah, meskipun mereka berpisah, mereka akan tetap saling mencintai satu sama lain. Apakah itu di kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang. 

Helras yang cemburu dan marah juga ikut membuat sumpah, ia bersumpah walaupun Fermio dan Belidis saling mencintai sampai kapanpun, mereka tidak akan bisa bersatu. Sebab Helras akan merebut Belidis dari Fermio. 

Akhirnya abad demi abad berlalu. Belidis, Fermio dan Helras telah bereinkarnasi menjadi manusia. Belidis menjadi seorang nona bangsawan berparas jelita bernama Florence, Fermio menjadi George, kakak angkat Florence, dan Helras menjadi Alford Cromwell, seorang bangsawan terpandang yang sangat disegani dan juga tunangan Florence.”

Madam Shortcake kembali mengambil nafas sejenak setelah membacakan kalimat-kalimat panjang tersebut, lalu ia kembali berbicara, “Mulai dari Miss Momon dahulu,” ia mempersilakan tangannya ke arah Momon. “Miss Momon, apa pendapatmu tentang cover buku ini?”

Momon tampak bersemangat, “Covernya cantik. Gambar buku tua dengan background coklat, menyiratkan kesan klasik. Lalu gambar kupu-kupu dan ranting pohon menyiratkan kesan fantasinya.” Ia lalu terdiam sesaat, “Tapi kurang suka sama gambar wajah orang di cover belakangnya. Kesannya jadi seperti romens picisan.”

Madam Shortcake mengangguk, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada tikus dengan telinga pink, “Lalu bagaimana cara penuturan cerita di buku ini menurutmu, Miss Pinkimos?”

Miss Pinkimos menyesap tehnya sebelum menjawab, “Suka banget. Kata-katanya tersusun luwes. Kalimat-kalimat dalam narasinya mengalir lancar. Pokoknya diksinya enak dibaca dan enak didengar,” kemudian ia meletakkan cangkir tehnya di meja, “Begitu pula percakapan dan interaksi antar karakter, seperti emosi, ekspresi. Semua digambarkan dengan jelas”

“Bagaimana dengan karakter-karakternya, Miss Grinlif?” tanya Madam Shortcake kepada Grinlif yang sedari tadi tampak asyik memainkan cream pada kue tartnya. 

Grinlif menoleh ke arah Madam Shotcake, “Aku suka dengan karakter-karakternya, Madam. Kurasa yang jadi kekuatan novelnya lebih karena karakter.”

“Dan karakter favoritku adalah Alford Cromwell. Dia romantis banget tapi…,” ujar Bleka tiba-tiba, membuat perhatian semua orang teralih padanya, lalu raut wajahnya tampak sedih. “Tapi kasihan Alford, seharusnya ada keadilan juga buat dia.” 

Momon, Pinkimos dan Madam Shortcake diam-diam mengangguk. Hanya Grinlif yang tampak tidak setuju. Sedangkan Lady Wan sibuk mengoleskan selai lemon ke biskuit crackernya. 


“Maaf menyela,” tukas Lady Wan tiba-tiba, “tapi sekeren-kerennya karakter Alford Cromwell, harap diingat apa yang dia lakukan pada Florence di halaman 233.” Ia lalu mengambil kepingan biskuit cracker lain dan menaruhnya di atas olesan selai lemon yang lalu membentuk biskuit sandwich cracker. Kemudian ia mencondongkan kepalanya dan berbisik, “Alford memukul Florence hingga lebam. Dan menurutku, sekalipun tunangannya salah, seorang pria tetap tidak boleh melakukan tindakan seperti itu terhadap seorang wanita.”

“Benar,” timpal Grinlif bersemangat. “Seorang gentleman tidak akan melakukan hal tersebut, semarah apapun dia. Seharusnya dia bisa menjaga emosinya. George adalah satu-satunya yang pantas untuk Florence.”

“Tapi Grinlif, aku juga tidak suka kisah percintaan Florence-George,” potong Lady Wan cepat. “Maksudku, mereka kakak-adik. Sekalipun tidak memiliki hubungan darah, tapi euhh bayangkan kakak-adik dan sudah dari kecil bersama-sama. Itu namanya pseudo-incest. Aku tak setuju.”

“Kali ini aku setuju dengan Lady Wan,” jawab Pinkimos. “Mereka kakak-adik. Mengapa harus kakak-adik? Mengapa tidak buat hubungan cinta beda status sosial saja. Lebih enak dan sesuai dengan yang sering terjadi di era Victorian.”


“Benar,” tambah Bleka. “Incest atau pseudo-incest, rasanya seperti membayangkan Miss Momon jatuh cinta dengan saudara kembarnya sendiri, Tuan Monky.

Seketika itu juga teh yang baru masuk ke mulut Momon langsung tersembur keluar. Setelah terbatuk-batuk dan menenangkan diri. Momon langsung menatap jengkel ke arah Bleka, “Gila aja, masa menyandingkan gue sama monyet kurang ajar itu. Seandainya tuh monyet nggak ada hubungan darah sama gue pun, ogah gue disandingin sama dia.”
“Elo kenapa sih? Bete banget sama dia?” Grinlif tampak penasaran. 
Panjang penjelasannya kalau sudah menyangkut hubungan Monky dan Momon. Tapi yang jelas Momon masih jengkel dengan ulah Monky yang menyembunyikan novel-novel romancenya. Kalau saja bukan karena bantuan Lady Storytelling yang mengancam akan membuang buah pisang dari menu makanan mereka, Monky tidak akan mengembalikan novel-novel romance Momon. 

“Udah ah, jangan ngomongin Monky. Merusak suasana aja,” Momon ogah menjawab, wajahnya masih cemberut. 
Madam Shortcake langsung mengambil alih suasana, “Ayo semua, kembali ke topik. Jadi menurut kalian bagaimana ceritanya?”

“Kalau menurutku, akan lebih seru kalau endingnya dibuat sebaliknya. Jadinya akan mirip cerita dengan…,” Pinkimos tampak berpikir. “Apa tuh drama Korea yang waktu itu cowoknya naksir sama ceweknya gara-gara ceweknya berani ninju cowoknya. Padahal tuh cowok kan ditakuti sama semua anak di sekolah karena kaya dan berkuasa.”

“Boys Before Flower!” Momon dan Bleka menjawab serempak. 

“Gue suka tuh film. Romantis,” ujar Momon

“Cowonya ganteng dan seksi,” lanjut Bleka. 

“Tapi pemaksa, tukang perintah, suka seenaknya. Gue lebih suka temannya yang lembut,” protes Grinlif.

Madam Shortcake mengetuk-ngetuk sendok ke meja, “Cukup, kalian OOT. Balik ke topik.”

“Aldis lebih bagus,” gumam Lady Wan. 

Madam Shortcake dan yang lain langsung menoleh ke arah Lady Wan, “Apa yang kau maksud Lady Wan?” 

Lady Wan membuka kipasnya dan mulai mengipas, “Namanya, maksudku. Daripada Belidis, Aldis lebih enak didengar. Belidis mengingatkanku akan unggas dan merek saus sambal. Lagi pula, apa sih keistimewaan si Florence ini sampai diperebutkan 2 pria bangsawan tampan? Aku masih lebih suka karakernya saat menjadi Belidis. Florence terlalu plin plan dan kurang tegas menurutku.”

“Lady Wan,” ujar Pinkimos, wajahnya tampak usil, “elo ngaku aja deh. Benarnya elo ngiri kan sama si Florence ini. Karena dia bisa diperebutkan 2 cowok ganteng, sedangkan elo sudah 3 musim, gagal melulu dapat calon suami potensial.”
Wajah Lady Wan tampak merah padam, namun dengan seketika ia sudah berhasil mengendalikannya, ia membuka kipasnya dan menyembunyikan sebagian wajahnya di kipas lalu memasang ekspresi angkuh, “Dengar yah, gue bukannya gagal mendapat calon suami. Yang benar adalah, banyak yang mendekati gue tapi gue tolak. Karena mereka semuanya di bawah level gue dan tidak sesuai dengan kriteria yang gue idamkan.”

“Memang kriteria calon suami idaman elo, yang seperti apa, Lady Wan?” tanya Bleka. 

Lady Wan menurunkan kipasnya, matanya tampak menerawang, “Kriteria suami yang gue idamkan tuh yang punya tampang ganteng seperti Henry Cavill, senyuman menawan seperti Michael Fassbender, lalu suara menggoda dengan aksen seksi seperti Benedict Cumberbatch dan sifat gentleman seperti Tom Hiddlestone,” wajahnya tampak merona. “Ahhh, gue jadi klepek-klepek sendiri.”
Momon, Grinlif dan Pinkimos tampak bisik-bisik.

“Huh, katanya rasional,” gumam sebuah suara.

“Dan katanya berpikir logis,” ujar sebuah suara lain.

“Kenyataannya nggak waras dan delusional,” timpal suara lain lagi.

Lady Wan kesal dan langsung merauk beberapa permen pedas dan melemparnya ke arah Momon, Pinkimos dan Grinlif yang sedang berbisik-bisik.

Dentingan suara sendok diketuk kembali terdengar, “Balik ke topik,” hardik Madam Shortcake. Lalu ia memulai percakapan, “Aku setuju dengan pendapat Lady Storytelling mengenai cinta segitiga,” ia menoleh dan mengangguk pelan ke arah Momon, “cinta segitiga itu tidak adil dan pasti ada salah satu pihak yang akan terluka.”

“Padahal, padahal, si Alford sudah berbicara seperti ini pada Florence,” sambung Bleka

“Florence, apa kau mencintaiku atau tidak, aku tidak ambil pusing. Aku menginginkanmu, dan itulah yang terpenting bagiku.”

“Jika ada satu hal, hanya satu hal saja di dunia ini, yang bisa membuatku terpisah darimu, apa pun itu, aku akan menggunakan segala cara yang kupunya untuk membuatnya musnah.” ~hal. 127

“Aku tidak khawatir akan pernikahan, Aku khawatir akan rasa dingin di antara kita.” ~hal. 181

Pinkimos ikut menambahkan, “Aku setuju.Seperti yang Alford sendiri bilang di hal. 270, mengapa semua menganggapnya sebagai orang yang jahat? Ia hanya memperjuangkan apa yang semua orang perjuangkan. Ia memperjuangkan cintanya.”

“Ia seperti Loki di film Thor: The Dark World, karakter yang rumit, tapi banyak groupie dan fangirlnya,” desah Grinlif. 

“Aku juga suka dengan Loki,” Momon tampak bersemangat kembali. “Mereka harus membuat film tersendiri tentang Loki.”

“Jangan mulai OOT, ini peringatan terakhir” Madam Shortcake tampak jengkel. 

“Jadi akhirnya Alford ini belajar arti cinta sejati, seperti Dear John?” tanya Lady Wan

“Dan jangan berspekulasi yang menimbulkan spoiler dan OOT lagi,” pertanyaan Lady Wan langsung ditutup oleh Madam Shortcake. “Hari sudah nyaris gelap, langsung saja kita tutup, berapa bintang?”

“Tiga bintang,karena ceritanya terlalu banyak didramatisir” jawab Lady Wan.

“Empat bintang, suka cerita dan endingnya,” jawab Grinlif.

“Empat bintang, suka dengan Alford yang keren,” jawab Momon.

“Gue setuju dengan Momon,” jawab Pinkimos

“Dua bintang. Karena nggak adil buat Alford, jawab Bleka.

Lady Wan, menatap Bleka, “Dua bintang tidak adil. Penuturan dan plotnya sudah oke. Kalau soal cerita, gue juga ngga setuju sih, tapi nggak sampai 2 bintang lha.”

“Lagian kalau alasan elo kasih 2 bintang karena alasan OTP elo nggak canon, bikin aja fanficnya sendiri,” sambung Grinlif sambil menuang tehnya ke cangkir. “Banyak kok fanfic yang sukses, contohnya Lima Puluh Semburat Kelabu. Elo bisa buat si Alford jadi Christian Grey. Cocok kan sama-sama cowok alpha male posesif.”

“Ih, enak aja, elo samain Alford sama si Grey yang itu,” tukas Bleka jengkel.

“CUKUP! Aku bilang jangan ada OOT lagi!” Madam Shortcake menggebrak meja. Ia jengkel dengan semua obrolan OOT dari para tamunya. Sementara para tamu lain tampak kaget. Mereka belum pernah melihat Madam Shortcake marah.

Madam Shortcake lalu mengambil nafas dan menghembuskannya. Ia memejamkan mata dan kembali memasang ekspresi tenang, “Baiklah kukira yang adil adalah tiga setengah bintang. Bagaimana, kalian setuju?”

Para tamunya kali ini tidak ada yang berbicara. Mereka kanya mengangguk-angguk tanda setuju. 

Usai sudah, jamuan minum teh sore. 



Disclaimer : http://emoticoner.com/

BOOK REVIEW: WHY ALWAYS ME

✭✭✭½
Judul Buku : Why Always Me
Pengarang : Orinthia Lee
Penerbit : de TEENS (Diva Press)
Editor : Rina
Jumlah Halaman : 220 Halaman
Segmen : Remaja
Genre : Teenlit
Special Note : Hadiah giveaway dari Biondy dengan special tanda tangan dari Orinthia Lee
“Hal yang paling menakutkan di dunia ini adalah kebohongan”

Setiap orang yang melihat Bianca, pasti akan berkata dia gadis yang cantik dan imut. Bianca memiliki kulit putih pucat, rambut hitam lurus dan mata besar berbentuk setengah lingkaran, membuat parasnya terlihat elok seperti boneka. Namun sayangnya dibalik penampilan luarnya yang elok, hal tersebut tidak diikuti dengan kepribadiannya. Bianca menyimpan banyak kepahitan dan kemarahan dalam kehidupannya, sehingga membuat emosinya cenderung meledak-ledak. Baginya lebih baik berkata jujur dan blak-blakan daripada berbohong. 

Gara-gara sifat galaknya itu, banyak teman-teman sekelasnya tidak suka dengan Bianca. Hanya Anne, satu-satunya orang yang memahami dan tahan menghadapi sifat judes Bianca. Namun suatu hari akibat kesalahpahaman, Anne pun menerima tusukan dari mulut tajam Bianca dan kali ini tusukan tersebut benar-benar melukai hatinya dan membuat Anne memusuhi Bianca. 

Bianca selama ini tidak pernah peduli dengan ucapan yang keluar dari mulutnya, namun ia sadar bahwa apa yang ia katakan terhadap Anne sangat keterlaluan. Tapi Bianca terlalu gengsi untuk meminta maaf pada Anne, jadi bagaimana kelanjutan persahabatan mereka? Akankah tersambung kembali atau justru selamanya berakhir?

My thought :

Sudah lama saya nggak baca teenlit dan sejujurnya bahkan saat remaja pun saya jarang baca teenlit. Kalaupun baca teenlit, biasanya ada embel-embel fantasi. Selain karena saya emang udah lewat dari masa teen, cerita-cerita dalam teenlit biasanya agak keju atau ringan untuk selera saya. Kenapa sih Lin, elu demen banget yang kelam, masokis dan angst. Elu mau saingan sama Bianca dalam hal kepahitan?

Sebelumnya, saya ucapkan selamat untuk Orinthia, atas kelahiran anak pertamanya, hehehe, maksud saya buku pertamanya. Menulis itu bukan hal mudah, selain ide dan ngayal juga perlu ketekunan dan fokus, karena itu saya ucapkan selamat dulu kepada Orin karena sudah berhasil menerbitkan buku pertamanya. Semoga terus produktif dan saya nantikan buku selanjutnya. 

Saya mulai dari yang saya suka dulu mengenai WAM :
  1. Penuturannya. Saya suka cara penulis merangkai kalimat demi kalimat yang terasa simpel dan down to earth dalam Why Always Me. Gaya bahasanya sederhana khas remaja dan juga apa adanya sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tidak ada kalimat yang terkesan dilebih-lebihkan. Tatanan kalimat terasa enak saat dibaca dan prosa pun cukup mengalir dengan luwes. 
  2. Karakterisasi. Ada 3 POV di sini. Yaitu POV Bianca, Anne dan Irina. Semuanya memakai 1st person POV, tapi kentara sekali penulis sudah  sangat menguasai dan paham dengan para karakternya. Meski sama-sama memakai 1st POV, tapi terlihat jelas perbedaan mereka semua. Bianca yang cenderung lugas dan tanpa basa-basi. Sedangkan Anne terkesan lembut dan simpatik. Sementara si kecil Irina (dari semua karakter, fave saya adalah Irina) itu polos namun di satu sisi juga terasa mature. Menurut saya, buku ini salah satu buku yang berhasil mengeksekusi penggunaan multiple 1st person POV.
  3. Cerita sederhana tanpa muter-muter tapi tidak melupakan unsur emosi.  

Nah, sekarang sedikit harapan saya saja sih untuk cerita ini :

  1. Saya suka unsur persahabatannya, tapi saya kurang suka unsur romensnya. Dan saya berharap ada lebih banyak unsur drama keluarga. Alasan saya tidak suka unsur romensnya bukan karena saya tidak suka romens, saya justru suka romens, tapi sepertinya buku ini akan lebih terasa feelnya bila fokusnya lebih ke drama keluarga dan persahabatan. Selain itu Travis terlalu sempurna di mata saya dan saya merasa Travis kurang believable. Dia sepertinya terlalu baik, pengertian, nrimo dan tidak sombong #eh. Saya sebenarnya bingung apa yang membuat Travis bisa suka dengan Bianca, lha sebagai pembaca aja, kadang-kadang saya sebel sama dia. Maap yah, tapi saya ngga percaya cinta pada pandangan pertama, biasanya ada sesuatu yang membuat kita suka dan sebaliknya, ilfil dengan seseorang. Lain ceritanya kalau memang sudah dalam tahap hubungan serius, saya ngerti kalau logika sudah tidak bisa dipercayaSoal masalah pendeskripsian fisik Travis yang terlalu gampang, saya sepakat sama teman-teman yang lain.
  2. Ignorant Mother? Ini mungkin perasaan saya saja, tapi saya merasa peran mama Bianca di dalam buku ini hanya sebagai plot device terutama untuk bagian pendahuluan. Jujur saja, saya masih inget pertanyaan Biondy untuk GA buku ini, yaitu apakah kamu pernah punya teman yang mulutnya setajam Bianca (kurang-lebih)? jawaban saya, “sejauh ini kalaupun kenal tapi tidak separah Bianca dan bukan teman dekat, malah mungkin sayalah yang kalau lagi marah mulut saya bisa tajam seperti Bianca, karena dari dalam, emosi saya ini cenderung meledak-ledak dan tipe yang forgive but not forget.” Tenang, saya sudah belajar untuk mengontrol emosi. Oke, balik ke peran seorang mama dalam pembentukan karaker anak. Tapi mamanya Bianca ini apa tidak pernah menegur anaknya untuk lebih menjaga lidahnya? yang saya tangkap cuma Anne saja yang suka menasehati Bianca soal itu, Karena jujur, mama saya saja selalu ingetin saya untuk jangan galak dan hati-hati kalau berbicara, nanti orang bisa tersinggung dan sakit hati. Oke, saya stop curhat di sini. Kan mamanya pasti tahu perlakuan Bianca sama mboknya di rumah, tegur dan omelin donk anaknya supaya bisa lebih jaga ucapan. Saya berharap lebih ada unsur hubungan ibu-anak di sini. 
  3. Balik ke point nomor 1, kadang kala saat saya lagi asyik masuk ke konflik keluarga, macam kejadian Bianca saat ketemu sama papanya di bonbin, tiba-tiba konflik itu berakhir cepat dan meluap begitu saja, lalu secara kebetulan bisa ada Travis, yang menurut saya malah bikin tensi turun. 
  4. When Bianca met Irina. Saya merasa agak janggal baik secara situasi maupun faktor kekerabatan dalam keluarga Bianca. Aneh saja bagi saya kalau Bianca tidak tahu siapa Irina, mengingat mereka itu kan…. dan apakah hal ini karena mamanya terlalu ignorant  untuk menjelaskan pada Bianca? Trus reaksi Bianca saat ketemu Irina, kalau saya mungkin pertama tanya sama Irina dan kalau belum ada jawaban, saya nggak akan push Irina, tapi saya akan tanyakan langsung ke orang rumah, “Ini siapa?” Tapi sekali lagi, saya dan Bianca kan berbeda, tentu reaksi saya dan dia terhadap orang asing berbeda. 
  5. Kalimat metafora/hiperbolis yang justru mengacaukan feel. Di halaman 197, harusnya kan feelnya sedih, cuma gara-gara kalimat, “air mataku seperti air bah yang mengalir tanpa henti,” saya malah pengin ketawa.  

Notable Quote : 

“Aku tidak pernah memikirkan perasaan orang-orang yang kubentak karena aku merasa akulah yang benar.” ~hal.171


Sampai sini dulu, sebenarnya buku ini mau saya sertakan untuk Posbar anak-anak BBI sebagai baca bareng bertema buku penulis baru atau debut yang memang menjadi tema untuk bulan Oktober. Cuma berhubung buku selanjutnya Orinthia akan segera keluar, mungkin sudah tidak termasuk kategori debut penulis baru yah 😛