THE YEARLING: EMOTIONAL, INTERESTING & BORING IN THE SAME TIME

Judul: The Yearling
Pengarang: Marjorie Kinnan Rawlings
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Desain dan ilustrasi cover: Ratu Lakhsmita Indira
Jumlah halaman: 504 Halaman
Cetakan 1, Maret 2011
Segmen: Anak-anak, semua umur
Genre: Classic-lit, historical fiction, children book
Harga: Rp 38.500 (40% off at Gramedia)
Rate: ★★★★

“Hutan, berburu, beruang, rusa, makanan, daging, semak jagung, pelaut dari Boston,  lelaki-lelaki tinggi besar yang seperti beruang dan bertahan hidup.”

Nun jauh di sana, di sebuah hutan rimba, hiduplah satu keluarga kecil yang dikenal sebagai keluarga Baxter. Keluarga Baxter terdiri dari Pa dan Ma Baxter, serta putra tunggal mereka Jody. Keluarga Baxter tidaklah kaya, mereka bahkan bisa dikatakan miskin. Meski miskin, keluarga Baxter selalu dapat menjaga diri mereka agar tidak sampai kelaparan. Untuk dapat bertahan hidup keluarga Baxter harus bekerja keras setiap harinya. Mulai dari bertani dan menanam biji-bijian hingga berburu hewan liar di sekitar hutan. 
Hidup jauh di dalam hutan, membuat keluarga Baxter tidak memiliki tetangga di sekitar mereka. Satu-satunya tetangga terdekat mereka adalah keluarga Forrester yang pria-prianya bertubuh besar dan juga beringas. Tapi keluarga Baxter menjalin hubungan baik dengan keluarga Forrester hingga suatu peristiwa membuat hubungan mereka renggang. Peristiwa apakah itu?

Sebagai satu-satunya anak tunggal dalam keluarga Baxter, Jody kerap kali dihinggapi kesepian. Meski mendapat kasih sayang berlimpah dari sang ayah, Jody menginginkan seorang teman yang bisa diajak berbagi dan menemaninya bermain. Hingga suatu hal membuat Jody menemukan seekor anak rusa di hutan. 


Nah sekarang opini gue:

Saya punya kebiasaan kalau habis baca buku tentang hewan atau menonton film tentang hewan, saya suka ikut-ikutan kepengen punya binatang peliharaan, Misal sehabis menonton How To Train Your Dragon, saya jadi kepengen memelihara errr naga 😛

Nah sehabis baca buku  ini, saya jadi kepengen memelihara anak rusa. 😀

Ok, lupakan soal binatang peliharaan, balik ke review. Sejujurnya saya bingung kalau harus menceritakan isi buku ini, karena ceritanya lebih seputar mengenai kehidupan sehari-hari keluarga Baxter dalam bertahan hidup di hutan. Tidak ada plot seperti si baik lawan si jahat, kabur dari penjara, dll.

Untuk kesannya sendiri, persis seperti yang saya tulis di judul atas. Menarik, emosional tapi juga membosankan.

Saya akan mulai dari menarik, cerita menarik karena penuturan penulis yang begitu kaya detil akan deskripsi, saat membaca bukunya, saya seolah seperti berada di hutan lengkap dengan kesunyian dan aroma hutan. Semua detil hutan, seperti cuaca, angin, aroma daun dan tanah, hingga bagaimana pohon-pohon dan hewan-hewan bergerak, semua detil dijabarkan dengan begitu rinci seolah tak ada celah yang terlewati. Bahkan saat berburu pun, penulis begitu runut memaparkan setiap adegan yang terjadi di sekelilingnya dan sukses membuat saya merasa ikut tegang saat mengikuti Jody dan ayahnya berburu Slewfood tua.

Emosional, penulis bukan hanya kaya dalam memaparkan deskripsi visual, tapi juga detil dalam menuturkan adegan-adegan yang berhubungan dengan emosi. Misal kematian salah seorang teman Jody dan yang terutama hubungan Jody dan ayahnya. Atau bagaimana reaksi stress ayah dan ibu Jody saat hasil panen mereka hancur atau bila mereka gagal mendapat buruan. Dari sini penulis dengan tegas menyatakan, betapa mengerikannya kelaparan itu. Dan puncaknya mungkin hubungan Jody dan Flag, si anak rusa.

Membosankan, nah ini mungkin selera. Kalau saja kondisi saya tidak dikejar timbunan dan kesulitan bagi waktu antara fokus baca atau hal-hal lain, saya mungkin lebih bisa menikmati buku ini. Buku klasik itu biasanya mempunyai deskripsi yang panjang lebar, bahkan deskripsinya saja bisa sebanyak 1 paragraf  dan 1 paragrafnya itu bisa 1 halaman full, misal seperti di halaman 409. Sementara sekarang ini, saya lagi coba membaca ‘cepat’, dan baca ‘cepat’ itu agak kurang cocok dengan buku yang ‘kaya deskripsi’ atau ‘permainan diksi’. Satu hal lagi yang membuat bosan adalah plot yang lambat. Rasanya untuk mencapai plot berikutnya, penulis mengajak pembaca untuk ‘muter-muter’ dulu, jadinya sudah membuat saya capek duluan, karena plot muter-muternya membuat saya kehilangan ‘ikatan’ dengan ceritanya.

Karakter.

Karakter favorit saya di sini adalah Pa Baxter atau Penny Baxter. Rasanya saya akan menominasikan Penny sebagai book father tahun ini. Bahkan Penny mungkin salah satu tokoh ayah paling bijak yang pernah saya baca. Saya kagum, walaupun serba kekurangan, Pa Baxter sama sekali tidak serakah dan hanya mengambil sesuatu sesuai kebutuhan.

Sedangkan untuk Jody, kalau menurut saya ia agak manja. Hehehehe, tapi wajarlah masih kecil, di buku tidak pernah diberitahu umur Jody yang sebenarnya, tapi saya menebak mungkin usianya antara 11-13 tahun.

Eniwei, saya berpikir, sebenarnya tema atau inti buku ini tentang apa sih? Apa tentang bertahan hidup? Setelah selesai baca, sepertinya bisa masuk tentang kedewasaan. Terkadang untuk dewasa kita harus melewati banyak hal-hal yang menyakitkan dahulu baru kita dapat memahaminya. Selain itu saya juga bersyukur hidup di era teknologi yang serba praktis, asli tidak terbayang deh kalau harus tinggal di jaman di mana segala sesuatunya serba manual. Saya ingat, paling jengkel kalau mati lampu, karena pompa air jadi tidak berfungsi dan untuk mandi, saya terpaksa menggotong air pakai ember dari bak ledeng.

Selain itu, enaknya jaman sekarang, kita juga punya banyak sarana hiburan. Bayangkan dengan jaman di mana Jody hidup dan tinggal yang pilihannya serba terbatas, tak mengherankan masyarakatnya tampak antusias saat ada orang lain yang bercerita mengenai sesuatu, meskipun sesuatu itu terkadang biasa saja.

Favorite quote:

“Tidak ada hikmah. Manusia hanya perlu ingat untuk rendah hati karena tak ada apa pun di bumi yang bisa dia anggap miliknya sendiri.” ~hal. 280

“Kita tidak pernah tahu apa yang kita inginkan sampai sudah terlambat untuk mendapatkannya.” ~hal 408 

BTW, baca review Indah juga di sini, niatan awal mau baca bareng Indah dan Riri (My Heaven on Earth), ternyata sayanya tidak bisa fokus untuk selesai tepat waktu.  Entah mengapa akhir-akhi saya merasa begitu monoton dalam mereview.

Buku ini saya sarankan bagi mereka yang suka buku-buku klasik dan anak-anak ataupun buku-buku yang mengambil setting klasik.

Review ini juga untuk RC:
– Lucky No 14 Reading Challenge: Chunky Brick

THE WITCH’S GUIDE TO COOKING WITH CHILDREN: RETELLING OF HANSEL AND GRETEL WITH 80% SIMILARITIES.

Judul: The Witch’s Guide To Cooking With Children
Pengarang:  Keith McGowan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Tanti Lesmana
Jumlah halaman: 192 halaman
Cetakan 1, Juni 2012
Segmen: Anak-anak
Genre: Fantasi, retelling fairy tales
Harga: Rp 15.000 (beli di obralan Gramedia)
Rate: ★★★

Solomon dan Constance, atau lebih sering disebut Sol dan Connie adalah kakak beradik yang baru pindah ke kota Schoneberg. Sol, anak cerdas berusia 11 tahun yang menyukai sains, sedangkan adik perempuannya Connie menyukai hewan dan sangat cerdik. 

Di kota itu, secara tak sengaja mereka bertemu dengan Fay Holaderry dan anjingnya, Swift. Meskipun Fay bersikap ramah terhadap kedua anak tersebut, namun ada sesuatu yang menggangu Sol. Ia curiga, tulang yang dibawa oleh anjing Fay, bukanlah tulang hewan, melainkan tulang manusia. 

Bersama-sama, Sol dan Connie berusaha menyelidiki siapa sebenarnya Fay. 

Apakah ada yang pernah menonton serial TV Once Upon a Time yang biasa tayang di TV kabel, tepatnya di channel StarWorld? Cerita dalam buku ini agak-agak mirip konsepnya dengan serial TV Once Upon a Time. Setting modern yang berpadu dengan karakter-karakter dan cerita dari dongeng. Dalam buku ini, dongeng yang diambil adalah Hansel and Gretel karya Grimm bersaudara. 
Sejak awal, penulis sudah memberi tahu, kalau awal kisah ini bermula dari Hansel dan Gretel, karena itu ceritanya pun tidak jauh-jauh dari penyihir yang suka memakan anak-anak, hanya saja tokoh anak-anaknya di sini bukan Hansel dan Geretel tapi Sol dan Connie. Cerita dalam buku ini sejujurnya tidak terlalu menawarkan retelling yang berbeda dengan kisah aslinya. Bila boleh saya sebutkan 80% plot ceritanya mirip, hanya setting dan beberapa karakternya yang berbeda. 
Karena itulah, untuk saya pribadi membacanya terasa datar-datar saja. Penuturannya sendiri lumayan menarik, namun karena saya sudah tahu kisah Hansel dan Gretel, jadinya saya sudah bisa menebak jalan ceritanya (ya, kan namanya juga re-teling) tapi retelling sekalipun bisa dibuat sangat berbeda dengan akhir yang penuh twist
Satu-satunya hal yang saya suka dari cerita ini adalah hubungan kakak-beradik antara Sol dan Connie. Sol yang meski terkesan cuek tapi sangat menyayangi dan peduli pada sang adik, sedangkan Connie yang bandel dan terkadang suka berbuat licik pada kakaknya sendiri, namun ujung-ujungnya tetap selalu mengandalkan sang kakak.

Salah satu dialog Sol terhadap adiknya, Connie yang saya suka adalah:

“Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Tapi itu tidak berarti aku tidak akan menolong dan melindungimu.” ~hal 174

Untuk karakter-karakternya sendiri, semuanya tipikal. Walau sejujurnya, saya penasaran dengan si penyihir. Untuk karakter anak-anak, saya hanya suka Sol. Connie terlalu bandel, hehehe. 

Moral dari buku ini bukan bagaimana cara mengalahkan penyihir tapi tak peduli meskipun kau sering bertengkar dengan saudaramu, tetapi sesama saudara harus saling mengandalkan dan tolong menolong di masa-masa sulit.

Review saya singkat saja, karena bukunya sendiri juga tipis dan ceritanya cenderung lurus. Kalau pun ada yang mau saya keluhkan adalah cetakan ilustrasi dalam buku yang terlalu gelap.

Reviewed by:

This review also for RC: 

AFTER D-100: LESSON ABOUT LIFE AFTER MARRIAGE

Judul: After D-100
Pengarang: Park Mi Youn
Penerbit: Haru
Penerjemah: Putu Pramania Adnyana
Penyunting: O Lydia Panduwinata
Cover Designer & ilustrasi: Bambang Gunawan
Proofreader: Dini Novita Sari
Jumlah halaman: 382 halaman
Cetakan pertama, Juni 2013
Segmen: Dewasa
Genre: Domestic romance, drama, realistic fiction
Special note: Thanks to Dinoy atas hadiah GAnya. 
Harga: Rp 63.000, bisa dibeli di owl bookstore
Rate: ★★★½

Namaku Kang Gyung Hee. Aku telah menikah selama 2 tahun dengan suamiku. Selama ini kukira kehidupan pernikahanku baik-baik saja, sampai aku menemukan rahasia ‘itu’. Rahasia yang membuat kehidupan pernikahanku hancur berantakan. Teganya suamiku melakukan hal itu kepadaku. Selama ini aku selalu mencintainya sepenuh hati, bahkan aku rela menerima perlakuannya yang terkadang dingin padaku, tapi perbuatannya kali ini sungguh tak termaafkan dan telah menyadarkanku satu hal. Tunggu saja setelah 100 hari, akan kuberikan kejutan pada suamiku. Aku akan mengajukan cerai.

Namaku Lee Jung Chul. Semua orang selalu mengira kehidupanku sempurna. Secara fisik, aku tinggi dan tampan. Secara sosial, aku mapan karena aku seorang direktur. Kehidupan pernikahanku juga baik-baik saja sampai istriku mengetahui rahasia ‘itu’. Rahasia yang selama ini selalu kusimpan rapat-rapat. Aku selalu mengira cinta istriku sudah cukup untuk membuat pernikahan kami bertahan, namun ternyata aku salah.

Domestic romance. Itulah genre utama buku ini jika ada yang bertanya. Apa itu domestic romance? Romance yang membahas pada seputar hubungan suami-istri. Ini adalah buku karya penulis Korea ketiga yang saya baca. Berbeda dari 2 buku K-Lit sebelumnya yang ceritanya cenderung manis. After D-100 lebih terasa bittersweet atau manis pahit dan emosional. Saya tidak bisa berkomentar terlalu banyak mengenai ceritanya karena akan berpotensi menimbulkan spoiler. Namun saya menyarankan buku ini dibaca bagi mereka yang penasaran akan kehidupan setelah menikah, sekalian untuk menambah wawasan.
Masalah utama rumah tangga yang diangkat di sini adalah ketiadaan anak yang tak kunjung muncul setelah 2 tahun menikah, lalu konfilk mertua-menantu juga sering terjadi. Belum lagi kemunculan orang ketiga seperti Mina dan In Sik, walaupun menurut saya, kemunculan mereka masih sebatas bumbu saja dan tidak sampai jadi ancaman karena porsi mereka sangat sedikit. Meskipun masalah-masalahnya terdengar klise tapi saya suka gaya penuturan penulis yang seperti membaca buku harian dengan sudut pandang orang pertama yang sering  diselingi umpatan sarkasme dari Gyung Hee. Untuk hal ini, saya acungkan jempol terhadap terjemahannya yang ngalir.
Dari sisi budaya sendiri, Korea sama seperti negara Asia pada umumnya. Saat seseorang menikahi pasangannya, maka ia juga menikahi keluarganya. Di sini saya mengetahui kalau di Korea, mas kawin disebut Honsu dan biasanya Honsu itu dipersiapkan oleh pengantin wanita sebelum menikah. Pihak lelaki biasanya menyiapkan rumah dan pihak wanita menyiapkan seluruh isinya. Dan satu hal yang saya suka dari buku-buku K-Lit, adalah unsur keluarga yang terasa begitu kental, biasanya yang menyangkut hubungan keluarga inti seperti anak-orang tua atau adik-kakak. 
Beberapa konflik penuh emosi dipertengahan cerita sempat membuat saya merasa sedikit bosan, karena feelnya terasa panas terus, namun di satu sisi saya juga menikmati drama keluarganya, di mana keluarga Gyung Hee mulai dari ayah, ibu dan ketiga kakaknya kompak membela Gyung Hee ketika ia sedang menghadapi masalah rumah tangganya meski caranya berbeda.

Berikut ini adalah sedikit kutipan yang saya suka dari buku ini. Ada yang petuah nasehat, ada yang romantis.

“Bukankah sangat egois jika kita mengabaikan hati orang lain yang hancur karena luka di hati kita sendiri semakin membaik? Meskipun terkadang kita merasa luka yang kita alami inilah yang paling menyakitkan, bukankah kita juga harus tetap peduli dengan kesakitan yang dialami oleh orang lain?” ~hal. 214

Dan yang satu ini sangat manis:

“Kau tahu tidak, kalau aku mengingat kehidupan kita dulu, aku dulu sangat bahagia. Selama dua tahun itu, aku merasa bahagia karena kau ada di sisiku. Setiap hari kau menyiapkan makanan untukku, tidur bersama, nonton TV bersama, jalan-jalan bersama. Hal-hal sepele seperti itu terasa sangat istimewa bagiku dan aku tidak ingin menghancurkan semua itu. Rasa egoiskulah yang membuatku membohongimu. Aku tahu. Aku telah membohongimu. Meskipun aku tahu kau menderita, aku tetap ingin membuat orang lain iri dengan kehidupanku, sehingga semakin membuatmu merasa sakit. Cinta, aku masih tidak tahu tentang itu. Akan tetapi, aku rindu dengan masa-masa yang kuhabiskan bersamamu. Kalau kau juga masih merindukan saat-saat itu, datanglah kembali padaku.” ~hal 288.

Moral dari buku ini adalah, pentingnya suatu komunikasi dan kejujuran dalam pernikahan dan ingatlah inti dari menikah adalah menjalani suka dan duka bersama-sama, bukan hanya ditanggung oleh masing-masing pasangan. Sukacita suami adalah bahagia istri dan dukacita istri adalah kesedihan suami. BTW, karena ini domestic romance, ada sedikit adegan intim di atas ranjang khas suami istri, karena itu segmen pembaca buku ini adalah dewasa.

Imaginery cast
Sejujurnya, saya tidak punya karakter favorit dari buku ini, setiap karakter tidak ada yang sempurna dan semua tercipta sesuai kebutuhan cerita, bukan untuk menjadi idola, namun tetap saja membaca buku ini serasa seperti menonton drama Korea yang sarat emosi. Karena itu saya coba membayangkan beberapa aktor Korea yang berperan sebagai Gyung Hee, Lee Jung Chul dan juga Jung Woo, sahabat Gyung Hee. 

Kang Gyung Hee, sejujurnya agak susah cari aktris perempuan berusia 24 – 28 tahun untuk memerankan Gyung Hee, karena yang terkenal  itu banyaknya nuna-nuna mid-thirties, heheheh. Tapi akhirnya saya ketemu 1 yang namanya agak mirip sama sang penulis sendiri, yaitu Park Min Young. Saat senyum, ekspresinya tampak ceria dan saat sedih, begitu sendu.

Untuk pemeran cowoknya, berhubung sang suami digambarkan sudah berumur matang, 33 tahun, maka saya memilih semua aktor yang di atas 30 tahun. Dan entah kenapa terbayangnya cuma Kwon Sang Woo aja, mungkin karena wajah tampannya yang melankolis, cocok akan karakter Lee Jung Chul.

Dan terakhir pemeran Jung Woo, sahabat Gyung Hee yang lucu, suka ngedumel tapi setia, saya rasa aktor Kim Young Kwang, cocok untuk memerankannya.

Saya sebenarnya ingin memberi rating 4 bintang untuk cerita dengan akhir yang bitter-sweet ini, hanya saja saya merasa beberapa bagian dalam cerita  terlalu panjang dan berlebihan yang akan terasa lebih baik bila diringkas. Final rate 3.5. stars. Eniwei, cerita ini cocok dibaca bagi mereka yang juga mempunyai masalah yang sama dengan pasangan Gyung Hee – Jung Chul, yaitu kemandulan.

Reviewed by:

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: SIMPLE AND FUN STORY

Judul: How To Train Your Dragon
Pengarang: Cressida Cowell
Penerbit: Mizan Fantasi (Mizan Group)
Penerjemah: Mutia Dharma
Editor: Maria Masniari Lubis
Proofreader: Ela Karmila
Jumlah Halaman: 254 Halaman
Cetakan 2, Juni 2010
Segmen: Anak-anak, semua umur
Genre: Fantasi. humor
Harga: Rp 22.500
Rate: ★★★½

Lady Storytelling berjalan mondar-mandir mengelilingi ruangan. Tap tap tap, dari kiri ke kanan lalu tap tap tap balik lagi dari kanan ke kiri. Suara ketukan sepatunya menjadi satu-satunya irama dan juga suara yang terdengar dalam ruangan seluas seperempat lapangan sepakbola tersebut. Suasananya memang tenang tapi jauh dari kata santai, sebaliknya ketegangan seolah terasa begitu kental. Sesekali ia menengok ke sebuah keranjang rotan yang berada tepat di tengah-tengah ruangan tersebut. 
Sementara itu merapat di dinding ruangan tersebut,  seekor monyet berbulu coklat dan sesiung bawang putih tampak merunduk tegang, si monyet coklat yang bernama Monky dan temannya si bawang putih yang bernama Oniyon terlihat pasrah seperti menunggu vonis pengadilan. 
“Ini tak bisa diterima!” ujar sang Lady yang tampak gusar. 
“Bagaimana mungkin kalian membawa naga sekecil itu padaku?” hardik sang Lady pada Monky dan Oniyon. 
“Milady, meski kecil, naga tersebut kuat dan gesit,” jawab sang monyet membela diri. 
“Benar, ukuran itu relatif dan seharusnya tidak menjadi masalah, kami yakin naga tersebut kuat dan perkasa,” timpal Oniyon. 
“Monky, Oniyon,” sang Lady berusaha tetap menjaga nada suaranya. “Apakah kalian tahu, bahkan naga yang kalian bawa berukuran lebih kecil daripada Kitten, bisa bayangkan lebih kecil daripada anak kucing?”
Oniyon kembali menjawab, “Milady, itu karena naga tersebut masih anak-anak. Kami yakin naga tersebut akan tumbuh menjadi raksasa saat dia sudah besar nanti.”
Lady Storytelling menghentikan kegiatan mondar-mandirnya dan menghampiri kedua anak buahnya. Ia lalu mengeluarkan sepucuk surat dari saku baju berkudanya dan mengacungkan surat tersebut kepada Oniyon dan Monky. 
“Kalian tahu, sebentar lagi kontes naga tahunan akan kembali diselenggarakan. Dan kali ini aku akan ikutan, karena itu aku butuh naga agar bisa mengikuti kontes. Tapi jika mereka melihat naga sekecil itu,” ia lalu menunjuk ke arah keranjang, “aku pasti akan jadi bahan lelucon. Dan aku juga bosan melihat Dany selalu memenangkan kontes naga tahunan.”
Monky berbisik kepada Oniyon, “Tak ada yang bisa mengalahkan Daenerys Targaryen selama 7 tahun berturut-turut.”

Source

“Benar, ia mendapat julukan ibu para naga bukan tanpa alasan, bahkan bila Lady kita memiliki naga yang lebih besar pun, kurasa tetap tak mampu menggoyahkan popularitas mama naga,” Oniyon mengangguk-angguk setuju. 

“Jangan berbicara seolah-olah aku tak mendengar,” hardik sang Lady, lalu ia menjewer Monky dan mencubit pipi Oniyon. “Ini bukan soal kalah atau menang, tapi tampil mengesankan.”

“Ampun, Milady, tapi hanya inilah naga yang bisa kami pinjam, anak-anak Viking yang lain tidak ada yang bersedia meminjamkan naganya pada kami,” jawab Oniyon dengan merana.

Monky melanjutkan, kali ini tampak marah, “Kami nyaris babak belur dihajar oleh anak-anak barbar itu, Milady.”

Lady Storytelling mengamati Monky dan Oniyon, “Lalu bagaimana kalian akhirnya bisa mendapatkan naga? Siapa yang akhirnya meminjamkannya?” dan sebelum Monky atau Oniyon sempat menjawab, ia kembali menegaskan, “Aku tidak ingin dengar mengenai pencurian.”

Monky langsung menggelengkan kepalanya cepat, “Seorang anak Viking bernama Hiccup akhirnya bersedia meminjamkan naganya kepada kami. Ia memang tampak berbeda dari anak-anak Viking lainnya.”

Lady Storytelling tampak penasaran, “Berbeda bagaimana?”

“Untuk ukuran anak-anak Viking yang biasanya berbadan besar. Si Hiccup ini kurus, ceking, kerempeng. dan tidak suka berkelahi,” jawab Oniyon.

“Dengan kata lain, dia cukup beradab untuk ukuran orang-orang barbar,” lanjut Monky.

Sementara itu tidak ada yang menyadari, kalau si naga kecil yang dari tadi dibicarakan, mendadak sudah bangun. Si naga lalu terbang menghampiri Lady Storytelling, Monky dan Oniyon, ia berusaha menarik perhatian mereka dan membuka mulutnya, “Wakikki guguga kapaarrr.”

Sang Lady, Monky dan Oniyon langsung menoleh ke arah si naga. Sementara si naga tampak terbang sambil menunjuk perutnya lalu membuka mulutnya.

“Dia sudah bangun,” sang Lady tampak waswas.

“Apa yang dia bilang?” tanya Oniyon.

“Mana aku tahu bahasa naga,” jawab Monky.

“Kurasa dia lapar,” jawab sang Lady berhati-hati. “Oniyon, cepat carikan ikan atau apapun yang bisa dijadikan makanan naga.”

“Siapa laksanakan, Milady,” Oniyon segera berlari untuk mencarikan makanan si naga kecil.

“Aku sebaiknya membantu Oniyon, Milady,” sambung Monky yang tampak berusaha menjauh dan terus menghindar saat si naga kecil mengendus-endus si monyet dan menatapnya dengan lapar.

Beberapa menit kemudian, keadaan sudah lebih tenang. Krebi ikut membantu mengurus si naga kecil, rupanya kepiting merah tersebut bisa berbahasa naga. Sementara itu, Lady Storytelling memutuskan untuk pergi ke dimensi lain demi mencari naga yang lebih oke, dimensi tersebut adalah Dimensi Visual.

Dalam dimensi visual tersebut segala sesuatu benar-benar berbeda walau memiliki nama yang sama. Pertama Hiccup si anak viking kurus kering dan kerempeng berubah.

Di dunia buku, Hiccup seperti ini :

Source

Sementara di dimensi visual, Hiccup berubah 180 derajat seperti ini:

Source

Dalam hati, sang Lady berandai-andai, seandainya Hiccup versi Dimensi Visual ini masing single, mungkin dia akan cocok dengan Rapunzel atau Merida. Tapi yang paling membuat sang Lady senang adalah, naganya. Toothless si naga ompong tidaklah sekecil Toothless yang dibawa oleh Monky dan Oniyon. Naga tersebut bahkan cukup besar untuk bisa ditunggangi. Naganya sangat lucu, berwarna hitam seperti malam, dengan mata belo dan di sini, si naga menyemburkan api biru.

Setelah puas bermain di Dimensi Visual, Lady Storytelling kembali pulang dan tampaknya keadaan rumahnya masih sama kacaunya. Oniyon dan Monky jelas tidak ada bakat sama sekali dalam menangani naga, hanya Krebi saja yang tampaknya sanggup mengurus naga, dan itu pun karena ia menguasai bahasa naga.

“Uga-uga, pakka pakka, rrrroaaar, miga miga, pukukuku, Monky badada Oniyon,” Krebi tampak berkata tegas pada si naga. “Kau tak boleh memakan Monky dan Oniyon.”

Sementara di sudut lain ruangan, tampak Monky bersembunyi di atas lemari sambil mengusap-usap ekornya yang terkena semburan api si naga, sedangkan Oniyon bersembunyi di kolong meja dan sebagian jambulnya tampak gosong.

“Monky, Oniyon, tinggalkan dulu mengurus naga itu, aku ada tugas lain untuk kalian,” Lady Storytelling memerintahkan Monky dan Oniyon untuk mengikutinya. Biasanya Monky dan Oniyon tidak pernah semangat mendengar kata tugas dari sang Lady, namun kali ini mereka justru tampak lega mendengar kata tugas. Dengan semangat menggebu keduanya langsung berlari mengikuti sang Lady ke ruang kerjanya.

“Monky, Oniyon, tadi aku baru kembali dari Dimensi Visual How To Train You Dragon. Dan jelas segala sesuatunya sama sekali tidak mirip dengan dunia buku. Tapi sama-sama menariknya.”

“Dimensi Visual, Milady?” tanya Monky heran.

“Ya, Dimensi Visual, kau tahu kadang mereka menyebutnya film. Nah di sana aku melihat seekor naga yang lucu sekali. Warnanya hitam, matanya belo, imut-imut, pokoknya menggemaskan, seperti di foto ini

Source

nah, aku ingin agar kalian mencarikan aku naga seperti itu. Dan semburan apinya juga harus biru, bukan merah.”

Monky dan Oniyon tampak melongo.

“Dan di mana tepatnya, kami bisa menemukan naga seperti itu, Milady?” tanya Oniyon.

“Oniyon, untuk apa aku menyuruhmu mencarinya, bila aku tahu di mana menemukannya,” Lady Storytelling menjawab ketus. “Nah sekarang aku harus pergi. Ratu Elsa dari Arrandale mengundangku untuk acara minum teh dan selanjutnya Jack Frost memintaku untuk menjadi juri dalam lomba ‘perang bola salju’, hari ini aku sibuk sekali.”

Setelah sang Lady pergi, Monky dan Oniyon masih tampak merana. Keduanya berjalan gontai menuju pendiangan untuk menghangatkan diri.

“Naga sehitam malam, mata belo seperti kucing dan menyemburkan api biru. Ahhhh di mana kita harus mencarinya, Monky?”

“Entahlah Oniyon, coba cari di toko Cute Beast and Monster, mungkin mereka ada menjualnya.”

Reviewed by:

This review also for RC: 
– Lucky No.14 Reading Challenge: Movies vs Books
– 2014 TBRR Pile RC: Additional Challenge – Books into Movies
– New Authors Reading Challenge 2014
– Children’s Literature Reading Project

MALAIKAT JATUH DAN CERITA-CERITA LAINNYA: KISAH PEREMPUAN DALAM BERBAGAI ABSURDISME HIDUP

Judul: Malaikat Jatuh
Pengarang: Clara Ng
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Hetih Rusli
Jumlah halaman: 176 halaman
Cetakan kedua, Februari 2009
Segmen: Dewasa
Genre: Fantasi, kumpulan cerpen
Note: Thanks untuk Dewi atas pinjaman bukunya 🙂
Rate: ★★★★

Malaikat jatuh adalah sebuah buku yang berisi 10 cerpen di mana dalam setiap ceritanya ada satu sosok sosok ibu dan perempuan dalam beragam profesi pekerjaan. Entah pekerjaan tersebut hanyalah ibu rumah tangga biasa, pemilik bengkel, pelacur hingga siluman. Awal saya tahu buku Malaikat Jatuh ini dari review-review para peserta Short Stories Reading Challenge, entah mengapa saat tahu kalau ini tipikal cerita dark fantasy saya malah makin penasaran untuk membacanya. 
Bila ada 1 hal yang saya sukai sekaligus tidak saya sukai secara bersamaan dari genre fantasi, hal tersebut adalah keabsurdan dalam ceritanya, terlepas keabsurdan itu hanya sekedar metafora ataupun tidak. Karena itulah tidak semua orang bisa menyukai genre fantasi, karena tidak semua orang dapat memahami keabsurdan cerita dalam genre fantasi. Mereka yang tidak menerima akan menganggapnya aneh dan sering DNF (did not finish), sedangkan mereka yang menerima keabsurdannya mungkin akan mendapat kesan setelah menyelesaikan cerpennya.


Beberapa hal yang saya tangkap dari Malaikat Jatuh adalah:

  1. Diksi yang indah. Penulis sangat pintar dalam merangkai dan memainkan kata-kata, bahkan kata-kata yang seharusnya sederhana pun bisa diurai untuk menjadi sebuah rangkaian kalimat yang terdengar merdu bila diucapkan. 
  2. Masih terkait dengan permainan diksi penulis, terkadang saya suka merasakan cerita sengaja dipanjang-panjangin untuk menambah kuota halaman. Misal makna sederhana seperti sendirian dan kesepian pun bisa dirangkai oleh beberapa kalimat yang akhirnya menjadi 1 paragraf, yang sebenarnya bisa saja menjadi lebih baik kalau diringkas karena akan mengurangi kesan ‘terlalu didramatisir’ atau penuturan yang terlalu muter-muter. 
  3. Plot yang sederhana tapi menjadi istimewa berkat diksi. 
Langsung saja saya bahas cerpen-cerpennya:
1. Malaikat Jatuh
Cerpen pembuka yang juga merupakan judul utama dari kumcer ini. Tentang seorang ibu yang akan melakukan apa saja asal anak satu-satunya bisa selamat dari kematian, meski harus ‘mengubah’ sang anak.

Kalau ditilik dari logika ceritanya, cuma satu yang mau saya pertanyakan, kalau memang masalahnya takut kesepian dan sendirian, kenapa tidak dari awal saja mencari pasangan hidup yang sama-sama immortal daripada akhirnya malah jadi bikin orang lain menderita dan susah. Saya paham kalau cinta itu egois dan tak terkecuali cinta seorang ibu, mungkin karena itulah saya tidak bisa bersimpati sama tokoh Manna di sini.

Cerpen ini juga yang paling panjang dibanding cerpen lainnya (60 hal), mungkin lebih cocok disebut novella. Sayangnya untuk cerpen utama, saya kurang merasa berkesan dengan ceritanya dibanding beberapa cerpen lain dalam buku ini.

2. Negeri Debu
Salah satu cerita yang paling kelam dan getir dari kumcer ini. Narasi di awal agak membingungkan, karena langsung masuk ke ‘negeri debu’ yang membuat saya mengira-ngira apa sebenarnya ‘negeri debu’ ini.  Tapi perlahan namun pasti cerita berhasil membawa saya mengikuti alam pikiran Lucinda, sang bocah perempuan yang mendambakan belaian ibu. Ending cerita yang begitu yang kelabu berhasil meninggalkan bekas dalam ingatan saya.

3.  Makam
Cerita gelap kali ini bertema kematian. Saya suka setting serba suram yang dibangun Clara. Makam, kematian, malam, kegelapan, kesendirian, aroma melati. Namun meski suram, tidak seperti 2 cerita sebelumnya yang memiliki unsur ketegangan, cerita Makam terasa sangat tenang.

4. Di Uluwatu
Cerpen yang ini sejujurnya agak mebingungkan saya, masih berkisah seputar ‘ibu’. Tapi ini adalah salah satu cerpen dengan plot sederhana tapi kuat di diksi. Contoh: Dunia bayangan sesekali hadir di dunia matahari, dalam bentuk samar-samar seperti saat petang nyaris larut dalam mangkuk malam.  Atau saat cahaya teramat lembut menyelinap di kisi-kisi jendela, menimbulkan pergerakan sinar yang aneh. 

Sejujurnya saya agak bingung apa maksud kalimat-kalimat di atas selain daripada hanya menambah kuota kata-kata.

5. Lelaba
Inti cerpen ini tentang adolescence yang tampaknya mengambil inspirasi dari legenda Jepang, Jorogumo (IMO). Bagi perempuan salah satu tahap menjadi dewasa adalah mengalami datang bulan atau menstruasi, dan inilah inti cerita cerpen ini. Sekali lagi termasuk cerpen yang banyak bermain di diksi. Misal: Beginilah cerita menstruasi pertamaku. Semilir angin bertiup di sela perdu, bagai hantu putih yang bergentayangan di taman rumah. Gorden kain terayun-ayun malas, menyibak jendela yang membingkai malam kelabu. Hujan telah berhenti menjelang tengah malam. Suara jangkrik memenuhi sela-sela rumput, dibawa oleh angin celaka. 

Phew, saya paham sih maksudnya supaya membangun suasana, tapi kesannya jadi dramatis banget, pake melibatkan gorden kain, hujan, suara jangkrik. Dan itu saja baru menstruasi pertama, bagaimana kalau malam pertama. Hehehe

6. Hutan Sehabis Hujan
Bila 5 cerpen sebelumnya menggunakan sudut pandang orang ketiga, maka Hutan Sehabis Hujan menggunakan sudut pandang orang pertama. Hutan Sehabis Hujan mengambil isu sosial yang sedang ngetrend akhir-akhir ini yaitu ‘cinta tidak mengenal batas ras dan gender‘.

7. Akhir
Sebenarnya saya sudah bisa menduga ceritanya sih. Penulis sudah memberi tanda-tanda melalui penggambaran settingnya. Ceritanya mirip The Sixth Sense atau The Others. 

8. Barbie
Ceritanya sedikit mirip dengan Toy Story. Itu lho, film animasi populer karya Disney-Pixar tentang mainan-mainan yang menjadi hidup saat tak ada manusia yang melihat. Tapi hanya sampai situ saja kemiripannya, karena apabila cerita dalam Toy Story menghibur dan menghangatkan hati. Sebaliknya dengan cerpen Barbie, yang menurut saya salah satu cerita paling disturbing dan sadis dari seluruh cerpen kelam di kumcer ini. Yang saya suka dari cerpen ini adalah plotnya yang cepat dan tidak terlalu banyak permainan diksi untuk menambah kesan drama.

9. Bengkel Las Bu Ijah
Sepertinya semua metafora digunakan dalam cerpen ini. Penuturannya sendiri mengalir dan enak dibaca. Ceritanya lebih terasa melankolis dan sedih daripada gelap. Walau tentu saja kesan absurd dan aneh tetap terasa karena ‘servis bengkel’ yang tidak biasa. Selain itu permainan diksi lagi-lagi sangat terasa dalam cerpen ini, misal: Tahu-tahu telah belasan kali matahari urung bersenggama dengan bulan serta puluhan kali angin timur bertabrakan dengan angin barat. 

10. Istri Paling Sempurna
Berbeda dengan 9 cerpen lainnya. Istri paling Sempurna tidak melibatkan mahluk-mahluk supranatural ataupun unsur-unsur fantasi absurd. Malah ceritanya sangat realistis, mungkin sedikit unsur psikologis. Sewaktu membacanya saya hanya merasa biasa saja, namun setelah menyelesaikannya dan makin memikirkannya, tiba-tiba saya menyadari betapa indah ceritanya. Lebih tepatnya indah, romantis dan juga sedih. Seperti sebuah janji pernikahan, di mana aku dan kamu akan selalu bersama mengarungi bahtera rumah tangga baik dalam senang maupun duka atau dalam sehat maupun sakit.

Sebuah cerpen bitter-sweet adalah penutup akhir yang sempurna. 

Di sini, di mana “aku” dan “kau” tiada, begitu erat, hingga tanganmu di atas dadaku adalah tanganku. Begitu erat, hingga ketika kau tertidur, kelopak matakulah yang tertutup. ~Pablo Neruda, Soneta XVII. 

Clara Ng sukses menerjemahkan suatu rasa kesedihan, kerinduan, dan kekelaman dari perasaan seorang ibu yang selalu memikirkan anaknya yang telah tiada, seperti yang ditulis oleh sang penulis di kata pengantarnya.

Review ini juga untuk RC:


THE CANDY MAKERS: IT STARTED SLOWLY BUT SURPRISINGLY GOOD

Judul: The Candy Makers
Pengarang: Wendy Mass
Penerbit: Atria
Penerjemah: Maria Lubis
Editor: Jia Effendie
Proofreader: Fenty Nadia
Jumlah Halaman: 556 Halaman
Cetakan I: Juli, 2011
Segmen: Anak-anak, semua umur
Genre: Realistic fiction,  drama, kuliner
Harga: Rp 30.000 (obralan Gramedia Golden Truly)
Rate: ★★★★

Bagaimana bila kau diberi kesempatan untuk bisa menciptakan permenmu sendiri? Dan bukan hanya menciptakan permen saja, tapi permen itu juga akan diproduksi secara masal oleh pabrik permen. Selain itu kau juga mendapat bonus berupa uang tabungan senilai 1000 dollar. 

Empat orang anak, yaitu Logan, Miles, Daisy dan Philip yang masing-masing berusia 12 tahun berhasil terpilih sebagai peserta yang akan mewakili Region 3 dalam kontes permen tahunan yang diadakan oleh asosiasi pengusaha gula-gula. Pabrik yang terpilih untuk mengajari sekaligus menjadi tempat anak-anak ini belajar cara membuat permen adalah Life Is Sweet. Selama 2 hari, keempat anak ini akan diajari seluk beluk cara membuat permen dan juga bahan-bahan apa saja yang harus digunakan. 

Selama 2 hari itu, anak-anak tersebut menyadari bahwa proses membuat permen tidaklah semudah yang mereka bayangkan, belum lagi ada kemungkinan timbulnya kecurangan dari salah seorang peserta. Banyak hal-hal tak terduga yang mereka temui selama 2 hari berada di pabrik permen Life is Sweet. Namun suatu hal yang tidak disangka-sangka berhasil mengubah persaingan individu tersebut menjadi sebuah persahabatan yang saling melengkapi. Apakah itu?
What I thought


Menyenangkan dan hangat. Itulah kesan yang timbul selesai saya membaca buku ini. Buku ini terbagi atas 4 sudut pandang dari 4 anak peserta lomba.

Logan, protagonis utama dari buku ini. Logan adalah putra pemilik pabrik Life is Sweet, namun ia tetap sama dengan para peserta lain, tidak ada perlakuan istimewa. POV Logan mengawali bagaimana cerita dimulai. Karena diletakkan pertama dan juga sebagai putra pemilik pabrik, POV Logan banyak menceritakan mengenai kegiatan-kegiatan di pabrik permen. Deskripsi mengenai pabrik permen cukup detil, sehingga pembaca seolah ikut merasakan berada di pabrik permen.

Saya jadi membayangkan Ruang Onggokan Mint Dingin, Ruang Lelehan Cokelat renyah, Ruang Loli-Loli Melompat dan Ruang Jellybean Lompat Tinggi. 

Namun masalah yang sering muncul dalam plot yang banyak menceritakan deskripsi adalah cerita jadi terasa lamban dan membosankan. Ini sempat saya alami dan membuat saya agak malas tiap kali mau melanjutkan bukunya. Hal lain yang membuat bosan adalah plot yang cenderung lurus-lurus saja dan juga konflik yang belum ada tanda-tanda penampakkan diri. Begitu pula dengan karakter Logan yang juga masih kalem-kalem saja.

Cerita berlanjut ke POV Miles. Saya jelas mulai terbangun saat masuk POV Miles. Cerita pun mulai masuk ke misteri. Rasanya menarik melihat bagaimana Miles berpikir tentang Logan dan mengapa Miles selalu membawa tas besar kemana pun dia pergi dan apa isi tas besar itu? Dari sini saya semakin penasaran untuk mencari tahu kisah Miles yang membuat saya terus membalik halaman buku.

Dan saat pembaca lagi menikmati suasana tegang di pabrik permen, tiba-tiba cerita beralih ke POV Daisy, yang juga merupakan satu-satunya anak perempuan dalam kelompok peserta tersebut. Cerita Daisy menarik walau menurut saya juga yang paling aneh (in a good way) dan terkadang terasa seperti fantasi. Tapi bukankah setiap anak mempunyai imajinasinya sendiri mengenai apa yang mereka inginkan saat sudah besar nanti.

Dan tibalah pada POV terakhir, yaitu Philip. Berbeda dengan 3 anak lainnya yang bersifat manis dan menyenangkan, sejak kemunculannya, Philip sudah membuat saya penasaran karena sifatnya yang sangat menyebalkan, arogan, cenderung meremehkan peserta lain dan sok pintar. Namun meskipun menyebalkan, POV Philip justru yang paling saya tunggu. Dan penulis di sini seolah menegaskan bahwa, setiap sebab ada akibat. Anak-anak yang bersifat menyebalkan pasti ada penyebabnya. Nah apa penyebabnya, silakan baca sendiri.

Saya agak menyesal tidak memilih buku ini saat tema kuliner, bulan Februari lalu. Buku ini sebagaimana yang selalu saya harapkan dari buku anak-anak, yaitu cerita yang bisa memberikan rasa hangat, seru dan menyenangkan saat membacanya. Dan penuturan mengenai permen dalam cerita ini, sukses membuat saya pengen mengunyah permen saat membacanya (dan serius, saya sampai membeli 2 bungkus kecil permen kenyal Yupi).

POV yang berbeda-beda, mungkin bagi sebagian pembaca akan membuat cerita terasa berputar-putar, namun di sinilah penulis bermaksud agar pembaca bisa memahami karakter dari setiap anak. Seperti Logan yang baik hati dan tak pernah marah-marah, Miles yang sensitif dan mempunyai empati yang begitu besar akan orang-orang disekitarnya, lalu Daisy yang ceria dan penuh semangat serta Philip yang ambisius dan berusaha tampil sempurna.

Ada beberapa scene dan kutipan bagus dari buku ini, salah satu yang saya suka adalah:

“Kau tidak pernah tahu apa yang akan kau ketahui saat membuka sebuah buku. Dan jika isinya adalah suatu cerita, kau akan tenggelam di dalamnya. Kemudian, kau akan tinggal di sana beberapa saat, bukannya-kau tahu-tinggal di sini.”

Jangan lupa, baca juga review Indah, karena seharusnya saya baca buku ini pada bulan April bareng Indah, namun ternyata saya gagal karena masih stuck di beberapa buku timbunan.

Buku ini, saya ikut sertakan juga untuk:
– Lucky No.14 Reading Challenge: Chunky Bricks
– 2014 TBRR Pile RC
– New Authors Reading Challenge 2014
– Children’s Literature Reading Project

GOOD OMENS: IT’S NOT RIGHT BUT IT’S ALL RIGHT

Judul Buku: Good Omens (The Nice and Accrate Propecies of Agnes Nutter, Witch)
Pengarang: Neil Gaiman & Terry Pratchett
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Lulu Wijaya
Desain Sampul: Satya Utama Jadi
Jumlah Halaman: 520 Halaman
Cetakan pertama, April 2010
Segmen: Dewasa
Genre: Fantasi, humor, komedi satir, cerita absurd
Harga: lupa, sudah beli sejak tahun 2010 waktu Gramedia masih diskon 30 % all items kecuali elektronik)
Rate: ★★★

Catatan: Review absurd, aneh dan tidak penting ini dibuat oleh penulis sebagai bentuk eksperimennya terhadap imajinasinya yang suka terlalu aktif. Jika anda tidak mengerti, disarankan untuk tidak melanjutkannya sebelum kepala anda tambah cenat-cenut. 

Para pelakon:

Monky, alias provokator amatir & tukang cela


Detektif RedFox, alias penyidik swasta


Krebi, alias kepala pengurus rumah tangga


Oniyon, alias Kritikus sotoy

Lady Tell Storytelling, sebagai narator moody yang sering galau


Bulan purnama bersinar amat terang. Bentuk bulan pada malam itu begitu bulat sempurna dan juga sangat besar, seolah bulan tersebut tampak akan terjatuh di negeri Bookworm. Sinar bulan menerangi nyaris seluruh penjuru kota Bookworm, menjadikan malam seolah penuh cahaya, kecuali satu tempat. Tempat itu adalah sebuah kedai teh bobrok yang terletak di ujung jalan dan berada paling pojok dari sebuah jalan kecil nan sempit yang untuk masuknya hanya bisa dilalui satu persatu orang.

Kedai teh itu gelap dan lampu penerangannya pun sering padam dan menyala, menimbulkan suasana remang-remang, namun suasana seperti itu memang sengaja di cari oleh 3 mahluk yang tampak sedang berdiskusi serius di suatu meja kecil di pojok ruangan.

Ketiga sosok mahluk tersebut adalah seekor monyet berbulu coklat dengan ekor panjang, lalu sesiung bawang putih dengan jambul yang kurang menonjol dan mahluk terakhir adalah seekor rubah berwarna merah yang selalu membawa kaca pembesar dan teropong.

“Jadi 2 manusia homo itu adalah…” si monyet berbulu coklat tak dapat melanjutkan ucapannya.

“Tapi, mereka bukan manusia, dan homo itu hanya karena penampilan saja” koreksi si bawang putih.

Si rubah menatap mereka berdua dengan serius, lalu ia melirik ke seluruh penjuru ruangan, memastikan bahwa tidak ada orang lain selain mereka bertiga yang mendengar perkataannya. “Mereka bukan manusia. Pria parlente yang itu adalah malaikat, namanya Arizaphale, sedangkan pria aneh satu lagi, yang tampak seperti Man in Black karena selalu memakai kacamata hitam adalah Crowley, si iblis.”

“Dan tepatnya bagaimana kau yakin kalau mereka seperti yang kau bilang?” dengus Oniyon tak percaya.

Si rubah mau tak mau kembali mengingat-ingat kejadian aneh yang beberapa saat lalu menimpanya. Semua ini terjadi karena dia menerima tugas yang diberikan kepadanya oleh 2 kliennya, yaitu seekor monyet bernama Monky dan mahluk berwujud bawang putih yang bernama Oniyon. Tampaknya kedua mahluk tersebut mempunyai seorang majikan yang eksentrik yang suka memberikan mereka perintah yang aneh-aneh, salah satunya adalah menafsirkan ramalan kuno berusia 300 tahun tentang …. akhir jaman. Sungguh kalau orang waras, daripada meramalkan akhir jaman, akan lebih baik meramalkan prakiraan cuaca, jadi mereka bisa tahu apakah pada hari itu mereka perlu membawa payung atau tidak.

Sebagai detektif yang sedang mengumpulkan reputasi, RedFox selalu merasa tertantang akan setiap kasus yang disodorkan padanya. Jadi tanpa ragu, ia menerimanya. Pertama-tama misi itu tampak mudah, yaitu mencari seorang gadis yang dicurigai sebagai keturunan peramal, lalu mencari seorang bocah yang diduga sebagai pangeran neraka, tapi sepertinya ada salah alamat mengenai bocah itu, yang membuat RedFox nyasar hingga ke Ujung genteng. Tapi petunjuk penting berikutnya adalah 2 manusia aneh yang ditemuinya sepanjang mencari petunjuk. Mulanya RedFox mengira mereka hanyalah 2 orang eksentrik (seperti orang Inggris pada umumnya) di mana yang satu sangat menyukai buku-buku ramalan bekas, dan yang satu lagi terlalu menyayangi mobil Bentley hitamnya, tapi alangkah kagetnya ia saat melihat kedua pria itu mengeluarkan sayap pada punggung mereka.

Untuk tebakan awal, mulanya RedFox mengira mereka berdua adalah malaikat, tapi tampaknya tebakannya hanya separuh benar. Sebab pria satunya (yang hampir memakai kacamata di setiap kesempatan, baik cuaca hujan maupun panas) ternyata tidak betul-betul malaikat, sebab ia jelas terlalu duniawi untuk ukuran malaikat, dan akhirnya RedFox mengambil kesimpulan kalau si pria yang selalu berkacamata hitam itu adalah seorang malaikat jatuh atau si iblis. Tapi setelah beberapa saat yang membuat ngantuk yang harus dilalui oleh RedFox  untuk mengamati kedua orang tersebut, RedFox pun sadar, kalau si iblis juga terlalu mempunyai hati untuk ukuran iblis.

Tapi tidak ada saat paling campur aduk bagi RedFox sepanjang karirnya, hanya karena sebuah ramalan, ia harus bertemu berbagai macam mahluk aneh, seperti cenayang palsu, lalu empat penunggang kuda, tidak lebih tepatnya empat pengendara motor dari neraka yang mempunyai nama-nama aneh yang sangat tidak enak didengar, seperti Perang, Kelaparan, Polusi dan Kematian. RedFox tahu sekarang ini orang suka menggunakan nama-nama aneh yang mereka pikir eksotis, walau nyatanya lebih mirip keseleo lidah.

O ya, masih lanjut soal mahluk aneh, selain itu ada juga sersan pemburu penyihir yang lebih mirip boneka ventriloquist raksasa. Namun yang paling membuatnya jengkel adalah hujan ikan di mana-mana (bagaimana tidak menjengkelkan saat kau sedang berjalan santai dan blukkk, ada ikan tuna besar jatuh menimpa kepalamu). Dan orang -orang aneh tersebut tidak sadar bila rumah mereka telah ia pasangi penyadap. Walau tampaknya penyadap itu tidak terlalu memberi banyak informasi terhadap RedFox. Pertama ia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan meski ia mengerti bahasa mereka.

Kedua, sering kali ia mengantuk saat sedang mendengarkan suara-suara dalam sadapannya. Terlalu banyak orang, pikir RedFox, sampai ia tidak tahu siapa sedang berbicara dengan siapa. Namun ia bisa menangkap beberapa inti, seperti: sering perbuatan manusia lebih menjijikan daripada iblis dan terkadang mereka tidak butuh iblis untuk melakukan hah-hal jahat karena manusia mempunyai 1 hal yang tidak dimiliki oleh malaikat dan iblis, yaitu kehendak bebas.

Malam semakin larut, si monyet tampak terkantuk-kantuk mendengar cerita si rubah. Sementara di sebelahnya, Oniyon tampak serius mencatat. Suasana tenang itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara pintu yang menjeblak, membuat Monky yang mulai masuk ke alam mimpi langsung terbangun dan kepalanya membentur sisi meja.

Sebuah sosok aneh berdiri di ambang pintu, kedua sisi dari sosok aneh itu tampak tajam, Monky, Oniyon dan RedFox tampak makin mengerut di pojok, lalu dengan langkah yang aneh tersebut, sosok tersebut berjalan menuju meja counter, dan terdengarlah suara yang sangat familiar.

“Anu, permisi. Saya kehabisan teh English Breakfast, dan toko-toko sudah pada tutup. Apakah anda masih mempunyai sekaleng teh English Breakfast? Bisakah saya membelinya?” ujar suara dari sosok itu yang ternyata adalah seekor kepiting merah.

Melihat si kepiting merah, RedFox tampak tenang kembali, namun tidak demikian dengan kedua kliennya yang tampak bersembunyi di bawah meja. Si monyet menaikkan 1 jarinya ke mulut yang membuat isyarat agar si rubah merah tetap diam dan tidak menarik perhatian.

“Terima kasih banyak atas teh English Breakfast-nya,” kepiting merah kembali berkata. “Sekarang aku bisa tenang, karena semua persiapan untuk sarapan besok pagi sudah lengkap. Lady-ku biasa meminum teh English Breakfast saat sarapan. Dia pasti akan kecewa kalau tehnya bukan English Breakfast.”

Setelah si kepiting merah pergi meninggalkan kedai teh, Monky dan Oniyon perlahan-lahan menyeruak dari kolong meja. Keduanya saling berpandangan, lalu menghela nafas lega. Si rubah merah walau masih bingung, perlahan-lahan tampak mulai paham.

“Nah terima kasih atas penyelidikannya, Detektif RedFox. Tapi sekarang hampir tengah malam, kami harus pulang,” Monky berkata cepat. “Kami senang menggunakan jasamu.”

“Ini,” Oniyon menyodorkan sekantong penuh kepingan uang logam kepada si rubah. “Semua lunas.”

“Tunggu sebentar,” si rubah merah menahan kedua kliennya, jelas menuntut penjelasan, “Kalian harus jelaskan mengapa kalian tiba-tiba pergi?”

Monky dan Oniyon kembali saling berpandangan, seolah saling melempar siapa yang akan menjelaskan. Akhirnya Oniyon kalah dan menjelaskan “Begini RedFox, seperti yang sudah dibilang oleh Monky, hari sudah hampir tengah malam, jadi tidak aneh kalau kami harus pulang. Dan kedua, kami memakai jasamu bukan untuk menyelidiki mengenai Armageddon. Maksudku siapa yang tahu kapan itu terjadi, kami berdua lebih suka dunia yang aman dan nyaman saja tanpa banyak kejadian aneh, jadi kenapa harus ribut-ribut soal itu, biarlah itu menjadi sebuah misteri yang tak dapat dikatakan oleh manusia. Tapi kami berdua mempunyai tugas untuk melaporkan mengenai buku yang menyangkut hal itu.”

Oniyon mengambil nafas sejenak, tak mengira bahwa penjelasannya bakal panjang kali lebar, ia lalu menyikut Monky, yang artinya, ‘sekarang giliranmu’.

Monky berdehem dan melanjutkan, “Tapi kami punya hal-hal lebih penting untuk dilakukan seperti bermain Hayday atau mengupdate status kami di sosial media, jadi kami agak eh lupa soal masalah membahas ramalan itu dan kami butuh seseorang untuk menggantikan tugas kami.

Singkat kata, kau adalah Ghost Writer kami,” ujar Monky yang sekarang beneran mengantuk, meskipun yang didengarnya adalah perkataannya sendiri.

“Dan kepiting merah tadi?” tanya si rubah.

“Dia pengurus rumah tangga dari bos kami,” jawab Monky.

“Karena itulah kami tidak boleh terlihat olehnya, karena semua akan sia-sia bila sampai ketahuan,” Oniyon melanjutkan penjelasan Monky.

Singkat cerita, si monyet dan si bawang pun pergi meninggalkan si rubah merah yang masih berusaha memahami. Dan sejak saat itu, detektif RedFox lebih teliti sebelum menjual jasanya.

By:

Review ini juga untuk RC :

KEDAI 1001 MIMPI: MENERTAWAKAN IRONI NASIB DI NEGERI 1001 MALAM

Judul Buku: Kedai 1001 Mimpi
Pengarang: Valian Budi (Vabyo)
Penerbit: Gagas Media
Editor: Alit Tisna Palupi
Proof Reader: Christian Simamora
Penata letak: Dian Novitasari
Desainer sampul: Jeffri Fernando
Jumlah halaman: 444 halaman
Cetakan keempat, 2011
Segmen: Dewasa
Genre: Personal Literature, memoar, humor
Harga: Rp 46.750 (15% off beli di bukabuku)
Rate: ★★★

Keinginan untuk bekerja di Arab Saudi itu akhirnya tercapai. Dengan melamar posisi  sebagai barista untuk sebuah kafe, Valiant Budi atau Vibi akhirnya bisa mencoret salah satu dari banyak hal di daftar keinginannya, yaitu tinggal di Saudi Arabia. 

Namun setibanya di negeri 1001 malam itu, kenyataan ternyata tidak seperti harapan. Mulai dari seringnya disangka Filipini dan dilecehkan oleh para pria lokal, belum lagi menghadapi customer unik bin ajaib yang suka bikin darah tinggi naik hingga 100 derajat plus diperparah dengan praktek manajemen kafe yang kacrut dan sangat jauh dari teori kafe berstandar internasional dan semua itu ditambah lagi dengan suhu udara yang panasnya bisa di atas 50 derajat celcius. 


Jadi bagaimana cara Vibi bisa bertahan dan tetap waras menghadapi semua hal-hal aneh tersebut?

“Yah, setidaknya di negara yang mencanangkan dirinya religius ini berhasil membuatku ingat Tuhan, kok. Perlakuan orang-orang Saudi sering membuatku mengeluh ‘Oh Tuhan, apa dosaku?'”

Itulah sedikit kutipan sarkasme Vibi alias Vabyo dalam menertawakan nasibnya selama bekerja di Arab Saudi.

Membaca buku ini mempunyai 2 rasa yang saling bertolak belakang, rasa itu adalah antara mau tertawa atau miris. Buku ini menceritakan pengalaman-pengalaman miris Vabyo selama bekerja sebagai Barista di 2 kota di Saudi, yaitu Alkhobar dan Dammam. Tapi cara Vabyo menuliskannya yang lebay bin hiperbola justru membuat bacanya menjadi penuh cengiran.

Uang banyak tanpa pendidikan membuat manusia tampak monster.”

Kekesalan utama Vabyo ada pada orang-orang Saudi yang arogan, karena merasa mereka kaya dan penduduk asli jadi pasti kebal hukum dan suka bertindak sewenang-wenang kepada para pekerja migran (TKI/TKW).

Belum lagi, akibat banyaknya orang Filipina yang bekerja di Saudi dan kebetulan muka orang Indonesia agak-agak mirip dengan orang Filipina, sering saat sedang berjalan di jalan raya, Vabyo dikejar-kejar oleh om-om nakal dan ditawar untuk menemani mereka. (Yah, taukan maksudnya menemani apa).

Lalu kekesalan lain ada pada pekerjaannya. Yang alih-alih barista, cara kerjanya lebih mirip babu dan merangkap segala macam. Tapi yang bikin ngos-ngosan adalah melayani customer yang suka minta yang aneh-aneh. Belum lagi betapa terkejutnya Vabyo saat mengetahui kalau kafe tempatnya bekerja juga sering digunakan sebagai tempat transaksi jual beli ayam (ngerti kan ayam apa yang dimaksud).

Awal-awal di Saudi, Vabyo kesepian karena hanya ia yang orang Indonesia, sementara pekerja asing lain rata-rata warga Filipina. Namun untunglah setelah beberapa saat, akhirnya ia bertemu dengan beberapa TKI yang juga bekerja di Alkhobar. Ada Joko yang dipanggil Mas Blitar, yang selain bekerja sebagai supir juga merangkap pelayan ranjang majikan perempuannya (dan ternyata yang dilayani bukan cuma 1 tapi ada… baca sendiri bukunya).

Lalu ada Mas Bambang, seorang gay yang suka disewa untuk teman kencan. Tapi yang paling sukses adalah Yuti yang dari pembantu berhasil naik pangkat menjadi istri ketiga sang Baba yang mengisi hari-harinya dengan berbelanja di Mal.

“Lagi pula, semua kebusukan negara saya, Indonesia, ada di negara lain, kok. Tapi keindahan Indonesia belum tentu dimiliki negara lain.”

Saya agak telat baru baca buku ini sekarang, di mana orang -orang lagi ngomongin Kedai 1002 mimpi, yaitu sekuel dari Kedai 1001 mimpi yang baru saya baru baca sekarang, saya baru saja selesai baca 1001 mimpi atau justru timingnya tepat, karena kan masih tetap ada hubungannya. #plinplan

Mungkin karena sebelumnya saya sudah pernah baca personal literature dalam bentuk komedi yang konsepnya juga menertawakan kelakuan manusia (TNSLOA) jadinya gaya bahasa Vabyo sudah terasa familier untuk saya.  Kalau mengenai Arab Saudi sendiri, saya sudah sering mendengar kisah-kisah pahit dari negeri 1001 malam tersebut, tapi memang penuturan Vabyo yang gamblang dan nyablak ini membuat mata lebih melek.

Eniwei buku ini selain informatif, juga enak dibaca sebagai pelepas stress karena gaya bahasa Vabyo yang seperti sarcastic stand-up comedian, sekaligus juga sebagai perenungan, terutama buat yang suka mengeluh tinggal di Indonesia. Mulai dari ngeluh kalau siang hari panasnya nggak ketulungan (masih belum separah Arab Saudi yang suhunya bisa mencapai hingga separonya dari 100 derajat celcius), ngeluh karena polusi udara dan debu (sekiranya masih nggak ada badai pasir), ngeluh karena di Indonesia, orang-orangnya suka kurang sopan (bukan cuma di Saudi tapi kalau pernah ke luar negeri, pasti sadar bangsa kita tuh memang ramah dan hangat). Ngeluh karena negara kita sering dibilang negara miskin (sekiranya rata-rata rakyat Indonesia masih well behave, coba saja kalau ke luar negeri, pemandu asing mungkin lebih senang melayani turis Indo yang walau narsis dan suka ngaret tapi juga royal). 

Merasa yang saya bilang nggak sepenuhnya benar, yah saya kan bilangnya rata-rata bukan semua, karena itu jangan mengeneralisasi seseorang hanya dari negara, etnis, agama, golongan, dan lain sebagainya tapi nilailah dari individu karakternya.

Review ini juga untuk RC :

TRIANGULAR LABYRINTH: MENARIK TAPI EKSEKUSINYA TERBURU-BURU

Judul Buku: Triangular Labyrinth
Pengarang: Lommie Ephing
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Veronica Vonny
Desain Cover: Eduard Iwan Mangopang
Jumlah Halaman: 256 Halaman
Cetakan, Maret 2014
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Fantasi
Harga: Rp 35.000 (30% off dari Rp 50.000, ultah Gramedia)
Rate: ★★★

Luna selalu membuat kehidupan Mauren tidak bahagia. Sejak kelahiran adiknya itu, perhatian kedua orang tuanya seolah tercurah hanya untuk Luna. Apapun yang diinginkan Luna selalu dituruti. Luna adalah nomor 1, sedangkan Mauren seperti anak tiri. Semuanya terasa sangat tidak adil bagi Mauren. 
Puncaknya adalah saat kedua orang tuanya membatalkan liburan mereka sekeluarga ke Bali, dan itu semua akibat ulah Luna. Tidak terima, Mauren memaki-maki Luna dan mendapat tamparan keras dari Papa untuk pertama kali dalam hidupnya. Mauren sakit hati dan ia berharap agar adiknya, Luna lenyap saja dari kehidupannya. 

Dan keinginan itu terkabul. Sebuah papan permainan yang bernama Triangular Labyrinth, yang ditemukan Mauren di suatu toko mainan yang terbakar telah membawa adiknya itu masuk ke suatu dunia antah berantah yang sangat berbahaya. Tapi alih-alih senang karena Luna menghilang, Mauren justru merasa sangat bersalah, dan ia menyadari bahwa ia sebenarnya menyayangi sang adik, apalagi setelah ia tahu rahasia sang adik. 

Merasa bertanggung jawab, Mauren pun menyusul sang adik masuk ke dunia antah berantah tersebut untuk mencari, menemukan dan membawa pulang kembali sang adik. 

Namun ternyata mencari Luna dalam dunia aneh tersebut tidak mudah, selain harus siap menghadapi banyak mahluk-mahluk berbahaya yang siap memangsanya, Mauren tidak punya petunjuk mengenai keberadaan sang adik. Yang ia tahu setelah beberapa saat menemukan Luna, seekor burung gagak raksasa pemakan daging langsung menculik sang adik dan membawanya pergi. 

Beruntung, Mauren bertemu Zermus, mahluk yang tidak bisa terlihat oleh mata ini bersedia untuk membantu Mauren menemukan sang adik. 

Maka dimulailah petualangan Mauren di Triangular Labyrinth untuk menemukan Luna. 


Ceritanya Cukup Menarik

Sewaktu melihat sampul depannya, saya langsung penasaran, karena gambar bayangan centaur di depannya langsung memberitahu saya bahwa buku ini bergenre fantasi. Salah satu genre favorit saya, dan setelah saya baca sinopsis dan lihat nama pengarangnya, ternyata buku ini fantasi lokal. Jarang-jarang ketemu fantasi lokal di tengah gempuran buku fantasi terjemahan dan genre non fantasi lokal. Selain tertarik karena covernya, saya juga suka akan sinopsis di belakang buku yang bertema keluarga. 
Secara konsep, Triangular Labyrinth ini cukup menarik, walau ide ceritanya mengingatkan saya akan suatu film di tahun 90-an yang berjudul Jumanji, kisah mencari adik yang hilang ke dimensi lain juga mengingatkan saya akan cerita dari novel The Iron King, namun gaya bahasa dan penuturan yang ringan membuat buku ini gampang untuk dinikmati, saya pun hanya butuh 1 hari untuk membacanya. Beberapa orang mungkin takut kalau genre fantasi akan terasa berat, tapi tenang saja, buku ini mudah dibaca, walau konten ceritanya sebenarnya cukup serius.

Untuk bagian awal, saya sempat mengira kalau buku ini sejenis bacaan remaja yang ringan dengan persoalan klise macam cowok dan teman. Tapi ternyata saya salah, buku ini lebih ke tema persaudaraan atau keluarga. Dan bahkan pada beberapa adegan terasa cukup sadis dan konfliknya juga serius, makanya meski tokoh Mauren baru berusia 17 tahun saya tidak melihat ada label teenlit di sampul depannya. Karena memang ceritanya bukan tipikal teenlit. Tapi meski ada adegan sadis, penggambarannya cepat dan halus, jadi tidak terlalu menakutkan. 

Sekarang bagian protesnya (may contain spoiler)

Nah ini dia bagian yang kurang menurut saya. Pertama para karakter. Saya merasa karakternya pada tidak konsisten. Hanya Zermus, sang Varaktus yang konsisten, selebihnya macam Mauren dan Pangeran Edmun tidak konsisten. Terutama Edmun yang digambarkan pengecut dan takut mati lalu menjadi “langkahi dulu mayatku”, lalu dari gentleman jadi suka main tampar dan tebas lalu berubah jadi gentleman lagi (sepertinya Edmun ini tipe yang kiss and slap yah dan banyak adegan tampar-menampar di buku ini). Yang saya tangkap, karakternya over pede, suka gombal, suka memaksakan kehendak (mungkin karena dia pikir dia anak Raja jadi semua orang harus menurut padanya, tapi lakukan dengan gaya yang lebih elegan donk) dan tentu saja temperamental. Untuk saya pribadi meski berkali-kali diberitahu ganteng, tapi tetap jauh dari likeable.

Untuk pemeran utama sendiri yaitu Mauren, saya masih menganggap Mauren itu damsel in distress. Kalau bukan karena Zermus, mungkin Mauren sudah gagal sejak awal. Dan selebihnya ia selalu ditolong oleh nyaris semua karakter dalam buku. Selain itu sifat Mauren juga menyebalkan menurut saya. Sering perhatiannya teralihkan lupa akan tugas utamanya datang ke Triangular Labyrinth dan Mauren juga self-centered. Padahal karakter Mauren seharusnya bisa dikembangkan atau ada unsur redemption dari yang tadinya egois dan menyebalkan bisa lebih tangguh, berani, berpendirian dan berjiwa besar, tapi saya masih belum menangkap gambaran perubahan ini, selain dari masalah menolong adiknya.

Kedua, plot cerita yang terburu-buru dan terasa janggal. Saya tidak tahu apakah penulis diberi batasan halaman. Tapi beberapa hal terasa janggal, seperti mengapa Mauren tidak fokus dalam mencari adiknya. Masih sempat-sempatnya menikmati pesta dansa, menikmati memilih gaun-gaun & bersenang-senang sama Pangeran, padahal nasib sang adik masih tidak jelas dan waktunya sempit, kenapa tidak langsung ngomong ke Pangeran kalau ia lagi mencari adiknya, secara Pangeran pasti punya pasukan untuk membantu. Memang akhirnya Mauren dibantu, tapi setelah melalui beberapa plot ala opera sabun  keluarga bangsawan yang menurut saya tidak terlalu relevan.

Selain itu Mauren juga seolah tidak banyak diberi kesempatan untuk bereaksi pada beberapa bagian plot. Ia tampak hanya sekedar mengikuti dramanya saja alih-alih sebagai karakter utama, dan inilah yang saya maksud dengan plot yang terburu-buru. Termasuk PDKT dari sang pangeran yang terlalu instant (baiklah anggap saja pangerannya memang gemar merayu).

Karaker yang saya suka di sini Zermus karena ia yang paling tulus dari semuanya, tapi juga karakter yang paling dikasihani. Walau saya ngerti sih pasti bakal aneh rasanya kalau melihat romens Zermus & Mauren. Saya ini tipikal yang kurang bisa memahami hubungan asmara beda species. Beda species yang saya maksud di sini tuh misal burung onta sama badak bercula satu (metafora aja). Saya bisa menerima kalau masih ada wujud manusia utuhnya, misal vampire, shape shifter, malaikat, dll. Kalau untuk romens Edmun-Syanne, saya melihatnya terlalu lebay. Tapi untunglah (terlepas dari adegannya yang kadang cheesy) porsi romens dalam buku ini pas alias masih sebagai bumbu penyedap dalam cerita.

Akhir review, selamat untuk penulis atas novel pertamanya ini. Saya suka dengan gaya bahasanya yang ringan tapi padat, seandainya ada sekuelnya, saya pasti akan membacanya lagi, karena masih banyak hal yang bikin penasaran. Semoga makin banyak genre fantasi lokal terbit di Indonesia dengan cerita yang bagus dan makin variatif.

GOOSEBUMPS: PENEMUAN PROFESOR SHOCK (BERANI MENERIMA TANTANGAN INI #14)

Judul: Penemuan Profesor Shock
Pengarang : R.L. Stine
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: L. Ratnayanti
Jumlah Halaman: 135 Halaman
Cetakan Oktober, 1999
Segmen: Anak-anak, remaja
Genre: Petualangan, horror
Pinjam dari Joo
Rate: ★★

Apakah kau berani menerima tantangan ini?

Masuklah ke rumah seram di ujung jalan sana. Ada seorang ilmuwan gila dengan berbagai macam penemuan anehnya di suatu ruangan. Ada mesin dingdong keren, dunia di balik cermin dan juga robot yang bisa hidup. Tapi resikonya kau tanggung sendiri, karena sang ilmuwan gila sudah memperingatimu bahwa kau tidak boleh masuk ke ruangan itu. Namun rasa penasaranmu lebih besar daripada rasa takutmu. 

I don’t know how to review this?

Sejujurnya saya tak tahu apakah boleh mereview buku yang bacanya nggak 100% alias loncat-loncat. Bukan karena ceritanya jelek tapi karena saya sudah pusing duluan sama cerita yang halamannya ngacak ini. Yah, tahu sih ini ini game book dengan tokoh utama adalah pembaca dan semua pilihan diserahkan kepada si pembaca. Dan pilihan-pilihan itu akan menentukan apakah pembaca dapat menolong tokoh utama dari masalahnya dan berakhir dengan selamat, atau kalau salah pilih malah berakhir sial.

Jadi ibaratnya membaca buku ini seperti berjalan dalam labirin yang penuh persimpangan. Kita harus memilih mau lewat persimpangan yang mana. Salah pilih bisa menemui jalan buntu atau lebih buruk lagi malah celaka. Bagaimana dengan saya? Apakah saya berhasil membawa karakter utama dan kedua temannya selamat pada akhirnya? Hehehe, sejujurnya saya ini orangnya penasaran, dan pengen membaca setiap opsi yang ditawarkan. Yang pasti  pilihan tragedi lebih banyak daripada berhasil (sangat khas Goosebumps, sayang buku-buku Goosebumps saya pada hilang).

Ceritanya sendiri cenderung standar Goosebumps yaitu anak-anak bandel yang suka mencoba sesuatu yang sudah dilarang tapi tetap nekad dan akhirnya  kena batunya. Saya sudah pernah membaca buku Goosebumps jenis ini dulu sekali tapi belum pernah membaca seri, “Tentukan sendiri petualanganmu” tapi mungkin formatnya agak mirip-mirip dengan Goosebumps “Berani menerima tantangan ini.”

Yang saya permasalahkan adalah halamannya yang sangat ngacak, kalau cerita masih bersambung (bukan suruh milih) kenapa nggak dilanjut ke halaman berikutnya saja, daripada suruh maju ke halaman sekian atau mundur ke halaman sekian. Untuk saya pribadi, saya lebih mau mengetahui semua pilihan tersebut alih-alih hanya memilih satu. Dan sehabis tamat pada 1 pilihan, saya lupa kalau mau balik ke opsi yang lain, adanya di halaman berapa.

Oke, seharusnya saya tidak cerewet akan hal itu, mengingat seri ini sejenis gamebook. Fokus utama bukanlah membaca seluruh isi cerita, tapi fokus utama adalah bisa memilih cerita yang membawa karakter utama berakhir dengan selamat. Tapi mungkin lain dulu, lain sekarang. Sekarang, saya sangat cerewet. Rasanya saya kangen menikmati membaca buku hanya fokus di cerita tanpa memikirkan kejanggalan, bolong logika, dll.

Tapi untuk seri Goosebumps sendiri, saya kangen mau membaca yang serinya biasa alias yang ceritanya utuh. Dan setahu saya, seri ini sangat banyak, belum lagi spin-offnya. Kalau mau lihat daftarnya ada di wikipedia. Selain itu yang saya suka (atau justru tidak suka) cover-cover Goosebumps yang seram-seram dan beberapa diantaranya sangat iconic.

Sekarang beneran saya jadi ketakutan sendiri. Udah ah nulis reviewnya.

Review ini juga untuk RC:

– Children’s Literature Reading Project